Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

DPR Diminta tak Mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Presidential Threshold

Badan Legislasi DPR pernah mengakali putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-Undang Pilkada. Tapi rumusan Baleg batal disahkan.

3 Januari 2025 | 17.56 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa membawa atribut berupa tulisan dukungan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan batas usia minimal capres-cawapres di Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin, 16 Oktober 2023. Ribuan massa melakukan aksi dalam rangka menanti keputusan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres dan cawapres yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun. Dalam aksi massa terbagi menjadi dua kubu yaitu kubu pro yang di dukung dan di hadiri oleh Ketua DPC Greindra Jakarta Timur, Ali Lubis, serta kubu kontra yang mayoritas merupakan Front Mahasiswa Demokrasi kawal Reformasi (FMD Reformasi) yang menolak keputusan MK. TEMPO/Joseph.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold. Isnur sekaligus mengingatkan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak mengakali putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ketika merevisi Undang-Undang Pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia meminta agar DPR tak bermanuver dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Sebab putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga wajib dilaksanakan serta dituangkan dalam perubahan undang-undang. "Kami juga mengajak publik untuk mengawal putusan ini," kata Isnur, lewat keterangan tertulis, Jumat, 3 Januari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isnur masih mengingat langkah DPR periode lalu yang berusaha mengakali putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah serta memberikan ruang kepada partai politik non-parlemen untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah pada 20 Agustus 2024. Lalu putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan bahwa syarat usia calon kepala daerah terhitung sejak penetapan pasangan calon kepala daerah.

Satu hari berikutnya, Badan Legislasi DPR merespons putusan MK itu dengan merevisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Tapi, dalam rumusan Badan Legislasi tentang revisi UU Pilkada, penurunan ambang batas pencalonan seperti putusan MK itu hanya berlaku bagi partai politik non-parlemen. Sedangan rujukan ambang batas pencalonan bagi partai politik pemilik kursi di DPRD tetap mengacu pada ketentuan sebelum putusan MK.  

Baleg juga merumuskan bahwa syarat usia pada Pasal 7 ayat 2 huruf e Undang-Undang Pilkada terhitung sejak pelantikan pasangan calon kepala daerah. Baleg mengklaim bahwa rumusan itu mengacu pada putusan Mahkamah Agung atas pengujian terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum.

Badan Legislasi menyepakati rumusan tersebut diteruskan ke rapat paripurna DPR untuk disahkan. Namun, pengesahan revisi UU Pilkada itu batal karena ribuan pengunjuk rasa mengepung gedung DPR. Hingga saat ini, DPR belum pernah membatalkan rumusan yang disepakati dalam rapat tingkat pertama tersebut.

Pada Kamis, 2 Januari 2025, Mahkamah Konstitusi kembali membuat terobosan dengan mengabulkan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Pemilu yang mengatur mengenai presidential threshold. Mahkamah Konstitusi menghapus syarat presidential threshold ini.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berpandangan, mempertahankan ketentuan presidential threshold hanya akan memberikan dampak minimnya pengusungan calon presiden dan wakil presiden. Sehingga jika dibiarkan, kemungkinan besar pemilu berpotensi akan diikuti oleh calon tunggal.

Dalam pertimbangannya, pertama, Mahkamah Konstitusi menyatakan semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, menyatakan pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dominasi partai politik ini menyebabkan terbatasnya pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Akibatnya, pemilih turut mengalami keterbatasan dalam memilih. Keempat, mengenai adanya sanksi bagi partai politik yang tidak mengusulkan pencalonan presiden dan wakil presiden. Sanksi tersebut berupa pelarangan partai politik untuk mengikuti pemilu periode berikutnya. Kelima, perumusan terhadap perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melibatkan berbagai pihak terkait, baik partai politik yang tidak mendapatkan kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.

Muhammad Isnur berpendapat, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menjadi preseden baik setelah satu dekade terakhir ini Indonesia mengalami regresi demokrasi dan hukum. "Ini harapan baru untuk perbaikan sistem demokrasi dan negara hukum," kata Isnur.

Ia berharap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mampu menjadi pengikis dominasi oligarki yang selama ini dianggap merusak sistem politik dan kepemiluan di Indonesia, khususnya saat penyelenggaraan pemilihan presiden. Kendati begitu, Isnur memahami jika putusan tersebut tidak sepenuhnya menjadi panasea yang mujarab dalam menyelesaikan pelbagai persoalan politik di Indonesia.

"Tetapi, putusan ini mestinya bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sistem kepartaian, politik, dan demokrasi kita agar lebih partisipatif," kata dia.

Ketua Komisi bidang Pemerintahan DPR, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bakal menjadi bahan bagi Komisi II untuk menyusun draf rancangan undang-undang omnibus law politik. Sebab putusan MK itu hadir saat Komisi II berkeinginan untuk merancang undang-undang omnibus law politik. Jika agenda RUU omnibus law politik itu terlaksana, kata dia, putusan Mahkamah Konstitusi akan dimuat di dalamnya.

“Kami menghormati putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus persentase presidential threshold sebagaimana dalam ketentuan undang-undang saat ini,” kata Rifqynizami.

Nabilla Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus