BERTUBUH tinggi besar, lelaki tua berjanggut itu mengenakan pici, serban, dan sandal jepit serba putih, serta kain sarung kotak biru. Ia duduk di atas kursi roda -- tampak lemah. Di ruang sidang pengadilan itu kedua kakinya yang lumpuh diselonjorkan pada kursi yang lain. Ia tampak tak acuh. Ia hanya termangu ketika divonis 8 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Namun, terdakwa Prof. Oesmany Al Hamidy, 72, yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana subversi, toh tak bisa menyembunyikan perasaannya. Dengan nada marah ia menyatakan sikap. "Saya tidak terima. Itu tidak adil," katanya, Kamis pekan lalu. Ia naik banding. Tokoh ini terbukti bersalah merongrong kewibawaan pemerintah dan menyelewengkan ideologi negara. Ia bersama, antara lain, Abdul Qadir Djaelani (divonis 18 tahun) dan Ratono (divonis 8 tahun) menandatangani Ikrar Umat Islam Jakarta menolak asas tunggal Pancasila dan RUU Keormasan. Di persidangan, Ketua Yayasan Pesantren Islam Jakarta Utara yang biasa dipanggil Abu itu terus terang mengaku ikut menandatangani ikrar tersebut. Hal itu katanya dilakukannya sebagai hak, untuk memberikan masukan kepada pemerintah sebelum RUU itu diundangkan. Dan, apa yang diceramahkannya itu tidak lepas dari kedudukannya sebagai ulama. Dalam pembelaannya berjudul "Juru Dakwah Diadili", ia membantah menyerang pemerintah. "Saya hanya menyampaikan ayat dan hadis Nabi," katanya. Ia -- yang selama pengadilan tak suka didampingi pembela -- balik menuduh pengadilan sebagai tempat sandiwara. Oleh karena itu, ayah 20 anak dari 4 istri ini meminta agar majelis hakim menjauhkan diri dari kemungkinan diajak main. Sebab, "Saya ini tidak pernah turut dalam kerusuhan Tanjungpriok, dan tak ada hubungan dengan Amir Biki," katanya tegas. Toh, majelis hakim punya penilaian lain. Di sidang, hakim ketua, Mansyur Idris, menegaskan tidak mengadili seorang juru dakwah. Yang diadili adalah perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa. Dan, sidang ini, "Dilakukan majelis hakim yang mandiri," katanya. "Tidak ada sponsor." Dalam putusannya setebal 56 halaman itu ditegaskan, "Perbuatan terdakwa merupakan tindak pidana politik yang dapat mengganggu kestabilan dan ketahanan nasional." Inilah yang memberatkannya. Apalagi terdakwa adalah figur sentral, dan sebagai tokoh panutan masyarakat kampus PTDI. Namun, mengingat usianya yang sudah lanjut, majelis menjatuhkan hukuman dua pertiga dari tuntutan Jaksa Adenan Kasian. Lahir di Aceh, Oesmany Al Hamidy semula mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar, Mesir, dan Universitas Sulaiman, Arab Saudi. Di dua universitas itu ia mengambil jurusan tafsir. Tapi Oesmany tidak menyelesaikan kuliahnya karena buru-buru dipanggil pulang kampung. Begitu sampai di Aceh, Oesmany diserahi jabatan setingkat wedana (di atas camat di bawah bupati) di Aceh. Kemudian, waktu Jepang masuk 1942, ia masuk pendidikan militer. "Waktu itu orang-orang yang pandai diminta masuk pendidikan militer," katanya. "Dan saya masuk tentara itu disuruh Daud Beureu-eh." Setelah Jepang menyerah, ia masuk Polisi Tentara. Polisi Tentara ini belakangan berubah nama menjadi Corps Polisi Militer (CPM). Toh, ia hanya mampu bertahan sampai tahun 1953, ia mengundurkan diri dari kemiliteran. Pada 1963, Oesmany mendirikan Akademi Dakwah di Tanjungpriok dan di Pasar Minggu. Dan belakangan, pada 1970 mengubah akademi itu menjadi Perguruan Tinggi Dakwah Islamiyah (PTDI) dengan membuka Fakultas Dakwah dan Tarbiyah. Lembaga pendidikan yang dipimpinnya dibekukan pemerintah setelah peristiwa Priok itu, bersamaan waktunya dengan ia ditahan, September 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini