Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perusahaan halal Australia, ICCV, diduga memberikan suap melalui donasi pembangunan masjid.
Suap penerbitan izin halal diduga terjadi sejak dulu dan menimpa perusahaan di berbagai negara.
Sertifikasi halal yang tak transparan membuka celah penyuapan dan pemerasan.
BERLUAS hampir setengah lapangan sepak bola, Masjid As Salaam dibangun di Desa Singasari, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Masjid itu berdiri di atas lahan seluas 3 hektare yang dimiliki oleh bekas Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertanggung jawab atas sertifikasi halal, Amidhan Shaberah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah peletakan batu pertama pada Februari 2014, pembangunan masjid tak kunjung rampung. Saat Tempo berkunjung pada Jumat, 25 Maret lalu, terlihat sepuluh pekerja sibuk mengaduk semen dan memasang keramik. “Butuh sekitar dua tahun lagi untuk selesai,” ujar Kukuh, 40 tahun, pemimpin proyek pembangunan masjid tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kukuh membenarkan kabar bahwa lahan masjid tersebut dimiliki Amidhan Shaberah. Pembangunannya diinisiasi oleh Yayasan Gerakan Amal Lahiriyah untuk Akhirat (Yayasan GALA) yang dipimpin Amidhan. “Sebagian besar dana pembangunan diperoleh dari sumbangan lembaga luar negeri,” ucap Kukuh.
Proyek Masjid As-Salaam di Singasari, Jonggol, Kabupaten Bogor 25 Maret 2022. TEMPO/M.A Murthado
Salinan laporan keuangan Yayasan GALA tahun 2018 yang diperoleh Tempo menunjukkan donasi pembangunan masjid itu mencapai Rp 5,724 miliar. Sebanyak Rp 4,2 miliar di antaranya berasal dari Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV), lembaga halal di negara bagian Australia. ICCV mendapat izin menyelenggarakan sertifikasi halal dari MUI.
Laporan keuangan tidak menyebutkan kapan dana itu diterima. Namun laporan itu menyebutkan bahwa donasi tersebut digunakan untuk rencana pembangunan masjid yang dimulai sejak Juni 2013 hingga Desember 2018. Amidhan Shaberah menjadi Ketua Bidang Perekonomian dan Produk Halal MUI periode 2010-2015.
Seorang pengusaha halal yang mengetahui asal-muasal dana tersebut bercerita, dana pembangunan masjid itu sesungguhnya merupakan suap dari ICCV kepada petinggi Majelis Ulama Indonesia. Duit itu diduga diberikan oleh bekas petinggi ICCV, Esad Alagic. Tujuannya, “menjaga hubungan” dengan MUI agar segala urusan sertifikasi berjalan lancar.
Kepada Tempo, pengusaha halal itu menunjukkan bukti bahwa Esad Alagic kerap mengirimkan uang atas permintaan petinggi MUI. Namun ia tak mau bukti itu disebutkan. Dari bukti tersebut terlihat bahwa Alagic pernah mengirimkan antara lain US$ 400 ribu untuk Amidhan dan US$ 200 ribu untuk Lukmanul Hakim.
Lukmanul mantan Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM) MUI. Ia kini menjadi anggota Dewan Pembina LPPOM dan anggota staf khusus Wakil Presiden Ma’ruf Amin, yang pernah menjabat Ketua Komisi Fatwa MUI.
Investigasi Tempo pada akhir Februari 2014 menyebutkan Esad Alagic sebagai perantara pengurusan izin sertifikasi perusahaan halal. Seorang bekas manajer keuangan perusahaan halal bercerita, Alagic pernah mempertemukan bosnya dengan Amidhan untuk melobi agar MUI tak mencabut izin perusahaannya. Manajer itu mencairkan uang Aus$ 50 ribu untuk dibawa bosnya ke Jakarta.
Pengusaha halal lain di luar negeri yang dihubungi Tempo membenarkan kedekatan Esad Alagic dengan Amidhan. Menurut pengusaha ini, rasuah dari Alagic menyebabkan banyak pengeluaran ICCV tidak tercatat. Pengusaha itu pun membenarkan Alagic mengaku menyerahkan uang untuk Amidhan dan Lukmanul. Kasus itu membuat pengusaha asal Bosnia tersebut tersingkir dari ICCV.
Kepada Tempo, Esad Alagic mengaku kenal Amidhan Shaberah, Lukmanul Hakim, dan Ma’ruf Amin. Namun dia membantah pernah menyuap petinggi MUI. “Saya tidak pernah menyuap. Saya tidak memberikan uang kepada Amidhan, Lukmanul, ataupun Ma’ruf,” katanya.
Alagic membenarkan jika disebut menyetor duit untuk masjid yang dibangun oleh Amidhan. Duit itu berasal dari ICCV dan kantong pribadinya. Uang itu disalurkan ke Yayasan GALA, bukan rekening pribadi Amidhan. “Tidak ada hubungannya dengan perizinan halal,” ujarnya.
Ia juga membantah keluar dari ICCV karena persoalan suap. Alagic mengaku pulang ke Bosnia karena sudah berusia 80 tahun dan sakit.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin belum bisa dimintai tanggapan. Juru bicara Ma’ruf, Masduki Baidlowi, tak merespons permintaan wawancara yang dikirim Tempo. Anggota staf khusus Ma’ruf, Lukmanul Hakim, juga tak menjawab pertanyaan soal dugaan suap dari ICCV.
Begitu pula Amidhan Shaberah tak merespons permintaan wawancara yang dilayangkan Tempo ke nomor selulernya. Ia pun tak mengangkat panggilan telepon. Tempo juga mendatangi alamat Yayasan GALA di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, seperti tercantum dalam laporan keuangan. Namun tak ada penghuni yang keluar dari rumah itu.
Sejumlah pelaku Industri Kecil Menengah (IKM) menunjukan sertifikat halal MUI di Depok, Jawa Barat, Januari 2019. ANTARA/Kahfie kamaru
Di balik pagar besi terdapat papan bertulisan “Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia”. Wawan, penduduk di sekitar rumah itu, membenarkan bangunan tersebut sebagai rumah lama Amidhan. “Dulu memang sempat menjadi kantor Yayasan GALA,” tuturnya.
(Baca di Sini: Investigasi Tempo, Transaksi Mahal Label Halal)
•••
SUAP untuk memperoleh izin lembaga halal dari Majelis Ulama Indonesia sudah lama terjadi di Australia. Laporan utama majalah Tempo edisi 24 Februari-2 Maret 2014 memuat kesaksian Mohamed El-Mouelhy, Presiden Halal Certification Authority, perusahaan yang berbasis di Sydney, Australia. “Sudah jadi rahasia umum di Australia, untuk mendapat izin mesti menyuap pejabat MUI,” kata Mouelhy saat itu.
Pria Mesir pemegang paspor Australia itu memiliki pengalaman menyuap petinggi MUI untuk mendapatkan sertifikasi perusahaan halal pada 2006. Ketika itu, perusahaan Mouelhy hendak melebarkan sayap label halal dari ekspor daging sapi ke Indonesia. Waktu itu 40 persen dari 400 ribu ton kebutuhan daging sapi Indonesia dipasok dari Australia.
Bersama enam perusahaan lain, Mouelhy lantas mengajukan izin ke MUI. Sesuai dengan aturan, MUI harus meninjau kelayakan perusahaan pemohon. Pada 2-8 April, tujuh petinggi MUI, antara lain Ma’ruf Amin, Amidhan Shaberah, dan sekretaris jenderal saat itu, Ichwan Sam, bertandang ke Australia. MUI meminta Mouelhy memberi uang saku Aus$ 300 per orang per hari.
Mouelhy juga memberikan Aus$ 26 ribu kepada rombongan MUI. Duit itu hasil patungan tujuh perusahaan yang mengajukan izin. Menurut Mouelhy, Amidhan sebagai pemimpin rombongan mendapat jatah paling banyak. Mouelhy membuat pernyataan tersumpah soal kronologi peristiwa dan penyuapan itu di depan notaris William Murphy di Sydney pada April 2012.
Meski sudah menyuap, tujuh perusahaan itu tetap gagal mendapatkan izin dari MUI. Mouelhy belakangan mendapat informasi bahwa Esad Alagic dari Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV), lembaga halal di negara bagian Australia, menjamu petinggi MUI agar tak menerbitkan izin. Tujuannya agar ICCV tak memiliki pesaing.
Saat itu, Amidhan membantah jika disebut menerima uang suap dari Mouelhy. Menurut Amidhan, MUI justru menggratiskan izin bagi perusahaan pemberi label halal di luar negeri. “Mereka hanya diminta membantu masjid atau sekolah Islam di sekitar lingkungan kantornya,” ujarnya.
Tak hanya di Australia, dugaan suap dalam pengurusan sertifikasi halal juga terjadi di negara lain. Pada November 2017, Mahmoud Tatari, Direktur Halal Control GmbH, badan sertifikasi halal di Jerman, melaporkan Lukmanul Hakim, bekas Direktur LPPOM MUI, dan warga Selandia Baru, Mahmood Abo Annaser.
Dalam laporannya ke Kepolisian Resor Kota Bogor, Tatari menuding Lukmanul dan Annaser melakukan pemerasan. Setahun sebelumnya, Tatari menyerahkan duit 50 ribu euro kepada Annaser dan Lukmanul. Tujuannya agar Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan perpanjangan izin halal untuk perusahaannya yang telah kedaluwarsa pada Februari 2016.
Tatari menyatakan Annaser, yang mengaku sebagai perantara MUI, menghubunginya pada pertengahan 2016. Annaser meminta duit 50 ribu euro agar perpanjangan izin bisa keluar. Bersama Annaser, Tatari menemui Lukmanul di Gelanggang Olahraga Bulutangkis Yasmin, Bogor. Beberapa hari seusai pertemuan itu, Tatari mentransfer uang yang diminta Annaser.
Pada 2 Agustus 2016, surat rekognisi halal dari MUI sampai ke tangan Tatari. Namun, pada Juni 2017, Annaser kembali meminta Tatari menyetor 50 ribu euro untuk fee perpanjangan persetujuan halal MUI. Tatari lalu melaporkan kasus itu ke Polres Kota Bogor. Namun polisi gagal menghadirkan Annaser.
Kasus itu diambil alih oleh Markas Besar Kepolisian RI pada Oktober 2019. Satu bulan kemudian, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Asep Adi Saputra menyatakan Lukmanul Hakim, yang saat itu telah menjadi anggota staf khusus Wakil Presiden Ma’ruf Amin, tidak terbukti menerima suap.
Dihubungi pada Senin, 21 Maret lalu, Tatari enggan berkomentar. “Saat ini saya tidak bersedia berkomentar mengenai kasus ini,” tuturnya.
Sedangkan Lukmanul juga tidak bersedia berkomentar mengenai dugaan pemerasan tersebut. Dia sempat merespons permintaan wawancara Tempo. Namun, ketika diajukan pertanyaan tentang dugaan kasus suap terhadapnya, Lukmanul tidak menanggapi lagi.
Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas mengklaim kasus-kasus suap izin halal di MUI tidak terbukti. Ia menyatakan MUI tidak menggunakan perantara yang menarik bayaran dalam sertifikasi halal. “Kalau terbukti, pasti kami pecat langsung. Kami tidak akan menoleransi tindakan haram seperti suap,” ujar Anwar.
Proses pemberian izin halal yang tak jelas dan tak transparan menjadi celah terjadinya pemerasan. Abu Khaled dari Spain Halal, lembaga halal di Spanyol, menceritakan lembaganya tidak kunjung mendapatkan izin halal dari MUI sejak 2015. Khaled sudah mengirimkan surat dan e-mail serta menelepon LPPOM MUI.
“Kedutaan Spanyol di Jakarta ikut membantu, tapi tidak kunjung ada jawaban,” kata Khaled melalui pesan aplikasi WhatsApp pada Sabtu, 26 Maret lalu. Khaled mengklaim ketiadaan izin dari MUI membuat lembaganya kehilangan banyak klien yang ingin mengekspor produknya ke Indonesia.
Tidak mendapat respons dari MUI, Khaled justru kerap dihubungi oleh orang tidak dikenal yang meminta dia membayar sejumlah uang jika ingin pengurusan izin halal MUI berhasil. “Saya heran dari mana mereka tahu kami sedang membutuhkan akreditasi dari MUI,” ucap Khaled.
Kabar pengalihan wewenang sertifikasi halal dari MUI ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama membuat Khaled kembali punya harapan. “Kami berharap bisa lekas mendapatkan solusi atas persoalan ini untuk membantu komunitas Islam kami tumbuh dan mampu meningkatkan pelayanan,” ujarnya.
Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Mastuki mengatakan Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal menjadi dasar pengalihan sebagian wewenang Majelis Ulama Indonesia dalam sertifikasi halal. BPJPH telah membuat sistem pengurusan izin halal yang lebih transparan. “Semoga tidak ada lagi transaksi di bawah meja,” katanya.
AGUNG SEDAYU, RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN, BUDIARTI UTAMI PUTRI, MAHFUZULLAH AL MURTADHO (BOGOR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo