Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Septia Dewi ditetapkan tersangka akibat cerita pengalamannya di Hive Five.
Polda Metro Jaya akan periksa Septia Dewi, pekan ini.
Hasil revisi UU ITE terbukti masih bermasalah.
JAKARTA – Septia Dwi tidak menyangka dirinya akan ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama atas curhatannya di media sosial. Padahal ia hanya ingin menceritakan pengalamannya bekerja di PT Lima Sekawan Indonesia atau Hive Five.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya curhat fakta pemotongan gaji pegawai,” kata Septia, Ahad, 7 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Septia adalah mantan staf marketing di Hive Five. Ia dilaporkan oleh Komisaris Hive Five, Henry Kurnia atau Jhon LBF, ke Polda Metro Jaya pada 27 Juni 2023. Septia dilaporkan dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal ini mengatur pencemaran nama baik.
Baca juga:
Pada 5 Januari lalu, Sub-Direktorat IV Tindak Pidana Siber Polda Metro Jaya menetapkan Septia sebagai tersangka pencemaran nama. Lalu polisi menjadwalkan pemeriksaannya pada 11 Januari mendatang.
Kasus ini bermula ketika Septia melalui akun X—dulu Twitter—miliknya, @septiadp, mengomentari akun @Askrlfess pada Kamis, 19 Januari 2023. Akun itu menuliskan, "siapa di sini yang cita-citanya ingin punya atasan seperti pak jhon?"
Septia lantas menyaut pertanyaan tersebut. Ia mengatakan Jhon LBF kerap memotong gaji seenaknya, melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa membayar kewajiban, dan slip gaji tidak pernah ada.
Septia juga menampilkan cuplikan layar berisikan percakapan Jhon di sebuah grup WhatsApp. Dalam gambar itu, tertera tulisan Jhon bernada ancaman pemotongan gaji sebesar Rp 500 ribu jika ada kesalahan dari tim produksi dan marketing.
Septia mengaku sudah bekerja selama 21 bulan di perusahaan itu, terhitung sejak 25 Januari 2021. Ia menyayangkan laporan mantan atasannya tersebut. Sebab, masalah itu merupakan urusan ketenagakerjaan yang mesti diselesaikan lebih dulu sehingga tidak perlu dilaporkan ke kepolisian.
Wartawan membuka website https://hivefive.co.id/ di Jakarta, 8 Januari 2024. TEMPO/ Nita Dian
Pendamping hukum Septia dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Christopher Vyeri mengatakan Septia mulanya bekerja di Hive Five dengan mekanisme perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Awalnya Septia dikontrak selama satu tahun, dari 25 Januari 2021 sampai 24 Januari 2022. Kontrak Septia lantas diperpanjang satu tahun hingga 24 Januari 2023.
“Pada masa PKWT kedua, Septia tidak diberi salinan kontrak,” kata Christopher.
Selama Septia bekerja di sana, kata Christopher, terdapat sejumlah dugaan pelanggaran ketenagakerjaan. Misalnya, gaji di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta, tidak membayar BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, adanya pemotongan gaji, jam kerja lebih dari delapan jam, serta tidak membayar gaji sesuai dengan kontrak. Septia lantas mencuit kegelisahan dan kondisi perusahaan itu di media sosial X.
“Setia kemudian dilaporkan Jhon ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan Pasal 27 ayat 3,” kata Christopher.
Pada waktu berdekatan, kata Christopher, Septia melaporkan masalah ketenagakerjaan tersebut ke pengawasan dan perselisihan hubungan industrial di Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan. Tapi, dari sisi pengawasan, Septia belum menerima hasil apa pun, baik dari nota pemeriksaan maupun penetapan. Sedangkan untuk urusan perselisihan hubungan industrial, sudah terjadi mediasi di antara kedua belah pihak.
Menurut Christopher, saat mediasi, Septia menyampaikan masalah-masalah ketenagakerjaan beserta buktinya kepada mediator. Lalu mediator, dalam salah satu pertimbangannya, mengatakan bahwa Hive Five terbukti belum membayar BPJS Ketenagakerjaan. Namun Hive Five justru meminta Septia meminta maaf kepada publik dan membayar ganti rugi sebesar Rp 100 juta.
“Padahal klien kami bersuara kondisi buruk dalam manajemen perusahaan. Seharusya tidak didesak minta maaf dan membayar ganti rugi,” kata Christopher.
Saat ini, ujar Christopher, Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Selatan masih memproses masalah ketenagakerjaan ini. Karena itu, Hive Five seharusnya tidak melanjutkan laporannya di Polda Metro Jaya. “Karena masalah ini intinya ketenagakerjaan, bukan pencemaran nama,” kata Christopher.
Peneliti PBHI Annisa Azzahra mengatakan curhatan Septia merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang tidak boleh diganggu gugat. Pembungkaman kebebasan berekspresi itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia. “Negara melanggengkan pelanggaran HAM itu melalui UU ITE,” katanya, kemarin.
Annisa mengatakan pasal defamasi atau pencemaran nama selalu digunakan oleh pihak yang memiliki kuasa. Dengan alasan tersinggung, mereka menggunakan pasal defamasi ini untuk membungkam kebebasan bereskpresi. “Padahal kita tidak bisa menilai batas ketersinggungan itu,” tuturnya.
Dalam perkara Septia, Annisa menilai kasus ini seharusnya diselesaikan di perselisihan hubungan industrial. Kasus ini tidak bisa masuk ke delik pencemaran nama atau ranah pidana.
Pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ahmad Fathanah Haris mengatakan inti kasus ini merupakan masalah ketenagakerjaan. Maka Polda Metro Jaya seharusnya bisa jernih menilai perkara tersebut. “Apalagi di Polda Metro Jaya ada desk ketenagakerjaan. Seharusnya disaring di sana dulu,” ucapnya.
Ahmad khawatir kasus Septia ini akan berulang pada buruh lainnya. Atau, buruh yang tak mendapat jaminan kesehatan dan kesejahteraan justru akan memilih diam karena takut dikriminalisasi. “Buruh menyampaikan unek-unek berbasis fakta, lantas dijawab dengan UU ITE,” ujar Ahmad.
Pendiri dan CEO Hive Five Sabar L Tobing (kiri kedua) dan komisaris Hive Five Henry Kurnia atau Jhon LBF dalam peluncuran Head Office Hive Five di Jakarta, 2022. ANTARA/Maria Cicilia Galuh
Jhon LBF belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo soal ini. Kuasa hukum Jhon, Machi Achmad, juga belum merespons pertanyaan Tempo. Adapun Sekretaris Hive Five, Lattifa Dwi Vona, berjanji akan mengkonfirmasi masalah ini kepada Jhon. Tapi Lattifa belum memberikan jawaban hingga artikel ini diturunkan.
Sebelumnya, Jhon mengatakan Septia mengundurkan diri dari perusahaannya tanpa pemecatan. Septia juga dinilai bekerja kurang baik sehingga beberapa kali mendapat surat teguran.
Jhon juga membantah sudah memotong gaji karyawannya. Ia mengatakan Septia justru pernah mendapat gaji hingga Rp 30 juta per bulan.
Sebelum Septia resign, Jhon mengaku sudah memberikan gaji sebesar Rp 14,4 juta kepadanya. “Semua bukti transfer juga ada,” katanya pada 27 Januari 2023.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko meminta Tempo mengkonfirmasi perkara Septia ini ke Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak. Tapi, saat dimintai konfirmasi, Ade meminta agar menanyakannya ke Kepala Subdit IV Siber Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Ardian Satrio Utomo. Ardian belum membalas pesan Tempo kepadanya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta Hari Nugroho juga belum menjawab saat dimintai penjelasan.
Aktivis Paguyuban Korban Kriminalisasi UU ITE (PAKU ITE) menggelar aksi mendesak revisi total UU ITE pada Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB), di Bundaran HI, Jakarta, 28 Mei 2023. TEMPO/M Taufan Rengganis
UU ITE Masih Bermasalah
Direktur Eksekutif SafeNet, Nenden Sekar Arum, mengatakan kasus Septia menjadi bukti bahwa UU ITE masih bermasalah. Ia mengatakan, sepanjang 2023, tren kriminalisasi menggunakan UU ITE mengalami kenaikan dibanding pada tahun sebelumnya.
Sesuai dengan data SafeNet, lebih dari 100 kasus kriminalisasi menggunakan UU ITE pada 2023. Sedangkan pada 2022 terdapat 97 kasus.
Baca juga:
Nenden mengatakan SafeNet masih mengolah data pada 2023. Tapi ia memastikan kasus hingga latar belakang korban pada 2023 tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya.
Adapun jumlah kasus pada 2022 meningkat tiga kali lipat dibanding pada 2021, yang angkanya hanya 30 kasus. Kasus paling banyak mengenai pemidanaan ekspresi warganet di media sosial. Lalu disusul korban dari kalangan pemengaruh, aktivis, mahasiswa, dan advokat. Mayoritas pelapor merupakan pemimpin organisasi, pesohor, dan pengusaha. Mereka rata-rata melaporkan dengan Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 ayat 2 UU ITE.
Menurut Nenden, pasal-pasal karet itu tetap dipertahankan dalam revisi kedua UU ITE meski nomor pasalnya berubah. Bahkan, kata Nenden, hasil revisi itu justru menambah pasal karet. Misalnya, Pasal 28 ayat 3 berubah menjadi "setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitaaan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat".
“Frasa ‘kerusuhan’ ini bermasalah karena bisa menyerang siapa saja, termasuk jurnalis,” ujar Nenden.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan tujuan revisi UU ITE untuk mengatur informasi elektronik yang belum diatur dalam undang-undang sebelumnya. “Hal ini dilakukan untuk menjaga kepentingan masyarakat,” katanya.
Budi membantah anggapan hasil revisi kedua UU ITE tetap mempertahankan pasal kriminalisasi. Dia mengatakan pasal-pasal yang dianggap bermasalah itu disesuaikan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Misalnya, pasal pencemaran nama dipertahankan untuk menjaga ekosistem ruang digital yang sehat.
Buruh berunjuk rasa memprotes PHK sepihak oleh perusahaan saat berlangsung sidang gugatan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, 29 September 2022. TEMPO/Prima Mulia
Pengaduan Buruh ke Polisi Masif
Sekretaris Jenderal Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Andi Kristiantoro mengatakan masalah ketenagakerjaan akan semakin masif jika tidak ada ruang hukum untuk melaporkan buruknya manajemen perusahaan. Selama ini, kata Andi, masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi adalah PHK yang sewenang-wenang. “Dan kami mengadvokasinya."
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, sepanjang 2022, ada sekitar 270 aduan yang dilakukan 2.548 pencari keadilan di 18 wilayah. Aduan itu mengenai masalah PHK, perselisihan hak, kriminalisasi dan union busting, serta perselisihan hubungan industrial lainnya.
Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan YLBHI Arif Maulana mengungkap aktor-aktor pengadu pada 2023 tidak banyak berubah dibanding pada tahun sebelumnya, yaitu korporasi, individu dari perusahaan, pejabat daerah setempat, serta pejabat instansi pemerintah nasional.
Menurut Arif, ada masalah struktural sehingga masalah ini terus terjadi. Ia mencontohkan keberadaan Undang-Undang Cipta Kerja yang justru memperparah kondisi buruh. Sebab, UU Cipta Kerja tetap tidak melindungi buruh, misalnya ketentuan mengenai PKWT dari tiga tahun menjadi lima tahun. “Ini memberi ketidakpastian kerja buruh."
HENDRIK YAPUTRA | DANIEL A. FAJRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo