Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Fakta-fakta RUU TNI Disahkan Walau Tuai Penolakan

Kendati menuai polemik panjang dan penolakan, RUU TNI tetap disahkan. Berikut fakta-faktanya

22 Maret 2025 | 05.51 WIB

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan), Adies Kadir (ketiga kanan) dan Saan Mustopa (kedua kiri) pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Maret 2025. Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. Antara/Rivan Awal Lingga
Perbesar
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kiri) menyerahkan laporan pandangan pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kanan) disaksikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad (kanan), Adies Kadir (ketiga kanan) dan Saan Mustopa (kedua kiri) pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 20 Maret 2025. Rapat Paripurna tersebut menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI untuk disahkan menjadi undang-undang. Antara/Rivan Awal Lingga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR akhirnya resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang atas perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Palu pengesahan itu diketuk Ketua DPR RI Puan Maharani seiring persetujuan seluruh fraksi dalam Sidang Paripurna ke-15 pada Kamis, 20 Maret 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap Rancangan Undang-Undang atas perubahan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi Undang-Undang,” kata Puan sebelum kemudian disahuti teriakan persetujuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Pembahasan revisi UU TNI ini sempat menuai polemik dan mendapat penolakan dari masyarakat. Bahkan sejumlah massa melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR RI bersamaan gelaran Rapat Paripurna. Kendati begitu, setelah memimpin rapat, Puan menyebutkan RUU TNI yang disetujui menjadi beleid sudah melalui mekanisme pembentukan UU.

Tempo merangkum serba-serbi revisi UU TNI hingga akhirnya disahkan, berikut ulasannya:

1. Perjalanan pengesahan RUU TNI

Pembahasan RUU TNI sudah dicanangkan dan dibicarakan sejak tahun lalu. Sempat mandek lantaran adanya pesta demokrasi 2024, pembahasannya kembali digulirkan seiring Presiden Prabowo Subianto mengirimi surat kepada DPR. Surat yang dilayangkan pada 18 Februari itu ihwal persetujuan dan penunjukan wakil pemerintah untuk membahas RUU TNI.

Pada tanggal yang sama, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menerima surat pimpinan DPR terkait penegasan pembahasan RUU TNI. Setelah itu Komisi I DPR kemudian menggelar rapat intern pada 27 Februari 2025, untuk menyepakati pembentukan panitia kerja dengan komposisi sebanyak 23 anggota.

“Keempat komisi I DPR RI telah melaksanakan serangkaian agenda rapat RUU TNI dengan para pemangku kepentingan dan melibatkan peran aktif masyarakat sebagai bagian meaningful participation,” kata Utut dalam sidang paripurna, Kamis.

Lebih lanjut, Utut mengatakan Komisi I DPR telah menyelesaikan sejumlah rangkaian pembahasan RUU TNI bersama perwakilan pemerintah; koalisi masyarakat sipil; hingga internal komisi I melalui panitia kerja (panja). Atas laporan Utut, Puan lantas meminta persetujuan seluruh anggota dewan yang hadiri sidang paripurna menyetujui RUU TNI disahkan menjadi UU.

2. Yang berubah dari UU TNI

Adapun perubahan dalam UU TNI di antaranya ihwal kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang (OMSP), penambahan jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif, dan perpanjangan masa dinas keprajuritan atau batas usia pensiun.

Sebagaimana dituangkan dalam perubahan Pasal 47 UU, jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif bertambah dari 10 bidang menjadi 14 bidang. Selain ketentuan 14 bidang jabatan sipil tersebut, TNI aktif harus mundur atau pensiun dari dinas keprajuritan.

Ada dua tugas pokok baru OMSP yang ditambahkan, yaitu meliputi membantu dalam menanggulangi ancaman siber dan membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara, serta kepentingan nasional di luar negeri.

“Jikalau terjadi akan dilaksanakan hal seperti itu, namun jika tidak jangan sampai terjadi, dan itu hanya penambahannya itu adalah untuk siber dan penyelamatan warga negara di luar negeri jika dibutuhkan,” ujarnya.

3. TNI boleh berbisnis?

Sebelum disahkan, ramai didesuskan ada upaya mendorong agar aturan pelarangan berbisnis terhadap anggota TNI aktif dihapus lewat RUU TNI. Wacana itu berdesus kencang pada Juli 2024 dan kembali mencuat beberapa waktu terakhir. Namun, rencana pengap itu tak diterapkan dalam beleid terbaru.

“UU TNI yang baru disahkan tetap melarang TNI berbisnis dan berpolitik praktis. Pasal 39 dalam UU itu masih memberikan larangan dalam kedua aspek tersebut. Bahkan kalau di Pasal 47 Cuma ada 14 kementerian dan lembaga yang bisa diduduki TNI aktif. Di luar itu harus mundur atau pensiun dini,” kata Puan.

4. Massa unjuk rasa tolak pengesahan RUU TNI

Sementara itu, sejak Kamis dini hari di luar gedung DPR, kelompok masyarakat sipil telah mendirikan tenda untuk menolak pengesahan RUU TNI. Penjagaan ketat pun terlihat di sekitar gedung DPR. Bukan hanya Polri, namun terlihat juga aparat dari TNI memasuki gedung Dewan.

Namun pada siang harinya, massa aksi di gedung DPR/MPR terpaksa mundur karena aparat kepolisian mengerahkan meriam air atau water cannon. Polisi juga mengerahkan sejumlah anggota untuk membubarkan aksi menolak pengesahan Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 atau UU TNI itu.

Aksi demonstrasi mahasiswa menolak pengesahan RUU TNI di depan gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, 20 Maret 2025. Tempo/Prima Mulia

Berdasarkan pantauan Tempo, mahasiswa yang ikut berunjuk rasa harus mundur mengarah ke Senayan Park. Adapun anggota polisi yang berjalan membawa perisai taktis serta tongkat. Ada pula anggota polisi yang menggunakan kendaraan roda dua dengan membawa pelontar gas air mata.

Kepolisian mengapit dua ruas jalan, pertama dari arah Senayan Park, kemudian dari arah jembatan layang Petamburan. Mahasiswa akhirnya terpecah belah ke berbagai arah seperti Senayan Park, jembatan layang menuju Semanggi dan jalan tol S. Parman.

Tempo juga memantau terdapat beberapa mahasiswa yang ditangkap oleh polisi. Anggota yang menggunakan kendaraan roda dua mengejar pengunjuk rasa. Dua sepeda motor milik massa aksi terpaksa ditinggalkan oleh mereka agar tidak tertangkap oleh aparat kepolisian.

5. Alasan RUU TNI ditolak pengesahannya

Pengesahan RUU TNI mendapatkan penolakan salah satunya dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademi (KIKA). Dalam konferensi pers bertajuk “Kejahatan Legislasi dalam Persetujuan UU TNI 2025” secara daring pada Kamis, Koordinator KIKA Satria Unggul mendorong masyarakat sipil bersatu mendesak pemerintah membatalkan UU TNI tersebut.

Satria menjelaskan beberapa alasan masyarakat secara umum harus menolak. Pertama, pihaknya menilai hasil revisi akan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI. Hal ini dikarenakan UU TNI menarik kembali TNI ke dalam peran sosial politik bahkan ekonomi-bisnis seperti masa Orde Baru.

‘Hal itu terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi. Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa depan,” ujarnya

Alasan kedua, menurut dia UU TNI bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik (CCPR), Universal Periodic Review (UPR), serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT). Sementara itu, Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil

‘Hal tersebut tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional,” katanya.

Alasan ketiga, Satria menegaskan dampak impunitas yang dimiliki anggota TNI yang akan berpengaruh terhadap tindakan sewenang-wenang tanpa konsekuensi. Hal ini bisa mengancam kebebasan sipil dan demokrasi dalam menyuarakan pendapat dan kritik serta berpengaruh terhadap kekuatan politik yang ada.

“Di mana aktor-aktor politik yang terlibat dalam pelanggaran HAM masih memiliki posisi kekuasaan. Hal ini menyebabkan penegakan hukum menjadi tidak efektif dan menghasilkan keputusan yang bias serta bertentangan dengan prinsip kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law),” tuturnya.

Hammam Izzuddin, M. Raihan Muzzaki, dan Hanin Marwah berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Aksi Kamisan Surabaya Tolak RUU TNI, Gelar Pasukan Operasi Ketupat Sempat Tertunda

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus