Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Fatwa, pasaran bebas

Sekilas tentang pengertian fatwa. fatwa bukan semacam ensiklik. pada akhirnya, dunia fatwa adalah dunia pasaran bebas. (nas)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FATWA bukan semacam ensiklik. Surat keputusan kepausan itu, lazim juga memuat ajaran atau pandangan dasar, bersifat mengikat. Kata itu sendiri semula berarti 'surat yang dimeteraikan'. Fatwa sebaliknya, lebih dekat pengertiannya dengan 'petuah'. Hanya saja lebih khusus: mengenai hukum agama, yang biasanya jarang diketahui orang atau memang belum ada -- dan karena itu diputuskan dalam satu kesepakatan para ahli. Ia lazimnya memang diikuti, tapi ia toh hanya bisa mengikat bila diundangkan. Karena itu biasanya kedudukan mufti (pemberi fatwa, bila ia hanya seorang) sebagai semacam "bapak" bagi pemerintah maupun badan legislatif yang kebetulan sedang shopping pendapat. Di Timur Tengah lazim dikenal para mufti ini. Ada misalnya Mufti Besar Palestina. Juga Mufti Mesir Syekh Mahmud Syaltut almarhum, sesepuh Al Azhar Kairo. Di beberapa negara Islam dibentuk pula majlis fatwa (majlis ul iftaa' atau daarul iftaa'). Mereka semacam penasihat. KH Syukri Ghazali, Ketua Komisi Fatwa MUI yang tempo hari memimpin sidang fatwa perkara Natal bersama itu, membedakan dua macam fatwa dari segi daya ikat. Pertama, fatwa yang boleh diikuti dan boleh tidak -- bila ia merupakan semata-mata usaha perumusan hukum (baru) bersandar pada sumber. Sebab, meski misalnya ia diputuskan beramai-ramai, tetap saja ia bisa dikenai kategori 'kontroversial'. Kedua, fatwa yang mesti diikuti yang hanya "mengukuhkan saja hukum yang sudah ada dalam Quran dan Hadis." Di sini fungsi fatwa tersebut sebenarnya hanya mengingatkan -- karena itu biasanya diambil tanpa banyak kerepotan. Di sini pula, memang, Kiai Syukri meletakkan fatwa Natal itu. Ia mengikat -- meski tentunya bila kalimat 'mengikuti upacara Natal' itu diartikan sebagai ikut beribadah. Sebab 'mengikuti' itu sendiri masih umum (mujmal), dan perlu diberi afsil alias perincian -- seperti ada diterangkan KH Hasan Basri, juga Ketua MUI (TEMPO 16 Mei 1981). Sedang bila 'mengerti' itu hanya sekedar hadir, sudah tentu tergantung niat masing-masing. Semua itu adalah 'boleh' dan 'tidak boleh' menurut agama -- alias sanksi dari Tuhan, bukan sanksi duniawi. Dan memang di situlah kompetensi sebuah dewan fatwa. Bicara soal sanksi dari Tuhan, secara umum diyakini bahwa hukuman tidak akan jatuh bila seseorang -- berdasar keyakinannya yang jujur -- tidak menyetujui keputusan sebuah fatwa. Sedang ia punya argumen kuat, setidaknya untuk dirinya -- meski andai pun fatwa itu kemudian diundangkan, dan ia harus mengikutinya dalam hubungan sosial. Itulah sebabnya mengapa, seperti dituturkan Kiai Syukri kembali, walaupun sudah ada fatwa dari Syuriah NU atau Tarjih Muhammadiyah misalnya, orang masih juga menanyakan htwa MUI. Kebetulan, yang sudah terjadi, hasilnya meman sama -- seperti dalam soal vasektomi dan tubektomi dalam ikhtiar KB, yang dinyatakan haram. Tapi kemungkinan perbedaan antar fatwa bukan tak ada -- seperti antara Tarjih Muhammadiyah dan Majlis Hukum dan Syara' Departemen Kesehatan, dalam soal cangkok jantung. Yang pertama cenderung melarang, yang kedua membebaskan. Contoh lain dari tubuh MUI sendiri. Sebagian dari permintaan fatwa kepada MUI, dikirim kembali ke MU daerah -- "karena tenaga ahli kami tidak terlalu banyak, dan juga memang untuk memfungsikan MU daerah," kata Kiai Syukri. Tapi sering orang daerah tak puas -- maklum. Menanyakannya lagi ke "pusat". Keluar kemudian fatwa MUI -- yang mengukuhkan kembali fatwa daerah... Itu berarti, pada akhirnya: dunia fatwa adalah dunia pasaran bebas. Lebih banyak pemberi fatwa tampaknya menjadi lebih bagus, baik hasilnya sama maupun bertentangan, asal semua dinilai kompeten. Menjadi lebih longgar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus