Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MUI, kisah sebuah jembatan

Kasus fatwa natal bisa mengingatkan pada situasi antar agama, tapi lebih-lebih pada status mui. ia dibentuk pemerintah, berfungsi sebagai "penerjemah" maupun tempat bertemu. (nas)

30 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGOTA Majelis Ulama tidak digaji. Ini memang salah satu "syarat" yang dulu diminta Prof. Hamka, waktu ia diminta jadi ketua MUI, 1975. Permintaan yang lain: ia akan dibolehkan mundur, bila nanti ternyata sudah tidak ada kesesuaian dengan dirinya dalam hal kerjasama antara pemerintah dan ulama. Mohammad Roem, dalam buku Kenang-kenangan 70 ahun Buya Hamka, menyebut masalah gaji itu sebagai bagian dari "politik Hamka menghadapi pembentukan Majelis Ulama". Ulama mubaligh ini, menurut Roem, kuat sekali menyimpan gambaran "ulama yang tidak bisa dibeli". Walaupun gaji sebenarnya tidak usah selalu menunjuk pada pembelian, kepercayaan diri ulama sendiri agaknya memang diperlukan. Sebab, tak lain, pemerintahlah yang membentuk Majelis Ulama. Dan itulah beda MUI, misalnya, dengan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) dan Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), dari Protestan dan Katolik. Kedua lembaga ini tumbuh berdasar kebutuhan dari bawah, atau dari dalam Hamka, di rumahnya di samping Masjid Al Azhar Kebayoran Baru, menyebut satu-satunya majelis ulama yang tumbuh dengan cara seperti itu adalah yang di Sumatera Barat, di bawah Datuk Palimo Kayo. Itu sebelum ada MUI (pusat). MU Sum-Bar tersebut, bersama Majelis Ulama DI Aceh yang dibentuk oleh Pemda Provinsi, praktis memang merupakan "pemberi ilham" pembentukan MUI. Pembentukan majelis ulama di Jakarta kemudian (yang diberi tambahan untuk Indonesia, sebagai pembedaan dari MU daerah, termasuk daerah DKI) seakan tinggal merapikan saja. Terpenting, betapa pun, adalah fungsi MUI (dan kemudian MU semua daerah) sebagai "penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta penerjemah timbal-balik antara pemerintah dan umat. . . " Fungsi itu memang hanya dicantumkan dalam Pedoman Dasar sebagai nomor empat alias terakhir. Tapi tak urung, niat baik pemerintah itu memerlukan beberapa waktu untuk penerimaan di kalangan umat. H.A. Hamid Wijaya, misalnya, Sekjen (Katib Aam) Syuriah NU, bisa menghargai MUI. Toh ia menganggap lebih baik kalau badan seperti itu dibentuk "melalui potensi umat yang ada -- bukan ditentukan dari atas. " Padahal kalau ia semata tumbuh dari bawah, belum tentu ia akan jadi jembatan itu. Lagi pula sebagian orang melihat kepada hasil. Dan dilihat dari pihak pemerintah, menurut K.H. Hasan Basri, yang sekarang ini Ketua Periodik MUI, biasanya "pendapat MUI diterima dengan baik karena murni sifatnya". Yakni bukan merupakan suara golongan atau partai. Memang, dalam kasus fatwa Natal ini terlihat seolah majelis ini hanya menyuarakan "kepentingan umat Islam" semata -- tanpa mempertimbangkan pihak lain. Juga dalam fatwa tentang aliran kepercayaan dahulu. Toh, sementara masalah fatwa Natal memang kompleks, dalam masalah kepercayaan akhirnya apa yang dimaksud MUI sejalan belaka dengan pandangan pemerintah -- seperti dikatakan Hasan Basri. MUI tak setuju aliran kepercayaan dianggap sebagai agama atau disamakan dengan agama. Dan penetapan terakhir ternyata begitu pula. Lebih dari itu, seperti disebut dalam rekomendasi Munas II Majelis Ulama se-Indonesia, Mei tahun kemarin, para ulama itu merekomendasikan pula penyebarluasan P4 -- meski dalam 'pembudayaan dan penghayatan Pancasila' diminta agar usaha tidak terutama dititikberatkan pada penataran. Melainkan pengamalan dan partisipasi yang nyata. Manfaat MUI yang lain: seorang menteri bisa saja mengundang para anggotanya dan meminta pikiran -- misalnya dalam soal lingkungan, oleh Emil Salim, yang kemudian disambung pula dengan beberapa pertemuan. Toh tidak benar bila dianggap MUI hanya memikirkan hal-hal yang tidak mendasar. Hasil Munas 11 yang telah disebut, selain mempercayai Mandataris MPR untuk melanjutkan kepresidenannya, juga meminta perhatian pada berbagai akibat sampingan pembangunan. Seperti meluasnya kesenjangan antara kaya dan miskin, korupsi, dekadensi moral, ekses teknologi, permintaan pengutamaan masyarakat desa, permintaan perhatian kepada pengusaha pribumi dan ekonomi lemah, ajakan pemupukan semangat cinta tanah air dan idealisme, pikiran untuk pembaruan sistem pendidikan nasional, bahkan saran koordinasi lebih intensif zakat dan sumber dana muslimin oleh pemerintah. Manfaat lain: MUI berhasil menjadi tempat berkumpul berbagai golongan. Inilah yang pertama kalinya, sebenarnya, umat Islam punya wadah kumpul-kumpul itu -- ukhuwah Islamiyah, istilahnya, yang memang digariskan sejak pembentukannya sebagai fungsi MUI yang kedua. Hamid Wijaya, Sekjen Syuriah NU itu, di titik ini memuji kelebihan organisasi ulama ini, -- yang menyebabkan "langsung atau tidak langsung tindakan MUI akan dirasakan oleh masyrakat," dan "jika benar, umat Islam akan mendukungnya." Apalagi dengan kepemimpinan model Hamka. Buya yang dulu pengarang novel ini "bisa diterima di pemerintah, bisa pula di kalangan ulama." Ia juga ulama Muhammadiyah " yang tidak pernah menyakiti hati NU," kata Hamid Wijaya pula. Hanya kerukunan dengan umat agama lain memang seolah terganggu, akibat kasus fatwa itu. Meskipun bagi para ulama itu sendiri, fatwa itu justru merupakan bekal menghadapi kesimpang-siuran . Orang mungkin membayangkan bahwa MUI akan agak mundur -- meski Letjen (Purn.) H. Sudirman, salah seorang ketuanya, menyatakan justru peristiwa ini memaksa MUI mawas diri. H. Burhani Tjokrohandoko, Sekjen majelis tersebut, yang juga Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji di samping pimpinan GUPPl Pusat dan Majelis Dakwah Islamiyah (MDI)-Golkar Pusat, menyatakan bahwa pemerintah masih tetap menghendaki MUI berfungsi seperti biasa. Juga Menteri Agama. Namun Hamka juga menuturkan, di rumahnya, bahwa kehadiran ulama secara informal -- sendiri-sendiri -- belum tentu kuran efektif dibanding keberadaannya dalam majelis resmi. Ia sendiri misalnya, yang menyatakan akan tetap membantu pemerintah dan Presiden, sejak dulu tak habis-habisnya dimintai fatwa -- juga oleh kalangan pemerintah. Hamka tentu tak ingin MUI bubar, ataupun mundur -- dan pernyataan itu pernah disiarkan pers. Hanya, seperti dikatakan seorang anggota biasa Majelis yang tak mau disebut namanya, persoalannya akan sama saja baik ada atau tak ada Hamka -- tergantung pada seberapa jauh pemerintah masih akan memberi "hak otonomi" kepada lembaga itu. Obsesi bahwa para ulama itu dulu diangkat pemerintah, meski tidak digaji, di saat-saat tertentu ternyata memang justru bisa menimbulkan was-was. Misalnya terhadap kemungkinan majelis para pengayom umat itu hanya dijadikan "dapur" atau bagian dari departemen mana pun, atau jadi bagian dari kekuatan politik atau partai. Padahal, sebagaimana dimaksud sejak mula, ia memang jembatan --yang seharusnya bisa menghubungkan dua pinggir, dan tidak goyang. Untuk itu tak mungkin hanya dengan mengumpulkan sejumlah tokoh di MUI -- yang tak berwibawa, yang tak bisa mengantarkan ke seberang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus