Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Viral flexing mahasiswa penerima fasilitas bantuan keuangan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K) belum berarti menunjukkan bantuan yang salah sasaran. Namun, beberapa catatan memang menyertai kebijakan bantuan keuangan yang ditujukan bagi mahasiswa dari keluarga dengan golongan ekonomi tak mampu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Gitadi Tegas Supramudyo memberikan pandangannya tersebut lewat keterangan yang dibagikannya, Rabu 8 Mei 2024. Gitadi adalah Dosen Administrasi Publik dan memberikan perbandingan KIP-K dengan mekanisme pemberian keringanan SPP di kampusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, menilai sebuah kebijakan harus berdasar data dan fakta. Dia mencontohkan, jika ada ribuan yang bermasalah, barulah bisa dilakukan analisis evaluasi. “Tapi kalau dari ratusan ribu penerima KIP-K, hanya satu atau dua kasus, itu bukan masalah,” kata Gitadi.
Gitadi juga menyampaikan agar media massa tidak langsung mengambil kesimpulan dari kejadian viral flexing itu. Sebab, narasi yang diberikan belum tentu sesuai dengan kenyataan asli, bisa saja berupa asumsi.
“Bisa saja yang bersangkutan mengejar followers dengan berpenampilan yang terkesan mahal," katanya sambil menambahkan, "Jangan-jangan mobil pinjaman, tasnya KW, atau perhiasannya juga imitasi.”
Lebih jauh, Gitadi menerangkan, kunci efektivitas kebijakan dan atau program pemerintah adalah desentralisasi atau tidak erpusat di satu lembaga saja. Dengan kata lain, perlu melibatkan lembaga/institusi independen yang lebih kredibel untuk menentukan sasaran program.
“Jadi jangan pusat, juga jangan dari kampus saja. Karena, kampus juga punya keinginan untuk mahasiswanya mendapatkan bantuan,” kata Gitadi memberikan ilustrasi.
KIP-K Kurang Belajar
Atas dasar itu, Gitadi beranggapan bahwa lembaga yang mengatur KIP-K, Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) di Kementerian Pendidikan Kebudayaan dan Ristek, kurang belajar dari pengalaman berbagai kampus.
Padahal, menurutnya, mekanisme yang dimiliki oleh universitas sudah bagus. Banyak perguruan tinggi disebutkannya sudah punya mekanisme menentukan SPP yang baik, sampai home visit (dikunjungi rumahnya), ditanya tetangganya, konsumsi listriknya.
Gitadi mencontohkan Unair yang memiliki pengalaman untuk survei ke rumah-rumah mahasiswa yang membutuhkan bantuan finansial. Hal itu dianggap sebagai proses bersusah payah untuk menemukan solusi (muddling through).
Menggunakan perbandingan itu, Gitadi menilai program KIP-K bagus di permukaan saja. Dia menyarankan, perlu struktur atau institusi khusus dalam pelaksanaan program atau kebijakan.
Menurut Gitadi, secara psikologis, seseorang cenderung tidak mau jujur mengakui jika bantuan yang diberikan nantinya dicabut. Oleh karena itu, perlu ada perubahan sistem dalam kebijakan.
Harus Fair, Peraturan Jangan Karet
Gitadi juga berpendapat bahwa peraturan tidak boleh bersifat karet. Kata ‘bisa dicabut’ dalam pernyataan Puslapdik dianggapnya tidak tegas. Kalau status ekonomi si mahasiswa sudah naik, bantuan harus langsung diputus.
"Tapi, harus fair juga mekanismenya. Karena, mana ada orang yang mau bantuannya dicabut. Harus didatangi dan diperiksa betul,” katanya merinci.
Gitadi juga memberi pesan dan harapan kepada pemerintah untuk melakukan survei dan riset. Serta memberikan alternatif rekomendasi pada penyelenggaraan kebijakan dan pengutamaan kebijakan. “Dengan itu, proses kebijakan bisa dianggap cerdas dan baik,” tutur dia.