Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas awan cerah St John, Amerika Serikat, seorang petugas protokol Istana tergopoh-gopoh meminta para pemimpin redaksi mendatangi tempat duduk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Chopstick, tenderloin daging sapi, dan kentang gratin yang lezat di kabin belakang pesawat segera ditinggalkan. "Bapak mau bicara," kata petugas itu. Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar, penasihat presiden Agus Wijoyo, dokter kepresidenan Triatmo Budijuwono, dan para pemimpin redaksi anggota rombongan segera ke kursi deretan depan.
Ada yang gawat? Tidak juga. Bercelana gelap, dengan kemeja putih lengan panjang tanpa dasi, senyum terkembang di bibir Presiden. Setelah menanyakan kabar, Presiden menunjuk layar televisi yang terpajang di dinding pembatas ruangan para menteri dan pejabat lain dengan ruangan khusus Presiden, Ibu Negara, dan putra sulungnya, Mayor Infanteri Agus Harimurti. "Di sini, di atas langit St John ini, ada kenangan penting bagi saya," katanya menunjuk layar yang menampilkan peta rute terbang.
Presiden berkisah. Ketika terbang di atas St John, dia pernah menyusun konsep bersama mantan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Saat itu, dua kali Indonesia "diadili" di Perserikatan Bangsa-Bangsa perihal pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. "Lewat usul kami, sebut saja proposal St John ini, PBB bisa kami yakinkan. Kini kita bisa berdiri tegak berjalan di markas besar komunitas pemimpin dunia ini," katanya.
Di gedung PBB di kawasan Manhattan, Kota New York, Amerika Serikat, Yudhoyono mengaku tampil percaya diri. Ia menghadiri Sidang Majelis Umum ke-67 yang dibuka Selasa pekan lalu. "Saya mengusulkan protokol internasional antipenistaan agama," ujarnya. Menteri-Sekretaris Negara Sudi Silalahi menimpali. Menyitir Pasal 29 Deklarasi Hak Asasi Manusia, ia menyatakan kebebasan berekspresi itu dibatasi moralitas dan ketertiban umum. "Jadi tidak absolut." Sudi tengah menyindir Innocence of Muslims, film yang dianggap menghina Islam.
Bertolak dari Halim Perdanakusuma, pesawat carter Garuda transit dua kali untuk mengisi avtur. Ketika jeda di Bandara Internasional Dubai, Uni Emirat Arab, Presiden makan malam di restoran Safar, dengan menu khas kesukaannya: nasi mandi berlauk daging kambing muda. Ia melihat-lihat toko buku sebelum rehat di ruangan VVIP.
Di Le Bourget, Paris, tempat transit berikutnya, hawa dingin dihangatkanoleh isu panas: tabloid Charlie Hebdo bikin gaduh lantaran karikaturnya dinilai menghina Nabi Muhammad. "Kami sampai berburu tabloid itu di semua tempat," ujar Arifi Saiman, konsul di Kedutaan Prancis.
Setelah terbang hampir 23 jam, rombongan mendarat di Bandara John F. Kennedy, New York, Ahad pagi pekan lalu. Setelah tujuh jam beristirahat, Presiden mengundang para delegasi, sembilan menteri, dua anggota Dewan Perwakilan Rakyat, seorang utusan Dewan Perwakilan Daerah, dan lima pemimpin redaksi, termasuk Tempo, mengikuti rapat konsolidasi. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menjelaskan acara pokok Presiden selama berada di New York. Digelar di lantai 29, Hotel Millennium UN Plaza, rapat berlangsung sekitar satu setengah jam, diselingi gangguan mikrofon, yang menurut SBY, "Suaranya timbul-tenggelam."
Dari hotel inilah, yang cuma berjarak 300 meter dari markas PBB, semua kegiatan delegasi Indonesia dipusatkan. Ini adalah hotel langganan banyak kepala negara, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid ketika mengikuti KTT Milenium pada 2000.
Sehari kemudian, sejak pagi kantor New York Stock Exchange Euronext "diserbu" rombongan dari Jakarta. Senin itu ada kenduri Indonesia Investment Day bertema "Indonesia's Rise as Asia's New Economic Power House: Transformation, Opportunities and Partnership for All". Hall pertemuan di gedung bursa efek raksasa di kawasan Wall Street itu penuh sesak oleh para tamu yang disodori buklet "Report Indonesia 2012", profil proyek raksasa, plus advertorial berjudul "Invest in Indonesia" di koran New York Times, Senin, 24 September lalu. Para investor juga disuguhi onde-onde, lemper, arem-arem, dan getuk lindri—selain croissant, aneka jus, dan coke.
Presiden sarapan di gedung bursa paling bergengsi di dunia ini bersama Duncan L. Niederauer, CEO New York Stock Exchange Euronext. Sejumlah pengusaha Amerika ikut bergabung, di antaranya dari General Electric, Honeywell, DEL, Coca-Cola, IBM, P&G, dan Boeing. "Baru kali ini Presiden RI berbicara di sini. Saat ini kita kuasai Wall Street walau cuma sampai siang," ujar Duta Besar RI di Amerika, Dino Patti Djalal, bergurau.
Yudhoyono berpidato ihwal pesatnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Senyampang menepis lima mitos ketidakstabilan ekonomi, SBY menambahkan bahwa tahun ini Indonesia bukan mustahil menjadi raksasa ekonomi terbesar kedua di Asia, setelah Cina, dan melampaui India. "Tahun ini kami menargetkan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,5 persen," katanya.
Dubes Dino, disaksikan Yudhoyono, meneken nota kesepakatan dengan Stanley Roth, Vice President Boeing. Beberapa maskapai penerbangan swasta nasional baru saja meneken kontrak pembelian pesawat komersial dengan Boeing senilai US$ 34,6 miliar. "Di antaranya Lion Air, yang bertransaksi US$ 22 miliar," ujar Dubes Dino. "Ini berita bagus. Saya sudah baca draf perjanjian yang sangat menguntungkan kita. Ini model kemitraan yang bagus," ujar SBY.
Selasa pagi pekan lalu, berlangsung Sidang Majelis Umum ke-67, dibuka pemimpin sidang, Vuk Jeremic dari Serbia. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon memberi sambutan. Di sesi debat umum, Presiden mendapat giliran berpidato yang kesembilan. Dalam pidato tertulisnya itu, dibantu teleprompter, Yudhoyono menyinggung soal pentingnya Dewan Keamanan memberi solusi terhadap tragedi kemanusiaan di Suriah. SBY juga mengkritik formasi Dewan Keamanan, yang menurut dia harus direformasi. Berulang kali SBY menyebut istilah "warm peace"—politik internasional yang relatif stabil—dan perlunya reformasi Dewan Keamanan.
Film Innocence of Muslims disinggung Yudhoyono, Obama, dan Presiden Mesir Muhammad Mursi. SBY prihatin terhadap masih maraknya penistaan agama yang disebutnya "defamation of religious". Ia lalu menyerukan perlunya protokol internasional antipenistaan agama. "Bisa dijadikan instrumen hasil konsensus bersama, yang mengikat komunitas dunia, sehingga bisa mencegah konflik antarpemeluk agama," ujarnya dalam pidato 15 menit sesuai dengan jatah yang dialokasikan panitia.
Soal tepat waktu, SBY memang jagonya. Alokasi waktu diatur oleh tim penyusun pidato Presiden. "Pembisik" utama adalah Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Duta Besar Dino Patti Djalal, dan Staf Khusus Urusan Luar Negeri Teuku Faizasyah. Yang terakhir ini selalu nempel dengan Presiden dan mendapat tugas penting "mengikuti perkembangan mutakhir dan suasana sidang". Soal pidato, semua dibaca ulang oleh Dino. "Draf final dibaca Pak Dino. Istilah kami di-Dino-kan," ujar Kepala Protokol Negara Achmad Rusdi. Pembaca terakhir tentu Presiden sendiri. "Beliau teliti dan mendetail. Titik-koma semua dicermati," kata Dino. "Saya memang menyiapkan data dan fakta seakurat mungkin agar bisa memberi masukan yang benar dan berarti," ujar Yudhoyono kepada Tempo. Ingin tampil tanpa cela, teleprompter Presiden dibawa khusus dari Jakarta.
Tak cuma di Sidang Umum PBB, naskah pidato Presiden dibacakan dalam pertemuan tingkat tinggi antara Yudhoyono, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf. Juga saat Presiden menerima penghargaan dari tiga lembaga prolingkungan hidup dan sebuah asosiasi bisnis. SBY juga berpidato pada pembukaan seminar yang menghadirkan Don Emmerson, George Soros, dan Lakhdar Brahimi.
Padatnya acara, termasuk pertemuan bilateral dengan sejumlah kepalanegara, di antaranya Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda, tak menyisakanwaktu buat SBY untuk rileks. Sedikit waktu luang hanya Kamis sore. Saat itu Presiden menyempatkan diri menghirup udara segar di Central Park. "Saban hari saya hitung, dari hotel sampai gedung PBB dan ke sana-kemari, saya berjalan kaki enam kilometer. Tak apa, malah sehat," ujarnya.
Wahyu Muryadi dan Victoria Sidjabat (Kota New York)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo