Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pekik 'Mena Moeria' Kian Sayup

Republik Maluku Selatan adalah "hantu" di balik prahara Maluku. TEMPO mencoba menyusuri jejaknya di Belanda.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARKAS Republik Maluku Selatan (RMS) sekarang adalah sebuah gedung yang kosong melompong. Pintu mukanya yang hijau dan berat di Bazaarstraat 50, di pusat Kota Den Haag, Belanda, cuma sesekali dibuka. Berlantai tiga, tak ada aktivitas apa pun di South Molluca's Office itu pada awal Juni lalu. Tak ada langkah-langkah sibuk, staf yang hilir-mudik, apalagi kerja pemerintahan. Yang ada cuma kertas kusam yang bertebaran. Meja-meja pun berdebu. Beberapa komputer membisu. Lalu ada bendera RMS, merah-putih-biru-hijau, yang kumal. Dan foto-foto hitam putih dari masa lampau?potret diri Soumokil "sang proklamator" dan berbagai aksi RMS yang masih menggelora pada tahun 1970-an. Selebihnya, suram dan hening. Ternyata, begitulah potret RMS, yang dua setengah tahun lamanya "diperhantukan" dalam kemelut berdarah di Maluku. Terakhir, namanya kembali disebut-sebut pascabentrokan Batalyon Gabungan TNI dengan Laskar Jihad, yang menewaskan 24 anggota milisi sipil itu pada pertengahan Juni kemarin. Kesan melompong itu juga yang tergambar dalam wajah "pemerintahan di pengungsian" tersebut. Setengah abad sudah RMS diproklamasikan sejak 25 April 1950. Dan boleh percaya boleh tidak, kini tinggal tiga orang saja personelnya. Mereka adalah F.L.J. Tutuhatunewa (presiden), Pieter Thenu (wakil presiden), dan J.W. Wattilete (menteri urusan umum). Menurut Sam Pormes, anggota parlemen da-erah Assen asal Maluku, satu per satu tokoh RMS berguguran. Kecenderungan ini dimulai pada 1980, ketika Menteri Pemuda Lilipaly secara terbuka menyatakan pengunduran dirinya. Maret lalu, dua rekan sejawatnya, Otto Matulessy dan Frieda Souhuwat-Tomasoa, menyusul keluar dari kabinet. Yang unik, tadinya Otto dan Frieda sama-sama menjabat menteri luar negeri. Bedanya, Otto khusus untuk Asia Pasifik, Frieda untuk Eropa dan Amerika. Lalu, bagaimana RMS bisa disebut pemerintahan? "Ya itulah. Kami di sini juga merasa lucu sekali," kata Sam tergelak. Belakangan, pandangan mereka memang terbelah. Ada yang ingin terus memperjuangkan Maluku yang merdeka, ada yang mulai melirik otonomi. Jalan kedua inilah yang disorongkan duet Otto-Frieda, dan sebaliknya ditentang keras Tutuhatunewa. Setelah kejatuhan Soeharto, Otto intensif menjalin kontak dengan Jakarta. Pada Desember 1999, ia memimpin sebuah delegasi untuk bertemu dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka. Dan sejak itulah opsi otonomi mulai digadang-gadang, sebelum ia dipecat. Sayang, Otto tak menjawab berbagai permohonan wawancara dari TEMPO. Menurut Sam, eksponennya sekarang berkeping-keping ke dalam 17 faksi terpisah. Masing-masing berdiri sendiri dan tak terikat apa pun?apalagi tunduk?pada perintah Presiden Tutuhatunewa dan kabinetnya. Di seluruh Belanda, anggotanya tinggal tak lebih dari 500 orang. Tutuhatunewa naik menggantikan presiden sebelumnya, Manusama, pada 1993. Prosesnya, kata Sam, nyaris diangkat begitu saja, tanpa sebuah proses pemilihan yang merepresentasikan secara baik 45 ribu warga Maluku di Belanda, apalagi mereka yang ada di Bumi Seribu Pulau. Padahal, pada masa-masa sebelumnya, tiap weijk (kawasan permukiman) Maluku secara teratur menyelenggarakan pemilihan untuk mendudukkan wakil-wakilnya di Badan Persatuan, semacam parlemen RMS. Lembaga inilah yang memilih presiden. Tapi, sejak 1990-an, pemilu tak pernah lagi digelar. Kenapa? Karena hampir tak ada lagi anggota RMS. Akibatnya, kata Sam lagi, "Kalau mereka sudah tua atau malas, mereka tinggal ganti dengan teman atau saudara mereka sendiri." Pemerintah Belanda pun tak pernah mengakui keberadaannya. "Buat kami, RMS itu cuma joke," kata seorang diplomat Belanda yang tak bersedia disebut namanya. Pergerakan RMS terjadi sepanjang dasawarsa 1970-an. Ketika itu, kekecewaan para eks serdadu KNIL ini mencapai puncaknya. Tiba-tiba menjadi kaum terusir di negeri orang, mereka kecewa terhadap pemerintah Belanda, yang tak peduli terhadap nasib mereka. Maka, berbagai aksi demonstrasi pun meluap ke jalan-jalan Belanda. Berikut aksi kekerasan, mulai dari pendudukan Konsulat RI di Amsterdam, serangan ke rumah Duta Besar RI di Wassenaar, pembajakan kereta api pada 1977 yang menewaskan delapan orang, pendudukan sebuah sekolah, serta upaya gagal menculik Ratu Yuliana. RMS berhasil merebut perhatian. Tapi, memasuki tahun 1980-an, RMS mulai meleleh. Pada pertengahan 1990-an, perannya bahkan hampir hilang. Penyebabnya, menurut Sam, adalah waktu. Generasi pertama habis dimakan usia. Generasi kedua sudah lelah dan larut dalam urusan hidup masing-masing. Dan generasi ketiga tak lagi ambil peduli. Soal karir, rumah, dan posisi sosial jauh lebih penting buat kalangan yang sepenuhnya lahir di sana. Apalagi, kebanyakan mereka kini telah hidup mapan. Pemerintah Belanda menyediakan flat yang nyaman buat mereka. Di kota Assen dan Breda, misalnya, "kampung Maluku" itu adalah flat berwarna abu-abu yang berjejer apik, taman asri, sedan-sedan mulus, dan bocah-bocah berambut keriting yang asyik bermain bola di halaman. Pemilu DPRD Assen pada 1998 membuktikannya, kata Sam. Ketika itu pimpinan RMS setempat ikut dalam pencalonan. Ia giat menebar pamflet di perkampungan Maluku. Bunyinya, jangan pilih Sam yang anti-RMS itu. Dan propaganda itu tak laku. Sam mengantongi 415 suara dari perkampungan Maluku, dan terpilih. Sedangkan saingannya cuma 40 suara. Apa sebabnya? "Sekarang, masyarakat tak lagi ambil pusing apakah calonnya orang RMS atau bukan. Yang mereka pedulikan, apakah si calon bisa mengurus keperluan hidup mereka atau tidak," ujar Sam. Bahkan, banyak juga warga Maluku di Belanda yang tak pernah setuju dengan cita-cita RMS. Sam Pormes adalah salah satu tokohnya. Di mata kelompok ini, RMS cuma disokong oleh sekumpulan orang yang ingin mempertahankan posisinya yang diuntungkan di bawah Belanda, seperti para raja adat, guru, pamong praja, dan tentara KNIL. RMS juga dipandang tidak antikolonial, dan cuma akan dijadikan negara boneka oleh Belanda ketika itu untuk mempertahankan kekuasaannya. Meski begitu, spirit dan dukungan terhadap RMS bukan berarti sama sekali pupus. Ia tetap kukuh bertahan sebagai identitas kultural. Tiba-tiba, pada Juni tahun lalu, muncullah Front Kedaulatan Maluku (FKM). "Bayi ajaib" ini dipimpin Alex Manuputty, seorang dokter yang bekerja di rumah sakit pemerintah, yang namanya tak banyak terdengar sebelumnya. FKM lahir didorong kekecewaan sejumlah kalangan muda terhadap pemerintah RMS, yang cuma bertopang dagu menyikapi konflik Maluku. "Konflik Maluku adalah berkah yang tak dinyana bagi kelahiran kembali kesadaran hak-hak politik RMS," kata Luis T. Risakotta, Ketua Perwakilan FKM Jakarta. Di mata Luis, pemerintahan RMS sekarang telah gagal men- jalankan fungsinya. FKM memang seperti sedang berupaya mengambil over kevakuman RMS. "Saya pegang kata-kata Tutuhatunewa, jika di Maluku sudah terbentuk pemerintahan darurat di bawah FKM, pemerintahan RMS akan dibubarkan," kata Umar Santi, seorang muslim yang menjabat Ketua Perwakilan FKM Eropa. Lambang organisasinya pun hampir sama dengan RMS: seekor merpati perdamaian dan parang-salawaku (perisai). Tapi mereka tak berada di bawah struktur RMS, "Meskipun spirit kami adalah RMS juga," kata Umar. Mereka juga didukung beberapa kelompok kecil RMS, antara lain janda Soumokil. Selain itu, kata Umar, juga dari 20 organisasi, gereja dan masjid Maluku di Belanda. Termasuk dua gereja besar: Gereja Protestan Maluku dan Gereja Injili Maluku, serta dua pemuka Maluku muslim di Belanda, Imam Ohorella dan Ollong. Ia juga menunjukkan sepucuk surat pernyataan dukungan yang diteken Presiden Tutuhatunewa dan George R. Tonikoe, Wakil Ketua Badan Persatuan, tertanggal 11 Mei 2001. Menurut Liem Soei Liong, aktivis hak asasi manusia Belanda yang punya hubungan rapat dengan tokoh-tokoh Maluku, FKM dan RMS jelas berbeda. RMS, dengan segala kelemahannya, punya massa tradisional dengan loyalitasnya cukup tinggi, khususnya di Belanda. Sedangkan FKM masih harus membuktikan dirinya untuk mendapat sokongan. Meski begitu, kata Liem, keduanya memang saling memanfaatkan. Kini, mereka tengah menggiatkan lobi internasional. Menurut Umar, sudah dua kali mereka bertemu senator Amerika Serikat, antara lain Hillary Clinton, Februari dan Maret lalu. Juga mengadakan pertemuan dengan staf National Security Council bersama para tokoh gerakan Aceh dan Papua Merdeka. Bahkan, mereka juga tengah menjajaki kemungkinan mengajukan gugatan ke mahkamah internasional bersama Profesor Pinto, guru besar hukum internasional Universitas Leiden asal Portugal, yang berpengalaman menangani kasus Timor Timur. Toh, sama dengan RMS, FKM pun jauh dari bentuk sebuah organisasi yang solid. Yang ada cuma orang per orang pengurusnya. Keluasan pengaruhnya pun masih perlu dipertanyakan. Dan, belum apa-apa, suara minor ke arah FKM sudah terdengar. "Kesan saya, para pengurus FKM itu bisa digolongkan avonturir, atau malah mungkin lebih jelek," kata seorang tokoh LSM Belanda. Sam juga termasuk yang menyatakan para pengurus FKM cuma ber-motif kepentingan politik pribadi. Sam menengarai, FKM didirikan untuk menampung melimpahnya dana bantuan kemanusiaan dari sejumlah LSM Belanda ke Maluku. Ia memperkirakan, sejak didirikan, FKM paling tidak telah menerima donasi 100 ribu gulden (sekitar Rp 450 juta). Sumbernya, dari berbagai kegiatan penggalangan dana di hampir semua perkampungan Maluku di Belanda. "Dan jelas sekali, hampir semua dana itu disalurkan ke kawasan Kudamati, basis FKM dan milisi Kristen," kata Sam, yang juga seorang pemeluk Protestan ini. Tapi Luis membantah keras anggapan tak sedap itu. Ia cuma membenarkan adanya sumbangan dari luar negeri untuk berbagai perjalanan lobi internasional FKM. Lain dari itu tidak. Namun, Umar, yang juga merupakan Wakil Ketua Yayasan HAiN (Help Ambon in Nood), mengakui peran mereka dalam penyaluran dana. Menurut dia, lembaganya telah mengirimkan setengah juta gulden untuk dana kemanusiaan ke Maluku, termasuk ke kelompok muslim. Agama juga bukan faktor dalam RMS, seperti digembar-gemborkan selama ini. Benar, kata Sam lagi, pada kurun 1970-1990 RMS banyak mendapatkan sokongan dari gereja, khususnya dari Gereja Injili Maluku?gereja Maluku terbesar di Belanda. Kantor RMS sekarang adalah hibah dari gereja itu. Berbagai rapat RMS juga diadakan dan difasilitasi gereja. Sebulan sekali, tiap tanggal 24 pasti diadakan kebaktian negara menyambut hari proklamasi RMS. "Jadi, di satu sisi RMS memang sangat terikat dengan gereja," kata Sam. Tapi, di sisi lain, tak sedikit pula warga muslim Maluku Belanda menjadi pendukungnya. Dari 1.000 jiwa lebih Maluku muslim di sana, separuhnya adalah pendukung RMS. Umar Santi, 48 tahun, adalah salah satu contohnya. Ohurela adalah juga seorang muslim yang pernah tercatat sebagai menteri RMS. Momok RMS agaknya cuma hantu di siang bolong. Seperti ditulis Aboeprijadi Santoso, wartawan senior Belanda, "Idealisme RMS sudah lama mati di Maluku, sedangkan gerakannya di Belanda lama-kelamaan menjadi semacam dokumen hidup dan ritual politik." Pekik perjuangan Mena Moeria (maju terus) pun terdengar kian sayup. Karaniya Dharmasaputra (Belanda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus