PENETAPAN tersebut tercantum dalam kontrak jual-beli yang
ditandatangani 11 September antara Dirut PN Garam Sudiat dengan
para manager KUD di Madura dan Jawa Timur. Hal itu sesuai dengan
bunyi SK Menperdag 270 & 349/1977 yang menyebutkan "pembelian
garam rakyat harus lewat KUD garam."
Itu berarti pelaksanaan SK tersebut terlambat 2 tahun. Apa
sebabnya tidak jelas. Tapi yang pasti selama ini petani garam
sudah terlanjur terjerumus dalam perangkap tengkulak. Misalnya
para petani garam di sekitar Pengarengan, (Sampang, Madura)
selama ini menjual kepada tengkulak dengan harga Rp 5,5/kg untuk
semua kelas.
Itu belum termasuk ongkos angkut dari tambak karena tengkulak
hanya mau memarkir truk di pinggir jalan besar. "Setiap ton saya
harus membayar Rp 1.000 karena garam harus diangkut dengan
perahu dulu," ujar Haji Abdul Rahman, salah seorang petani garam
di sana.
Tidak cukup dengan seribu saja, pak haji juga musti bayar lagi
Rp 240/ton sebagai retribusi truk, yang konon untuk dana
pembangunan. "Jadi setiap kilogram saya hanya menerima Rp 2
saja," tutur pak haji lagi.
Selain Sumenep dan Kalianget, Sampang merupakan pusat tambak
gararn dMadura. Tambak milik rakyat di Pengarengan saja hampir
meliputi 1.000 ha, yang setiap musim menghasilkan sekitar 50.000
ton. Areal PN Garam sendiri yang 5.700 ha hampir semuanya ada di
Pengarengan.
Mandi Limun
Tapi di sana juga terkenal banyak buruh-tani garam yang nasibnya
sama merosotnya dengan para petani garam itu sendiri. Cerita
salah seorang petani di sana, Hanifah 55 tahun, menarik. "Dulu
orang Pengarengan suka sesumbar, bukan orang Pengarengan kalau
belum mandi limun di musim Danen garam," katanya. Ini untuk
menunjukkan betapa makmurnya petani garam waktu itu "Di zaman
muda saya dulu, zaman penjajahan, garam rakyat dibeli semua oleh
pabrik dengan harga mahal. Mungkin ketika itu hanya di sini
orang bikin garam dan bisa dikirim ke negeri-negeri lain jajahan
Belanda," tutur Hanifah.
Sekarang, Pengarengan bagaikan koea yang ditinggalkan penghuni.
Banyak bangunan megah runtuh, sementara taman-taman luas
membelukar. "Padahal dulu seperti kota saja. Dan wanitanya
berkalung emas segede rante sepur," Hanifah tertawa.
Sekarang, petani yang memiliki tambak 1 ha misalnya, dalam
semusim paling-paling hanya menghasilkan Rp 180.000 bersih.
Kenaikan harga garam rakyat se]ak pertengahan September lalu,
mustinya bisa melipat-gandakan penghasilan petani 3 kali lipat.
Tapi karena jarak waktu antara pengumuman dan pelaksanaan
pembelian hampir sebulan, para tengkulak sudah lebih dulu
memborongnya.
Walhasil, seorang petugas BUUD di Sampang menyimpulkan
"seolah-olah Pemerintah memberi kesempatan kepada pedagang untuk
cepat-cepat membeli garam sebelum harga dinaikkan." Tentu saja
Pemerintah tidak bermaksud begitu. Cuma keterlambatan
pemberitahuan itulah tentu yang jadi biang soalnya.
"Kalau beberapa hari sebelumnya sudah tahu akan ada kenaikan,
tentu diusahakan agar pembelian oleh pedagang direm," ujar
seorang pejabat di Pemda Sampang. Siapa yang salah? Bupati
Sampang, Mursyim, menjawab: "PN Garam memang tidak mengontak
Pemda." Karena itu bupati buru-buru turba menyelenggarakan
rapat-rapat kilat.
Di Pengarengan sendiri, ternyata hanya sedikit saja yang dibeli
oleh PN Garam. "Pembelian tahap pertama hanya 9.400 ton, padahal
produksi sekitar 50.000 ton," kata Camat Camplong, Hadiroso.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini