Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kegagalan Partai Persatuan Pembangunan disingkat PPP pada pemilihan legislatif atau Pileg 2024 sangat mengejutkan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasalnya partai yang dipimpin Muhamad Mardiono tersebut hanya membutuhkan 0,13 persen suara lagi untuk memastikan diri lolos ke Senayan dari 3,8 persen suara yang masuk untuk PPP. Nahasnya lagi ini menjadi rapor merah bagi PPP sekaligus menghentikan kekonsistenan partai berlambang Ka'bah tersebut selama 50 tahun terakhir selalu berhasil masuk ke Senayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ternyata efek kegagalan tersebut berimbas pada gejala konflik internal dalam PPP, berikut fakta-fakta terbarunya.
1. Sering Berkonflik dan Menyalahi Citra sebagai Partai Agamis
Dilansir dari Radio Republik Indonesia, politikus senior PPP yakni Zainut Tauhid mengungkapkan kekecewaannya atas ketidakbecusan pengurus partai internal yang dirinya anggap berkontribusi besar atas gagalnya PPP melenggang ke Senayan.
Ini adalah kali pertama dalam sejarah partai yang juga menaungi Sandiaga Uno ini tidak lolos, Zainut mengaku kegagalan PPP akibat tidak bisa lagi meraih kepercayaan masyarakat karena para elit partainya acapkali mempertontonkan konflik di publik padahal PPP sendiri bernapaskan Islam.
2. Sandiaga Uno Ungkap Permintaan Maaf
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno ikut bersuara terkait kekisruhan internal PPP yang kurang 0,13 persen lagi untuk ke Senayan. Dirinya yang baru bergabung dalam partai tersebut menyampaikan permintaan maafnya. "Saya memang perpindahan ke PPP ini tadinya difokuskan untuk mengangkat suara PPP, belum bisa diwujudkan. Saya mohon maaf mungkin kalau ada kurang optimalnya dari kinerja selama berkampanye untuk PPP." Sandi juga mengungkapkan keprihatinannya atas pengurus partai di daerah lain yang sudah berjuang semaksimal mungkin, namun, tak ayal Sandi pun legowo dan menerima keputusan sengketa Pileg 2024 lalu.
3. Penggantian Ketua Umum Secara Mendadak
Konflik internal PPP bahkan telah tercium sebelum pemilihan legislatif dilaksanakan, dikutip dari Antaranews saat itu salah satu partai tertua di Indonesia ini memang memperlihatkan kondisi kritis dari hasil survei yang telah beredar terkait elektabilitas partai.
Namun, bukannya segera membenahi dan ubah strategi PPP justru blunder dan melakukan penggantian ketua umum secara mendadak dari Suharso Monoarfa diganti dengan M. Mardiono. Sedangkan partai lainnya tengah berjuang meneguhkan konsolidasi elite.
4. Pro-Kontra Internal PPP Memutuskan Berkoalisi dengan Kubu Ganjar-Mahfud
Ternyata terdapat sejumlah pro-kontra di kalangan internal PPP saat memutuskan berkoalisi dengan paslon capres nomor urut 3 Ganjar-Mahfud. Elit internal PPP memutuskan secara sepihak untuk langsung berkoalisi dengan kubu PDIP, sedangkan dari pihak internal banyak yang menginginkan untuk berkoalisi dengan paslon nomor urut 1 dan 2.
Hal ini semakin memperbesar keretakan internal partai hingga pecah suara dan tidak solid lagi. Meskipun demikian PPP di tingkat kabupaten/kota dan provinsi masih memiliki eksistensi untuk lolos sebagai lembaga parlemen daerah.
5. Sosok Pemimpin PPP Tidak Memiliki Kekuasaan Berarti
Seorang konsultan politik Agung Baskoro mengungkapkan politikus yang memegang jabatan kepemimpinan dalam PPP tidaklah memiliki kekuasaan dan digdaya yang kuat serta mendominasi. Padahal pengaruh seorang pemimpin sangat vital untuk keberlangsungan partai politik dan mempengaruhi kekuatan partai untuk mendulang suara bagi masyarakat Indonesia. Pemimpin partai juga berperan dalam menengahi konflik internal di dalamnya, sayangnya bukan meredam konflik, nyatanya internal PPP saat ini tengah bersiteru dan pecah menjadi kubu-kubuan.
RRI | ANTARANEWS
Pilihan editor: Didesak Mundur dari Posisi Ketum PPP, Ini Jawaban Mardiono