SAWIDAGO WOUNDE, 45. Ia anggota F-KP yang paling doyan bicara soal tanah. Sudah bertugas sejak 1977, Sawidago Wounde, karenanya sempat punya catatan pelbagai kasus tanah yang diadukan rakyat kepadanya. "Saya mencatat seluruhnya ada 71 kasus," kata Sawidago Wounde sambil membuka-buka buku catatannya. Ditemui Toriq Hadad dari TEMPO di rumahnya di perumahan anggota DPR Senayan, Jakarta, ia memang sudah merasa tak dicalonkan lagi sebagai anggota DPR tahun depan. "Secara resmi saya belum tahu. Tapi, karena anggota lain diberi formulir, saya tidak, lalu saya baca juga di koran, yah, saya yakin memang tak dipakai lagi," kata ayah dua anak itu, kalem. Sarjana IKIP Manado, 1969, itu meniti kariernya di DPRD GR Poso sejak 1965 hingga 1972 -- selepas menjadi guru SMA. Setelah itu, ia juga menjadi dosen, sebelum 1977, terpilih sebagai anggota DPR. Dia mula-mula ditempatkan di Komisi II yang membidangi, antara lain, Departemen Pertanian, Transmigrasi, dan Kehutanan. Baru pada 1982 dipindahkan lagi ke Komisi IV. Komisi ini berurusan, antara lain, dengan Departemen Dalam Negeri, yang mengurus masalah tanah, yang disukainya. Suka jogging, Sawidago Wounde, anggota klub aerobik DPR ini, tak membantah, ia memang serius untuk soal yang menyangkut tanah. Terutama yang berhubungan dengan kasus pembebasan tanah dan sertifikat. Dan ia punya sejumlah kritik untuk ini. Umpamanya, sering terjadi, kasus rakyat yang sudah bertahun-tahun tinggal di sebuah lokasi harus digusur karena mereka tak punya surat-surat. "Saya termasuk yang tak setuju cara ini. Soalnya, rakyat 'kan tidak begitu mengerti surat-surat. Lagi pula, pensertifikatan tanah 'kan belum minded," ujarnya tandas. Ia, misalnya, mengkritik cara penyelesaian sertifikat yang dilakukan Ditjen Agraria selama ini. Sebab, Agraria sendiri pernah mengaku pelbagai kesulitan mereka, di antaranya kekurangan tenaga juru ukur. "Kalau penyelesaiannya seperti sekarang ini, barangkali baru 100 tahun akan selesai," katanya lagi. Apakah karena sikapnya yang keras itu ia tak dipilih lagi? "Saya tak merasa begitu. Kalaupun karena itu, ya, tidak apa-apa. Yang pokok saya tidak keluar garis. Buktinya, saya tak pernah ditegur atau diperingatkan," ujar Wakil Ketua Komisi IV ini lagi, bersemangat. Tinggal di rumah kredit BTN, dengan sebuah mobil cicilan dan didampingi seorang istri beserta dua anak yang kini sudah kuliah -- satu di antaranya sedang menjalani masa percobaan sebelum kuliah di California, AS -- Sawidago Wounde belum memutuskan pasti rencana hidupnya setelah tak lagi jadi anggota DPR. Tapi, dia juga sudah siap pulang ke daerah asal, Manado. Kembali jadi dosen. "Sambil buka-buka catatan pribadi selama tugas di DPR," katanya, sambil melepas napas. RUSLI DESA, 52. Orang Golkar ini selalu tampak necis. Bertubuh kekar dengan rambut yang sebagian mulai tipis dan memutih, dia salah satu anggota F-KP yang mudah dikenal. Antara lain karena suaranya yang lantang, terutama kalau bicara di ruang sidang yang sudah 15 tahun didudukinya di Komisi I DPR. Dikenal hampir semua anggota DPR, dialah Rusli Desa, salah satu anggota senior F-KP sejak 1971. "Kalau orang Jawa bilang, saya ini sudah ngelotok di DPR," gurau anggota DPR yang tak lama lagi juga akan pensiun itu, pekan lalu. Putusan itu pasti, tampaknya. Sebab, nama Rusli memang tak tercantum lagi di urutan calon anggota DPR fraksi Golkar tahun depan. Rusli, sebagaimana kebanyakan orang Minang, merantau ke mana-mana. Ia, misalnya, menyelesaikan pendidikan formalnya di Taman Siswa Malang, Jawa Timur, sebelum kemudian bermukim di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Di daerah ini, ia mula-mula terjun ke politik. Pada 1956 aktif sebagai anggota PNI. Tapi, beberapa tahun kemudian dipecat partainya, karena terlibat dalam gerakan antikomunis di Kal-Sel. Menikah dengan wanita Banjar, ayah empat anak dan kakek dua cucu ini, kemudian ikut mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya di Banjarmasin. "Sayalah pembawa mandat dari Front Nasional untuk mendirikan Sekber Golkar," tuturnya kepada Ahmed Soeriawidjaja dari TEMPO. Di sinilah awal keterlibatan Pemimpin Redaksi Manuntung, koran lokal berbahasa Banjar di Banjarmasin, dengan Golkar hingga 1971, saat dia terpilih sebagai anggota DPR. Di lembaga legislatif ini, Rusli dikenal vokal. Di komisinya yang membidangi, antara lain, Deplu, Hankam, Penerangan, dan BAKN, ia beberapa kali belakangan ini melontarkan pendapat yang cukup kontroversial. Ia, misalnya, pernah mengecam tajam penutupan beberapa majalah oleh Deppen. Lalu bersikutat dengan pejabat yang sama dalam soal beberapa ketentuan yang akan ditetapkan dalam SIUPP. Umpamanya, soal ketentuan tak perlunya surat jaminan bagi perusahaan pers yang sudah punya SIT. "Usul yang akhirnya diterima pemerintah," katanya. Usulnya tiga bulan lalu tentang pelarangan buku karangan Harold Crouch yang diterjemahkan Th. Sumartana, Militer dan Politik di Indonesia, juga dikabulkan. Maka, jadi cukup mengejutkan dia belakangan tak terpilih lagi sebagai calon anggota. Apakah karena vokal tadi? "Ah, vokal bagaimana. Saya tak mengerti," katanya Dia malah menganggap cukup menguasai bidang yang dikerjakan di Komisi I. "Sehingga sebenarnya bisa dibilang saya ini investasi pemerintah." BAMBANG SULISTOMO, 36 Sejumlah tokoh muda antre di barisan Golkar untuk menggantikan sejumlah tokoh tua sebagai calon wakil rakyat. Salah seorang di antaranya yang muncul secara mengejutkan adalah Bambang Sulistomo. Tokoh ini, ya, siapa lagi, memang putra Mendiang Bung Tomo. Bambang dan juga almarhum bapaknya pernah amat populer sebagai tokoh penggerak mahasiswa pemrotes, pertengahan tujuh puluhan. Malah, semasa mahasiswa di FIS UI, ia juga pernah ditahan selama 21 bulan karena tersangkut Peristiwa Malari 1974. Tahun-tahun setelah peristiwa itu, pemuda ini makin dikenal sebagai tokoh mahasiswa yang berani. Bersama Dipo Alam, Ketua DM UI, Juni 1979, ia pernah mengumumkan apa yang mereka sebut "Petisi 20 Juni". Isinya: pencalonan bekas gubernur Ali Sadikin sebagai calon presiden. Setelah jadi sarjana, Bambang pelan-pelan rupanya berubah. Malah agak di luar dugaan, dalam usia 36 tahun, kini ia bisa jadi calon anggota DPR Golkar. "Saya sendiri baru tahu pastinya, Senin minggu lalu," kata ayah dua anak itu. Ia mengaku masuk Golkar pada 1983. "Saya masuk Golkar karena kesadaran. Buktinya, saya masuk dari desa, di Kampung Gunung, Kecamatan Kebayoran Baru," tuturnya. Ia mengatakan tertarik masuk Golkar karena program Kader Penggerak Teritorial Desa (Karakterdes) yang sejalan dengan idenya dalam mengembangkan desa. Tercatat sebagai Penatar P4 dan juga dosen di dua perguruan tinggi swasta, ia memilih Golkar karena ia melihat lebih terbuka kemungkinan di organisasi ini daripada di PPP atau PDI untuk mewujudkan cita-citanya. Baru bergabung tiga tahun memang cukup cepat ia dipercaya untuk jadi wakil Golkar di DPR. "Saya kira mungkin karena Golkar melihat kesungguhan saya mengabdi dari bawah, bukan dari atas," tambah anak kedua Bung Tomo itu lagi. Lantas apa yang mau dilakukan Bambang di DPR nanti? "Saya tak mau sombong dan muluk-muluk. Kalau saya jadi anggota DPR akan saya pakai sebagai sarana untuk meningkatkan harkat martabat dan pendidikan atau semacam lembaga swadaya masyarakat." Sudah tak galak lagi sekarang? Orbitan Golkar ini menjawab, "Dulu galak itu logis. Sekarang saya sudah jadi pendidik. Kalau pakai cara lama, itu 'kan kuno namanya." ABURIZAL BAKRIE, 39. Tak hanya bekas tokoh politik muda. Tapi, sejumlah pengusaha muda juga ditampilkan Golkar sebagai calon wakil mereka di DPR. Aburizal Bakrie, anak sulung H. Achmad Bakrie, pemilik grup perusahaan Bakrie Brothers, dicadangkan sebagai calon dari daerah kelahirannya, Lampung. Ical, nama sehari-hari pengusaha yang selama ini populer karena aktif di bulu tangkis itu, mengaku agak terkejut ketika diminta mengisi formulir sebagai calon anggota. Kata Ical, ia mula-mula memang agak ragu mengingat kesibukannya sehari-hari. "Tapi kemudian, apa pun namanya, yang tugas untuk negara tak akan saya tolak," ujar insinyur elektro ITB itu. Ayah tiga anak, yang kini menjabat Wakil Presiden PT Bakrie Brothers, itu jadi anggota Golkar 1984. Waktu itu bersama puluhan temannya anggota Hipmi -- ia juga pernah jadi ketua organisasi pengusaha muda ini -- mendaftarkan diri menjadi anggota kepada Mensesneg Sudharmono. Sebuah sumber mengatakan karena diminta langsung Ketua Umum Golkar itu, pengusaha muda ini tak bisa menolak. HARIS ALI MOERTOPO, 27 Calon muda Golkar ini pernah jadi bahan pembicaraan ramai sekitar Juli 1977. Ini gara-gara ia terlibat perkelahian di sekolahnya di SMA Negeri IV, Jalan Batu, Jakarta Pusat. Dan masuk pengadilan. Pengadilan kemudian memutuskan Haris tidak bersalah dan membebaskannya dari tuntutan hukuman. Masa pahit itu ternyata tak mematahkan anak sulung Mendiang Ali Moertopo, bekas menteri penerangan. Ia tetap meneruskan studinya dan lulus 1984 di Jurusan Teknik Industri FT UI. Sambil studi pula dia aktif dalam organisasi. Misalnya, Satgas AMPI FT UI, mulai 1982. Lalu, merintis karier dari bawah di KNPI Kecamatan Matraman. Dari sini pelan-pelan Haris naik menjadi Wakil Ketua KNPI Jakarta Timur. Sambil ia juga aktif di FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan ABRI). Jabatannya kini di organisasi ini, bendahara ad interim. Jabatan mengurus keuangan inilah yang kini dipegangnya di DPD KNPI Jakarta Timur. "Saya memang senang berorganisasi," kata Haris, kepada A. Luqman dari TEMPO, Selasa pekan ini. Haris mengatakan tak tahu persis siapa yang mengusulkannya untuk jadi calon anggota DPR mewakili Jawa Tengah. "Sebagai kader, kalau ditugaskan, ya, saya terima," kata pemuda kelahiran Semarang ini. Toh, ia tetap masih merasa masih terlalu muda untuk jadi wakil rakyat. "Saya belum terbayang, tuh, bisa jadi wakil rakyat. Mungkin saya belum akan terpilih," katanya agak merendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini