KERETA api Bima Jakarta-Surabaya itu berlari dengan mendudu untuk melangkahi Stasiun Grompol, 17 km sebelah timur Solo. Kecepatan: 60 km per jam. Gerbong-gerbong paling mewah milik PJKA - yang sering tidak menepati jadwalnya - itu memang tidak punya urusan dengan stasiun kecil. Lagi pula, tak ada semboyan atau sinyal yang menyuruh menghentikan atau memperlambat laju rangkaian gerbong yang seluk itu di Grompol. Namun, yang terjadi Sabtu dinihari akhir bulan lalu itu sungguh di luar perhitungan. Masinis Sumardiyono merasakan kereta seperti direm tiba-tiba. Loko yang dikemudikannya guncang, lantas anjlok ke luar rel. Rangkaian yang membawa 400 penumpang itu akhirnya membentuk hurup "W", sebelum menghentikan kecepatannya. Tak ada yang tewas. Syukur. Namun, seorang petugas pengontrol listrik dan pengatur hawa kereta terpaksa digotong ke rumah sakit: kepalanya terantuk kursi, lalu pingsan. Pihak keamanan bekerja untuk mengusut penyebabnya. Kamis pekan lalu, Pangdam IV Diponegoro Mayjen Harsudiono Hartas mensinyalir kecelakaan itu "ada unsur sabotasenya". Pihak Laksusda Jawa Tengah sendiri, menurut Harsudiono, telah menahan 15 orang untuk kepentingan penyidikan. Sudah lama, memang, stasiun kecil ini tidak digunakan untuk penghentian atau pemberangkatan kereta. Karena itu, wesel, alat bantu untuk mengubah arah rel bercabang, di sana selalu dalam keadaan terkunci. Kunci itu barulah dibuka jika ada rangkaian kereta pupuk, agar petugas dapat mengarahkannya ke gudang PT Pusri, tidak jauh dari stasiun. Tapi sebelum rangkaian Bima yang sial itu melewati jalur ini, kata Kepala PJKA Eksploitasi Tengah, Ir. Ibnu Eddy Pratomo, ada yang menggergaji setang wesel berdiameter 4 cm itu, yang terletak di ruang PPKA, pengatur perjalanan kereta api. Oleh para pelaku, lidah wesel kemudian dibelokkan ke jurusan gudang. Menilik cara bekerjanya, sebuah sumber di PJKA menduga: mereka itu para eks anggota SBKA - Serikat Buruh KA, ormas PKI yang punya banyak anggota. Tuduhan serupa juga pernah terdengar sesudah peristiwa kecelakaan kereta barang di Gambilangu, Semarang, November tahun lalu. Namun, setelah memeriksa lima tersangka, seperti kata Letkol Antono Margo, Kepala Penerangan Laksusda Jawa Tengah, aparat keamanan menganggap sabotase itu "tak ada latar belakang politik di belakangnya." (TEMPO, 25 Januari). Sayangnya, sampai saat ini belum ada penjelasan resmi hasil pemeriksaan kecelakaan Gambilangu itu, yang konon bertujuan menjarah barang para penumpang setelah kereta terjungkal. Malah sebuah sumber PJKA menyebutkan, kelima tersangka tidak jadi disidangkan: tidak ada bukti yang cukup kuat. Sementara itu, dua hari setelah peristiwa KA Bima, kereta api cepat Solo-Jakarta (KA 121) beradu muka dengan KA Sawunggalih Jakarta-Kutoarjo (KA 28). Malangnya, kecelakaan yang terjadi di Stasiun Petuguran, Brebes, ini mengakibatkan enam penumpang tewas dan 21 menderita luka. Kuat dugaan, musibah ini disebabkan oleh kelalaian masinis KA 121, yang tidak memperhatikan sinyal. Hari-hari ini kita memasuki awal puasa. Sebentar lagi kereta-kereta akan padat dengan jubelan penumpang yang menyambut Lebaran. Dan PJKA, yang selalu rugi, tentu tak menginginkan bayangan kecelakaan menghantui jalur-jalur perjalanannya. Ada tindakan pengamanan yang lebih ketat? James R. Lapian Laporan Biro Ja-Teng & Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini