SUHARNO hanya bisa nelangsa, pasrah menerima keadaan. Sebagai penjual bakso di Lapangan Mokmer, sebelah utara Bandar Udara Ngurah Rai, Bali, ia terpaksa libur jualan hari itu. Puluhan bahkan ratusan pedagang kecil lainnya yang berjualan di seputar Bandara mengalami nasib yang sama. Meliburkan gerobak dagangnya.
Padahal, saat Bandara Ngurah Rai disibukkan oleh kedatangan 14 kepala negara yang mengikuti KTT ASEAN, awal Oktober lalu, nasibnya tak diusik sedikit pun. Begitu juga saat Perdana Menteri Australia John Howard datang memperingati setahun tragedi bom Bali, sepekan kemudian. Logika yang berlaku, apalah artinya seorang Suharno dibandingkan dengan peristiwa besar pekan lalu itu. Kunjungan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush ke Bali.
Kunjungan singkat Bush punya dua agenda penting. Bertemu Presiden Megawati dan berdialog dengan lima tokoh agama. Mereka adalah Ketua Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi, Ketua Muhammadiyah Syafi'i Ma'arif, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia Nathan Setiabudi, rohaniawan Hindu Ida Pedanda Gede Made Gunung, dan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra. Pertemuan berlangsung di Hotel Patra Bali.
Meski itu juga terjadi di mana-mana, kunjungan presiden negara adidaya itu melahirkan banyak kerepotan dan kontroversi yang luar biasa. Demonstrasi menolak kehadirannya merebak di mana-mana. Banyak tokoh Islam pesimistis dengan pertemuan itu. Lebih banyak lagi, ribuan orang direpotkan untuk mempersiapkan acara itu. Tak hanya para pejabat di pemerintahan dan militer, kerepotan juga berimbas besar ke petugas bandara, hotel, bahkan masyarakat biasa. Maklum, saat Bush datang, radius lima kilometer harus steril. "Situasinya tegang seperti mau perang," kata Heru Gutomo, 23 tahun, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana yang tinggal di Jalan Talang Betutu, salah satu gang di Kompleks Perumahan Angkasa Pura, 250 meter utara Bandara. Maklum, perumahan itu menjadi salah satu akses ke Hotel Patra Bali, tempat Bush bertemu Presiden Megawati dan lima tokoh agama.
Sejak awal pekan, di kampung Heru, empat panser parkir siaga dengan senjata lengkap. Bolak-balik menyisir jalanan kompleks. Dan, malam harinya, para tentara itu "numpang" menginap di halaman rumah-rumah warga. Tidur dengan alas seadanya di emperan rumah. "Memang agak terganggu, tapi tak apa-apa, tidak setahun sekali rumahku dijaga tentara," kata aktivis mahasiswa itu sembari tertawa.
Padahal Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, jauh-jauh hari berjanji pemerintah tak akan berlebihan memberlakukan protokoler penyambutan kedatangan Bush. "Tak ada sesuatu yang tidak masuk akal dari penerimaan kunjungan Bush," katanya.
Yudhoyono juga berjanji tak ada zona larangan terbang dan tidak ada penutupan bandara selama kunjungan tersebut. "Bandara tidak ditutup selama empat sampai enam jam," katanya. Janjinya, bandara akan beroperasi normal dengan beberapa pengaturan tertentu.
Namun janji tak harus sama dengan kenyataan. Aparat keamanan melakukan pengamanan yang dikritik sangat berlebihan. Kepolisian Daerah Bali, misalnya, menggelar operasi khusus dengan sandi Operasi Puri II. Tak kurang dari 5.000 personel dikerahkan. Masih diperkuat pula tambahan personel dan peralatan dari Mabes, yakni 2 pesawat helikopter, 1 kapal patroli laut, 10 orang ahli bahan peledak, serta 2 SSK (Satuan Setingkat Kompi) Brimob. Begitu juga dengan TNI-AU dan Angkatan Darat, yang bersiaga penuh sepanjang pekan lalu.
Washington menurunkan ribuan pasukannya, termasuk pasukan khusus pengawal presiden, US Secret Service (SS), yang menguasai sepenuhnya area ring satu. Ini belum termasuk sejumlah pesawat F-16 yang mengawal pesawat khusus kepresidenan, Air Force One. Di laut, dua kapal induk angkatan perang AS sudah berada di wilayah perairan Bali beberapa hari sebelum Bush tiba. Satu unit di wilayah perairan tak jauh dari Selat Bali, untuk menjaga sebelah barat Bali. Satu lagi berada di wilayah tak jauh dari perairan selat Lombok, di sebelah timur Bali. Tiap kapal induk dilengkapi kapal selam dan mengangkut 4.000 personel.
Penerbangan dari dan menuju Bandara Ngurah Rai juga ditutup selama sekitar 6 jam, sejak pukul 09.00 hingga 16.00 Wita. Akibatnya, 17 penerbangan dari 7 jalur international dan 8 jalur domestik pada hari itu dibatalkan. Tapi kebanyakan wisatawan tak tahu, sehingga mereka tetap datang ke Bandara. Padahal, jalan menuju Bandara ditutup sejak pagi. Akibatnya, mereka harus jalan kaki dari ujung jalan bypass Ngurah Rai ke Bandara sejauh 1,5 kilometer, menenteng tas menembus ketatnya pengamanan. Gerutu juga datang dari para penumpang yang mau keluar Bandara, karena baru bisa keluar setelah acara Bush selesai.
Para jurnalis Indonesia yang berniat meliput peristiwa besar itu punya pengalaman yang tak kalah pahitnya. Alih-alih mengintip pertemuan Bush, mereka yang berjumlah 30 orang dan sudah mendapat "tanda khusus" dari Sekretariat Negara dan Kedutaan AS di Indonesia malah dikarantina di Kids Club, 300 meter dari tempat pertemuan. Kids Club adalah tempat bermain anak-anak. Temboknya dihiasi lukisan dengan warna meriah dari binatang-binatang laut. Di sini para kuli disket yang malang itu disuguhi dua televisi dan satu layar monitor untuk menonton siaran langsung pertemuan Bush. Padahal, wartawan asing yang satu rombongan dengan Bush dengan leluasa bergerak. "Kita jangan mau dikadalin,"ujar seorang petugas Humas Sekretariat Presiden.
Untunglah, 30 wartawan itu akhirnya bisa meliput jumpa pers Bush-Mega. Tapi, yang cuma memakai kartu peliputan dari Kodam IX Udayana harus kecele. Mereka cuma bisa terkantuk-kantuk di ruang itu selama hampir tiga jam. Mereka hanya sempat melihat sekilas wajah Bush dan rombongannya masuk dan keluar Hotel Patra. "Lumayan, dapat lambaian tangannya," kata salah satu wartawan.
Kesan tegang justru tak dirasakan Bush dan koleganya. Di Coffee Shop, tempat ia dijamu makan siang, presiden adidaya itu masih bisa tersenyum lebar, bergurau, dan memuji kecantikan para waitress yang memakai busana tradisional Bali. Dengan nikmat ia melahap ikan kakap bumbu Bali dan sate lilit ikan tenggiri dengan sambal bali mentah. Sebelumnya, di Vila Royal seluas 100 meter bertarif US$ 1.250 semalam itu, Bush juga banyak mengumbar senyum keramahan mendengar nasihat dan kritik tajam para pemuka agama Indonesia. "Kami yang dominan bicara," kata Ketua Muhammadiyah, Syafi'i Ma'arif, kepada Deddy Sinaga dari Tempo News Room, usai pertemuan.
Para pemuka agama kaget melihat sikap rileks Bush. Maklum, mereka terus-terusan mencecar Bush dengan pertanyaan dan protes bernada menyudutkan kebijakan pemerintah AS. "Setelah kita bicara, dia menjawab, lalu kita sambut lagi dengan lebih kritis. Pokoknya, suasananya dialogis sekali," kata Syafi'i.
Soal Palestina, misalnya, Bush mengatakan dirinya satu-satunya Presiden Amerika yang ingin Palestina segera merdeka. Lalu soal pendudukan pasukannya di Irak, dia berjanji akan segera menariknya.
Soal terorisme dan Islam, menurut Pendeta Nathan, Bush mengakui kelemahannya, yakni sulit baginya mengontrol media massa di negerinya, yang ia sebut sering memelintir ucapan dan pidatonya. "Ada gap antara yang saya ucapkan dan yang dipublikasikan," kata Bush, seperti ditirukan Nathan.
Bush juga mengaku salah ucap tentang Crusade (Perang Salib) demi menggambarkan penyerbuannya ke Irak beberapa waktu lalu. Bush, kata Nathan, mengerti bahwa ucapan itu membuat seolah perang di Irak perang Amerika melawan Islam. "Makanya saya hanya pakai satu kali itu saja," jawab Bush.
Semua pemuka agama yang hadir punya kesan pertemuan itu penuh spontanitas dan bersahabat. Buktinya, jadwal resmi 30 menit molor hampir satu jam. Pertemuan itu, kata Nathan, nyaris tak ada basa-basi. "Tak ada kesan benci kami tangkap. Meski tak tertutup kemungkinan itu formalitas, kita berbaik sangka saja," ujarnya.
Sebelum pertemuan berakhir, Nathan menggambarkan, para pemuka agama menegaskan bahwa pembicaraan mereka akan dirilis ke media. Jadi, "Kalau Anda bilang mengakui dan berjanji, Anda harus membuktikannya," kata Nathan. Dan Bush pun lagi-lagi manut, "Yes!" Ia kemudian terbang ke Australia, dan kerepotan pindah ke Negeri Kanguru itu.
Adi Prasetya, Jalil Hakim, Rofiqi Hasan, Alit Kertaraharja (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini