Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepintas, tak ada soal dalam selembar surat itu. Isinya berupa rekomendasi Menteri Sekretaris Negara sebagai tanda ”restu” diperpanjangnya hak guna bangunan milik PT Indobuildco di atas lahan Gelora Bung Karno, aset Sekretariat Negara.
Sebagaimana surat dinas, surat yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Pusat itu ditandatangani oleh Muladi, Menteri Sekretaris Negara. Lengkap dengan nomor dan bertanggal, yaitu 14 Oktober 1999.
Namun, Selasa dua pekan lalu surat tersebut membuat Muladi marah di gedung Kejaksaan Agung, Jakarta. Muladi diperiksa sebagai saksi karena perpanjangan hak guna bangunan itu disinyalir berbau korupsi yang merugikan negara Rp 1,7 triliun.
Bekas Menteri Sekretaris Negara itu merasa tak pernah melayangkan surat tersebut. Meski mengakui pernah menandatanganinya pada 14 Oktober 1999, Muladi mengatakan surat rekomendasi perpanjangan hak guna bangunan di atas lahan milik Sekretariat Negara seluas 140 ribu meter persegi itu telah diblokir karena masih ada kajian hukum yang belum dilakukan terkait dengan masalah perpanjangan tersebut.
Tanpa tedeng aling-aling, Muladi menuding Ali Rahman, penggantinya sebagai sekretaris negara pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, sebagai biang keladi keluarnya surat itu. Dia menuduh Ali Rahman menekan pegawai Sekretariat Negara agar mengeluarkan surat tersebut dan mengirimkannya ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara DKI Jakarta. Kantor ini kemudian mengeluarkan surat perpanjangan hak guna bangunan untuk 20 tahun lagi pada 13 Juni 2002.
Kamis pekan lalu giliran Ali Rahman yang diperiksa Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sementara Muladi terlihat jengkel dengan muka mengeras saat keluar dari ruang pemeriksaan, tidak demikian Ali Rahman. Sore itu ia tampak anteng-anteng saja, meskipun pemeriksaannya berlangsung selama lima jam sejak pukul 10.00 WIB.
Menjawab tudingan Muladi, Direktur Program Pascasarjana Universitas Indonusa Esa Unggul itu hanya berkata singkat, ”Nanti saya cek dulu ke Pak Muladi, saya merasa tidak begitu,” katanya dengan suara datar.
Ali Rahman mengatakan, semasa menjabat sekretaris negara sejak November 1999, surat asli yang ditandatangani Muladi masih disimpan di arsip. Jadi, dia juga merasa heran perpanjangan hak guna bangunan itu bisa diproses tanpa adanya surat asli.
Seorang sumber yang dekat dengan Sekretariat Negara memperlihatkan surat yang membuat Muladi naik pitam itu kepada Tempo, pekan lalu. Si sumber mengatakan, surat yang dikirimkan itu sesungguhnya rangkap kedua atau ketiga dari surat asli yang biasanya dibuat untuk arsip. Jejaknya terlihat dari penambahan tanggal dan nomor surat yang dilakukan belakangan, terbukti dari ukuran huruf yang relatif lebih kecil. ”Mungkin diketik dengan mesin tik manual,” kata si sumber.
Sementara itu, surat aslinya sendiri kotor dengan corat-coret. Ceritanya, kata sumber yang tak mau disebut namanya itu, dalam sebuah rapat antara Muladi dan Kantor Wilayah Pertanahan DKI Jakarta serta Badan Pengelola Gelora Bung Karno pada 14 Oktober 1999, disepakati bahwa masalah perpanjangan itu akan dikaji lebih lanjut. Saat itu Wakil Sekretaris Kabinet Erman Radjagukguk menilai perpanjangan itu—Rp 7.000 per meter persegi— terlalu murah. ”Masa, sama dengan nilai parkir tiga jam di Hotel Hilton?” kata si sumber menirukan alasan Erman.
Keputusan rapat itu membuat Muladi pun membatalkan suratnya dan meminta Erman memperbaiki isinya, disertai coretan berupa memo yang diparaf tanggal 14 Oktober 1999. Isi pesan Muladi pada lembaran surat tersebut, ”Pak Erman, surat ini belum dikirim, harap aspek hukum dikaji dulu, koordinasi dengan Badan Pengelola Gelora Bung Karno.”
Sumber itu menambahkan, Erman lalu menuliskan coretan lain di tubuh surat. Dia menambahkan ketentuan bahwa persetujuan tentang hak guna bangunan akan diberikan setelah ditandatanganinya perjanjian soal pemakaian tanah antara Badan Pengelola Gelora Bung Karno dan PT Indobuildco selaku pihak yang mengajukan perpanjangan.
Erman Radjagukguk, yang dikonfirmasi, membenarkan hal itu. Namun, kata Erman, setelah pergantian tampuk kekuasaan di Sekretariat Negara pada November 1999, masalah surat rekomendasi itu lenyap begitu saja.
Ali Rahman juga tak pernah membicarakan masalah itu semasa memimpin—hampir empat bulan. Birokrat yang kini mengajar di almamaternya, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, itu mengatakan surat yang diblokir tersebut lalu disimpan di arsip.
Tetapi proses perpanjangan hak guna bangunan itu rupanya diam-diam tak sungguh-sungguh berhenti. Sumber Tempo yang lain menceritakan, tak lama setelah Ali Rahman duduk sebagai sekretaris negara, Ali Mazi, kuasa hukum Indobuildco, mengirim surat ke Sekretariat Negara yang mempertanyakan nasib surat rekomendasi itu. Ali Rahman, kata si sumber, segera memerintahkan pegawai Sekretariat Negara mengeluarkan surat tersebut.
Cerita ini rupanya sampai ke Muladi karena pegawai yang dipaksa Ali Rahman itu langsung mengadu padanya. Muladi pun marah dan mengirimkan surat pribadi kepada Ali Rahman dan meminta mantan tokoh Himpunan Mahasiswa Islam itu melanjutkan proses perpanjangan hak guna bangunan dengan kebijakannya sendiri.
Tiba-tiba pada 5 Januari 2000 surat itu telah sampai ke tangan Ali Mazi. Lima bulan kemudian, tepatnya 13 Juni 2002, perpanjangan hak guna bangunan untuk kedua kalinya pun keluar. Indobuildco mendapat hak guna bangunan pertama kali pada 1973. Untuk mendapat hak ini, perusahaan yang bernaung di bawah Nugra Santana Group itu—perusahaan milik keluarga Ibnu Sutowo—menyetor Rp 15,48 miliar ke kas negara dan Rp 23,23 miliar ke kas Pemerintah DKI Jakarta.
Ali Mazi, yang ditemui Tempo di Kendari, terkesan enggan menceritakan kembali proses pengurusan hak guna bangunan tersebut. Dia mengatakan proses perpanjangan hak guna bangunan sudah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pertanahan. Sedangkan urusan asal-muasal surat rekomendasi itu bukanlah urusannya. ”Kita enggak perlu tahu siapa yang menandatangani,” kata Ali singkat.
Persoalan hak guna bangunan ini baru sekelumit dari carut-marutnya pengelolaan aset-aset Sekretariat Negara. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang dikirimkan kepada Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada akhir November lalu adalah gambaran paling jelas. Badan itu menemukan adanya dugaan korupsi dalam pengelolaan aset-aset negara di bawah Sekretariat Negara, seperti kompleks Bandara Kemayoran dan Gelora Bung Karno, sepanjang tahun 2002 sampai 2005. Total potensi kerugian negara dalam kasus-kasus itu mencapai jumlah yang dahsyat, Rp 62,4 triliun.
Inilah sebabnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sempat menyebut masalah korupsi di lingkungan Sekretariat Negara adalah big fish alias kasus skala besar yang harus dituntaskan segera. Namun, hingga kini Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum juga menetapkan satu orang pun sebagai tersangka.
Pekan lalu ketua tim, Hendarman Supandji, sempat mengatakan bahwa nama tersangka sudah ada di kantongnya. Namun, dia masih merahasiakannya. ”Kita bikin terang dulu kasus ini,” katanya berkelit.
Hendarman dan anak buahnya telah memeriksa 16 saksi, termasuk mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan para pegawai Sekretariat Negara. Pekan ini, tim akan memeriksa sejumlah pegawai Badan Pertanahan Nasional menyangkut nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah di kawasan Gelora Bung Karno. Benang kusut bernama Sekretariat Negara itu masih tetap kusut.
Deddy Sinaga, Dedy Kurniawan (Kendari)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo