Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada lagi gambar Ka'bah dalam pemilu mendatang. Tanda yang sudah digunakan PPP dalam dua kali pemilu (1977, 1982) itu kini diganti gambar baru: Bintang. Perubahan itu diresmikan akhir pekan lalu, ketika Mendagri ad interim Sudharmono mengumumkan nama, tanda gambar, dan nomor urut kontestan Pemilu 1987. "Setelah melalui diskusi, musyawarah, dan surat-menyurat, akhirnya dapat disepakati bentuk tanda gambar dan nomor urutnya," ujar Sudharmono. Dari ketiga kontestan, hanya Golkar yang tanda gambarnya tak mengalami perubahan. Sedangkan PDI, meski tetap memakai simbol kepala banteng, tanda yang baru ini kini tanpa dilengkapi dengan gambar padi kapas dan pohon beringin. Agaknya PDI semata-mata mengandalkan gambar kepala banteng dengan segi lima di luarnya. Segi lima, yang menyimbolkan Pancasila, kini memang menjadiframe tiga tanda gambar. "Perisai segi lima itu mengungkapkan penerimaan kita terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas," ujar Mardinsyah, Sekjen PPP. Memang bagi PPP, pemilu mendatang merupakan uji coba apakah tanda gambar yang baru memperoleh simpati pemilih. Ketika menggunakan tanda gambar Ka'bah yang ditemukan lewat proses istikharah (meminta pilihan yang baik kepada Tuhan) oleh Rais Aam PPP K.H. Bisri Syansuri 1976 - PPP bisa memperoleh suara sekitar 29 persen pada Pemilu 1977 dan 1982. Meskipun tampil dengan identitas baru, "PPP yakin bisa menarik lebih banyak lagi pemilih," ujar Mardinsyah. Perubahan tanda gambar, yang juga sama dengan lambang partai, bagi PPP tak bisa dilepaskan dengan konflik partai itu yang berlarut-larut. Agustus 1983 sudah terdengar suara Soedardji yang ingin mengganti lambang Ka'bah. "Konsekuensi dari menerima asas Pancasila, PPP harus siap dengan mengganti tanda gambar Ka'bah," ujar Soedardji kala itu. Ia juga mengaku telah siap dengan lambang baru, "Lambang Bintang pernah saya usulkan, tapi ditolak." Kenyataannya toh Ka'bah masih bertahan, paling tidak untuk dua tahun. Baru April 1985, ketika kelompok Naro agak terpojok dengan manuver Dardji cs yang menuduh mereka setengah-setengah menerima asas Pancasila, gambar Ka'bah mulai dilupakan. PPP menampilkan lambang bintang bersudut lima berwarna kuning emas dengan latar belakang hitam, dikelilingi warna hijau. Dalam pemilu besok, hanya digunakan dua warna, hitam putih. Dengan kotak hitam yang berisi bintang dan di atasnya ada empat persegi panjang hitam dengan tulisan Partai Persatuan, sekilas tanda baru ini masih mengesankan gambar Ka'bah. Tetapi Ridwan yang - bersama Naro - mengotak-atik lambang baru itu menolak bila gambar baru itu merupakan gambar Ka'bah yang tersamar. Gambar PPP berubah drastis, tapi tanda PDI hanya mengalami pengurangan-pengurangan. Meski kini tanpa padi kapas dan beringin, cap dagangnya tetap menonjol: Kepala Banteng. "Itu hasil lobbying DPP dengan pemerintah," ujar Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI. Sebelumnya, PDI mengajukan dua tanda, yang lama dan yang sekarang diterima, "Tetapi yang diterima yang baru." Dapatkah kepala banteng versi baru itu menarik massa orang-orang PNI? "Lho, kepala banteng 'kan sudah dikenal lama dalam bingkai Pancasila," ujarnya. Pada pemilu keempat dalam masa Orde Baru, hanya Golkar yang tetap bertahan dengan identitasnya selama 15 tahun. Golkar agaknya tak perlu tenaga ekstra untuk mempromosikan tanda gambarnya yang sudah paten itu. Golkar kini tinggal menggarap target 70 persen yang sudah dicanangkan beberapa waktu lalu. Tanda gambar memang ada yang berubah, tapi nomor urut kontestan masih dipertahankan. Nomor satu PPP, disusul Golkar dan baru PDI. Konon, ada yang ingin agar nomor urut diubah menjadi: PPP, PDI, baru Golkar. "PDI sama dengan urutan seperti yang diatur dalam UU No. 3/1975," ujar Soerjadi. Tetapi dalam lobi, PPP dan Golkar tetap menginginkan susunan yang lama, yang dipakai sejak 1977, yang urutan kala itu berdasar undian. "Kami ya terima saja, toh tidak ada nomor empat," kata Soerjadi berseloroh. A. Luqman, Laporan Musthafa Helmy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo