Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MISTERI teror yang mengancam Kedutaan Besar Amerika Serikat, Kedubes Jepang, dan Wisma Metropolitan I - semuanya di Jakarta - pertengahan Mei lalu kini mulai terkuak. Titik terang itu datang dari kepolisian Jepang, pekan lalu. Ternyata, pelaku semua teror itu adalah Tsutomu Shirosaki, seorang anggota Nihon Sekigun, Tentara Merah Jepang. Kesimpulan itu diperoleh berkat kerja sama antara kepolisian RI dan kepolisian Jepang. Bagian Ditserse Polda Metro Jaya, setelah memeriksa dengan rinci kamar 827 President Hotel, Jakarta, menemukan 19 buah sidik jari. "Setelah diseleksi, ternyata sebanyak 10 sidik berasal dari satu orang," kata sumber TEMPO. Polri kemudian mengirim sepuluh sidik jari itu, untuk dicocokkan dengan catatan yang dimiliki oleh kepolisian Jepang. Hasilnya? "Sungguh mengagetkan," ujar seorang perwira intel kepolisian Jepang pada wartawan TEMPO di Tokyo Seiichi Okawa. "Baik Badan Kepolisian Nasional Jepang (Keisatsucho) maupun Polisi Metropolitan Tokyo (Keishicho) terkejut bahwa sidik jari itu ternyata milik seorang anggota Tentara Merah Jepang," ujar sumber itu. Seperti diketahui, dari kamar 827 President Hotel, pertama kali diketahui asal mula roket yang menimpuk gedung Kedutaan Jepang. Gedung yan terletak di Jalan Thamrin itu memang hanya berjarak sekitar 60 meter di seberang President Hotel. Seorang perwira Pasukan Penjinak Bom Polda Metro Jayalah - setelah menerima laporan dari pihak Kedubes Jepang - yang mulanya melihat ada asap di suatu lantai di hotel itu. Ternyata, asap itu berasal dari kamar 827 di lantai 8 hotel itu. Setelah kamar itu diperiksa, ditemukan beberapa petunjuk. Antara lain, potongan besi berkabel, trafo hijau, serta timer merk Lorus Quartz. Polisi menyimpulkan, roket yang menghajar Kedubes Jepang pada Rabu 14 Mei pukul 11.30 itu ditembakkan dari kamar 827 President Hotel. Roket itu terbang melewati jendela yang memang menghadap ke arah gedung kedutaan itu. Ledakan juga terjadi 35 menit kemudian di pelataran parkir gedung perkantoran Wisma Metropolitan I di Jalan Sudirman. Sebelumnya, roket dengan rakitan yang sama dengan yang menimpuk Kedubes Jepang juga menghantam Kedubes AS di Jalan Merdeka Selatan. Dari hasil penyidikan kemudian ditemukan fakta bahwa penghuni kamar 827 itu adalah juga penyewa sedan Mitsubishi Lancer B 1897 XG, yang menjadi sumber ledakan di pelataran parkir Wisma Metropolitan I. Ternyata, orang itu datang dengan paspor palsu atas nama Shunsuke Kikuchi. Kikuchi sendiri, mahasiswa tingkat 4 Jurusan Sejarah Timur Fakultas Sastra, Universitas Kokugakuin, Yokohama, tak termasuk dalam daftar kelompok ekstrem kiri mana pun di Jepang. Paspornya itu hilang suatu hari di bulan September 1984 di New Delhi. Entah bagaimana, paspor itu kemudian jatuh ke tangan teroris itu. Dan dari berbagai saksi mata, antara lain pegawai President Hotel yang pernah berhubungan, disimpulkan bahwa penghuni kamar 827 itu adalah orang Jepang Kesimpulan ini diperkuat pula oleh hasil pemeriksaan laboratorium, bahwa ia seorang yang terbiasa menulis kanji. Karena itu, sejumlah sidik jari, juga rambut kepala dan kelamin yang ditemukan di kamar itu lalu dikirim ke Jepang. Ketika pertama kali dikontak oleh pihak keamanan RI, polisi Jepang bukan tak percaya bahwa ada kemungkinan teror itu di lakukan oleh orang Jepang. President Hotel, antara lain, sahamnya dimiliki Japan Air Lines (JAL), dan sekitar 80% tamu hotel itu memang orang Jepang. Polisi Jepang lantas menduga teror itu hanya dilakukan oleh sempalan kecil ekstremis - yang namanya belum tercatat dalam daftar hitam kepolisian Jepang. Tapi, setelah memeriksa sidik jari yang dikirim oleh pihak Indonesia itu, betapa terkejutnya mereka. Soalnya, itu adalah sidik jari Tsutomu Shirosaki seorang anggota Tentara Merah, kelompok ekstrem kiri paling radikal di Jepang. Tsutomu Shirosaki lahir 5 Desember 1947 di Kota Okayama, ibu kota Provinsi Okayama, sebelah barat Osaka. Pada 1966, anak tertua dari tiga bersaudara ini lantas masuk Departemen Teknik Mesin Presisi, Universitas Negeri Tokushima. Inilah masa ketika gerakan mahasiswa meluas melanda hampir semua kampus di Jepang. Rupanya, Tsutomu (yang dalam bahasa Jepang berarti "rajin") tertarik benar dengan gerakan itu. Pada 1970 ia berhenti kuliah, dan secara terbuka menjadi anggota Kyosando-Sekigun-Ha, fraksi Tentara Merah. "Ia tergolong anggota aktif, dan bukan anggota Golongan Teori," kata sumber TEMPO. Bahkan, ia dipercaya mengepalai kegiatan pembuatan bom dalam fraksi Tentara Merah itu. Dalam Februari-Maret 1971, si Rajin ini ikut pula menjarah beberapa kantor pos dan bank di Provinsi Chiba dan Kanagawa. Inilah serangkaian perampokan - yang diberi kode M-Sakusen (Operasi M) - untuk mengumpulkan dana bagi Tentara Merah. Dalam Operasi M ini, prestasi Tsutomu sangat menonjol. Ia lantas mendapat pujian besar dari Fusako Shigenobu. Fusako, wanita yang kini berumur 40, adalah pendiri Tentara Merah Jepang pada 3 September 1969. Ia, hingga kini, adalah Komandan Tertinggi Tentara Merah itu. Ia dikabarkan tinggal di dataran tinggi Bekka, Libanon. Pada 1971 ia bersama beberapa orang pengikutnya berangkat meninggalkan Jepang, dengan tujuan menggalang solidaritas dengan gerakan pembebasan Palestina. Tsutomu sendiri lantas tertangkap Polisi Metropolitan Tokyo. Pengadilan pada April 1974 menghukumnya 10 tahun penjara. Tapi baru tiga setengah tahun di penjara Kota Fuchu - bagian barat dalam Kota Tokyo pada 1 Oktober 1977 ia mendadak dibebaskan. Inilah pembebasan dengan sebutan "tindakan di luar hukum". Pembebasan itu bermula dari sebuah pembajakan. Pada 28 September 1977 sebuah pesawat JAL terbang dari Paris menuju Tokyo. Di pelabuhan udara Bombay, India, pesawat itu dibajak oleh Tentara Merah Jepang, dan dipaksa mendarat di Dacca, Bangladesh. Lima pembajak itu hanya sedia membebaskan 142 penumpang serta 14 awak pesawat itu, jika pemerintah Jepang membayar 6 juta dolar AS, serta membebaskan 9 orang anggota Tentara Merah dari penjara. Seorang di antaranya adalah Tsutomu Shirosaki. Pemerintah Jepang, dengan alasan "Nyawa manusia lebih berat dari berat bumi", lantas memenuhi permintaan pembajak itu. Inilah pembebasan "tindakan di luar hukum". Tapi, tiga dari sembilan orang ekstremis itu menolak dibebaskan. Tsutomu sendiri sebenarnya diminta oleh orangtuanya agar jangan kembali bergabung dengan Tentara Merah. Tapi, pada ayahnya yang datang dari kampung setelah mendengar berita "pembebasan" itu, si "Rajin" menjawab, "Sebagai seorang revolusioner, izinkanlah saya pergi." Maka, berangkatlah enam orang anggota Tentara Merah itu ke Dacca, sebagai tebusan bagi kebebasan para sandera. Itu terjadi 3 Oktober 1977. SEJAK itu tak pernah lagi terdengar kisah keenam anggota Tentara Merah itu. Pihak kepolisian Jepang hanya menduga mereka lantas bergabung dengan Fusako Shigenobu, si pemimpin Tentara Merah, di dataran tinggi Bekka, sebelah timur Libanon. "Itulah sebabnya kami sangat kaget," kata seorang perwira intel kepolisian Nasional Jepang, setelah menemukan fakta bahwa ternyata sidik jari yang dikirim oleh Jakarta itu adalah sidik jari Tsutomu Shirosaki. Fakta ini menimbulkan berbagai pertanyaan bagi kepolisian Jepang. Misalnya, apakah teror di Jakarta itu dilakukan oleh Tentara Merah sebagai organisasi, ataukah kegiatan independen Tsutomu sendiri yang mungkin sudah terpisah dari Tentara Merah. "Soalnya, ada desas-desus Tentara Merah ini mengalami perpecahan di dalam," kata sumber TEMPO itu. Ada pula dugaan, setelah lama "terkurung" di Libanon, Tentara Merah mulai mencari tema dan sasaran baru, "Sehingga mungkin mereka mulai mencari pangkalan di kawasan Asia Tenggara," tambah sumber itu. Entahlah. Yang jelas, berbagai teror di Jakarta itu tak mungkin dilakukan oleh Tsutomu seorang diri. "Tapi, sejauh ini belum ada indikasi ia dibantu oleh orang dari dalam negeri," kata sebuah sumber di Jakarta pada Happy Sulistyadi dari TEMPO. Saur Hutabarat Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo