Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Suhardiman, dan lembaga kepresidenan

Ketua bidang politik fkp, suhardiman, mengusulkan sistem pergantian presiden dibahas dalam su mpr'88. soemantri menyebuntukan perlu adanya pembatasan masa jabatan. ada silang pendapat dengan tokoh-tokoh lain.(nas)

28 Juni 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL jabatan presiden diramaikan lagi. Masalah di sekitar lembaga kepresidenan itu muncul ke permukaan setelah dilansir oleh Suhardiman. Ketua Bidang Politik Fraksi Karya Pembangunan di DPR ini memang mengusulkan agar sistem pergantian pimpinan nasional itu dibicarakan dalam Sidang Umum MPR 1988 mendatang. Sebab, "Kita memang belum memiliki pola yang baku ihwal regenerasi kepemimpinan nasional," katanya. Pembahasan sistem suksesi itu dinilainya sangat penting, supaya di saat pergantian pimpinan nasional itu terjadi tidak menimbulkan gejolak nasional. "Kita 'kan harus menganut sistem administrasi negara yang modern," ujar Ketua Soksi ini. "Jadi, ya, perlu ada perencanaan yang jelas." Perencanaan yang jelas, katanya, hanya bisa dilakukan bila ada dasar keputusan politiknya. Dan, itu adalah Ketetapan MPR. Keputusan politik yang mengatur regenerasi di lembaga kepresidenan itu, dalam pandangan doktor ilmu administrasi lulusan Universitas Tujuh Belas Agustus ini, justru akan melengkapi UUD 45. Pasal 7 UUD 45, katanya, "tidak mendorong adanya pembatasan periode masa jabatan presiden, dan tidak pula melarang." Seperti diketahui, pasal itu berbunyi: "Presiden dan wakil presiden memegang masa jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali." Maka, dalam bayangan Brigjen (pur), kelahiran Gawok, Kartosuro, Surakarta, 18 Desember 1924 ini - alangkah baiknya jika SU-MPR 1988 kelak - mampu menelurkan suatu ketetapan yang berisi persyaratan presiden dan wakil, serta periodisasi jabatannya. Menurut Suhardiman, periode 1988-1993 adalah periode akhir masa bakti generasi pembebas. Pada 1993 kelak, secara total tongkat kepemimpinan diserahkan pada generasi pengganti. "Agar estafet itu berjalan mulus, perlu dipersiapkan mekanisme yang punya landasan yuridis yang kuat yaitu Ketetapan MPR," katanya. Landasan yuridis yang kuat itu dinilainya sangat perlu. Mengapa? Karena pengalaman historis, katanya, menunjukkan pergantian presiden di waktu lalu berlangsung kurang mulus. "Ada unsur pendadakan," ujarnya. "Apa kita mesti menunggu pendadakan dan kritis lagi?" tambahnya. "Itu harus dihindarkan. Maka, diperlukan sistem yang mencegahnya." Prof. Dr. Sri Soemantri, Dekan Fakultas Hukum Unpad, Bandung, berpendapat, memang "perlu adanya suatu pembatasan masa jabatan kepala negara". Pasal 7 UUD 45, katanya, sesungguhnya telah menyebut pembatasan masa jabatan, tapi tak menyebut berapa kali seorang presiden dapat dipilih kembali. Berapa kalikah seyogyanya? "Ini memerlukan studi yang mendalam," kata Sri. Sebab, Indonesia negeri yang majemuk, "Sehingga menuntut suatu bentuk kepemimpinan yang kuat, tapi sekaligus pemimpinnya seorang demokrat," katanya. Padahal, dewasa ini, barulah ABRI yang homogen. Maka, "Bila pembatasan masa jabatan kepemimpinan nasional diterapkan secara kaku, kerugiannya bisa menimbulkan gejolak politik," kata Sri Soemantri. "Keuntungannya, meredam kejenuhan, sebab suksesi berarti juga penyegaran," tambahnya. Bagi Sri Soemantri, jika toh dipandang perlu membikin pembatasan masa jabatan, ancer-ancernya ialah kepentingan nasional jangka panjang. "Kita punya Repelita. Dari situ kita bisa merujuk berapa tahapan suatu kepemimpinan nasional dianggap selesai," katanya. Menurut Suhardiman sendiri, tidak perlu adanya batasan angka, berapa kali masa jabatan. "Yang perlu, harus ada parameter-parameter yang jelas, bagaimana seorang presiden dapat dipilih kembali untuk masa jabatan berikutnya," katanya. Maksudnya? "Pokoknya, mesti ada batasan yang tegas tentang kualitas seorang presiden." Apa yang dilontarkan Suhardiman itu adalah bahan kajian untuk dibahas dalam SU MPR 1988 - sekitar dua tahun mendatang. Dan silang pendapat sudah muncul. Adalah Sarwono Kusumaatmadja, Sekjen DPP Golkar, misalnya, yang berpendapat tidak perlu adanya pengaturan lebih lanjut. "Menurut saya, sejauh menyangkut Lembaga Kepresidenan, itu sudah cukup diatur dalam UUD 45," katanya. "UUD 45 itu mutlak, tak dapat diganggu gugat." Menurut Sarwono, demokrasi berkembang karena kesadaran masyarakat. Juga, karena institusi politik telah berperanan penuh. Dan lembaga kepresidenan hanyalah salah satu di antara institusi politik itu. Tapi, kenyataannya, banyak negara yang demokratis, "yang tidak mempersoalkan masa jabatan presiden," katanya. Sarwono, seperti juga Prof. Sri Soemantri, menyebut contoh Prancis. Dengan masa jabatan tujuh tahun, menurut Soemantri, Prancis tidak membatasi berapa kali seorang presiden dapat dipilih. Adapun Inggris, kata Sarwono, dengan sistem yang berlainan yakni parlementer, juga tidak membatasi berapa kali seseorang dapat dipilih menjadi perdana menteri. Amerika Serikat sendiri, katanya, baru setelah Perang Dunia II membatasi masa jabatan presiden hingga dua kali. "Apakah sebelum itu berarti tidak demokratis?" Adalah Suara Karya, dalam tajuk rencananya menulis bahwa: tak ada relevansinya membicarakan pembatasan jabatan presiden. Ada yang lebih penting, misalnya, menghadapi kesulitan ekonomi. Lagi pula, sebegitu jauh, kata koran ini, "rakyat Indonesia masih tetap menginginkan Soeharto sebagai Presiden RI untuk masa jabatan berikutnya". Sedang harian Sinar Harapan, dalam tajuknya mengutip pidato Menteri Cosmas Batubara Cosmas, katanya, baru-baru ini berpidato di Tokyo. Isinya: alih generasi tanpa sistem politik berjalan baik akan dapat melahirkan rongrongan oleh perebutan-perebutan kekuasaan selama 200 tahun - seperti yang terjadi di Amerika Latin. "Orang lain boleh saja tidak sependapat," kata Suhardiman, Direktur PT Evergreen Hotel, dan pimpinan Soksi sejak 1962. "Biarpun ibaratnya saya harus berjalan sendirian di padang pasir," kata tokoh Golkar yang selalu mengesankan bersemangat. Saur Hutabarat Laporan Putut Tri Husodo, Riya Sesana (Jakarta), Dan Farid Gaban (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus