ABDUL Kadir terlihat gusar. Selera makannya hilang dalam sepekan ini. Ketua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, ini kecewa berat lantaran hakim Pengadilan Negeri Kendari membebaskan Syam Abdul Djalil, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat, pekan lalu. Syam didakwa menggangsir suara Partai Golkar saat pencoblosan 5 April lalu.
Vonis itu tentu saja mengejutkan Abdul Kadir. Tak ada guna ia bekerja keras mengumpulkan bukti kuat untuk menjerat Syam, koordinator kelompok kerja di daerah pemilihan I. Partai Golkar ikut menggugat Syam lantaran merasa dirugikan. Beringin mengklaim kehilangan 847 suara saat itu. Syam didakwa mencoret hasil perolehan suara partai, termasuk Golkar, yang tercantum di papan rekapitulasi.
Anehnya, ?orang suruhan? Syam, Yohanis, malah diganjar penjara tiga bulan. Yohanis adalah Sekretaris Panitia Pemilu Kecamatan (PPK) Kendari Barat, yang datang membawa paket hasil rekapitulasi suara Partai Golkar yang sebelumnya dibonsai oleh Syam. Hasil dalam laporan itu lebih kecil dibandingkan dengan hasil penghitungan PPK sebelumnya.
Inilah pertama kalinya gugat-menggugat dua lembaga penting itu sampai ke meja hijau. Selebihnya, mereka saling semprot ucapan, saling kritik. Tengok saja yang dialami Nur Hidayat Sardini, Ketua Panwaslu Jawa Tengah. Awal bulan lalu, Sardini dilaporkan anggota KPU Jawa Tengah ke polisi. Ia dianggap mencemarkan nama baik Komisi lantaran ucapannya yang ?pedas? di media massa.
Sardini dianggap ?berdosa? gara-gara menuding KPU tak pernah melakukan sosialisasi pemilu presiden. Pelbagai temuan pelanggaran kampanye yang diajukan juga tak digubris. Tapi yang dikritik balas mengecam. ?Ini sudah keterlaluan. Tugas Panwas hanyalah mengawasi tahapan pemilu, bukan mengontrol kinerja KPU,? kata Ida Budiati, anggota KPU Jawa Tengah.
Hawa panas keduanya merembet sampai pusat. Jakarta langsung meradang. Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin memutuskan meneken surat keputusan nomor 42 tahun 2004, Kamis dua pekan lalu. Isinya merevisi aturan KPU nomor 88 tahun 2003 soal kewenangan Panwaslu. Superioritas Panwaslu mulai disunat. Mereka harus melaporkan setiap temuannya kepada KPU.
Sejak saat itu, Panwaslu berada di ketiak KPU. Mereka tak lagi berperan sebagai penyelesai sengketa atas perselisihan. Jika ada keputusan KPU yang bersifat pengaturan dan penetapan, hal itu tak bisa digugat Panwaslu. Pendeknya, ?Tak bisa dijadikan obyek sengketa,? kata Ramlan Surbakti, Wakil Ketua KPU. Ia mendapat laporan, banyak anggota Panwaslu yang menjalankan fungsi di luar kewenangannya.
Ambil contoh di Belitung. Di sana, anggota Panwaslu dari unsur jaksa menjadi penuntut umum dalam kasus pidana pemilu. Di kecamatan Ogan Komering Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, anggota Panwaslu dari unsur polisi yang juga kepala kepolisian sektor ternyata ikut mengepung panitia pemungutan suara kecamatan. ?Jadi, Panwaslu hanya mengurusi pengawasan,? ujar Ramlan.
Ramlan mengaku kecewa berat terhadap kinerja lembaga pengawas ini. Banyak temuan mereka yang kerap dilaporkan langsung kepada DPR, tanpa melalui KPU. Padahal, sebagai pihak yang mengangkatnya, KPU seharusnya menerima laporan lebih dulu. Agaknya, revisi ini merupakan puncak dari ?perseteruan? antara KPU dan Panwaslu.
Padahal KPU bukanlah tanpa cacat. Di mata Panwaslu, banyak pelanggaran pemilu yang justru dilakukan oleh badan penyelenggara pemilu. ?Rata-rata bersumber dari kerja KPU yang tidak profesional,? kata Wahidah Suaib, Koordinator Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia. Pada pemilu legislatif, misalnya, tercatat ada 53 kasus pidana dengan pelaku anggota KPU daerah atau panitia pemungutan suara.
Angka yang lumayan juga ditemukan pada pemilu presiden. Dari 130 pelanggaran, misalnya, 45 di antaranya tergolong kasus pidana pemilu. ?Mayoritas dilakukan anggota KPU daerah atau anggota panitia pemungutan,? kata Didik Supriyanto, anggota Panwaslu. Kasusnya pun beragam. Di Papua, misalnya, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara di Kabupaten Mimika nekat mencoblos 3.200 surat suara.
Tak cuma itu. Sejak dibentuk, Panwaslu dianggap nyinyir dengan kebijakan KPU: dari soal penetapan partai politik sebagai peserta pemilu, usulan ke pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang pemilu susulan karena keterlambatan logistik, hingga soal uji kesehatan yang menyebabkan Abdurrahman Wahid tak lolos sebagai calon presiden. Puncaknya adalah ketika anggota Panwaslu ramai-ramai walk out saat KPU menetapkan hasil penghitungan suara pemilihan anggota dewan perwakilan daerah.
Komunikasi juga macet. Wakil Ketua Panwaslu Saut Hamonangan Sirait mencatat, hubungan kedua lembaga di semua tingkatan kian tak harmonis. Bagaimana dengan keharusan berkoordinasi lewat pertemuan berkala sedikitnya sekali dalam dua bulan? Jangan harap itu bisa terjadi. ?Nyaris tak pernah ada,? ujar Saut Hamonangan.
Toh, keputusan sudah diteken. Tapi Panwaslu tak tinggal diam. Mereka beralasan, sang atasan bukanlah KPU, melainkan rakyat. ?KPU dengan kami tak ubahnya saudara kandung karena dilahirkan dalam undang-undang yang sama,? kata Saut. Dalam waktu dekat, Panwaslu berniat mengajukan judicial review.
Widiarsi Agustina, Purwanto (TNR), Deddy Kurniawan (Kendari), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini