HASIL pemeriksaan Dewan Kehormatan Militer sudah diumumkan Kamis pekan lalu. Dan Kota Dili tampak tenang seolah tak terusik oleh berita besar itu. Namun, tanpa banyak publikasi, sebenarnya banyak hal baru yang sedang terjadi di sana. Sentuhan-sentuhan Panglima Komando Pelaksana Operasi Timor Timur, Brigjen. Theo Syafei, yang baru dua bulan menduduki posnya, pelanpelan mulai terasa. Yang sudah jelas terlihat adalah gayanya yang jauh lebih tegas dalam menangani berbagai soal. Misalnya, ia bicara terbuka tentang hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan orang di Dili. "Tak boleh lagi ada rapat-rapat gelap membicarakan soal antiintegrasi," katanya dalam sebuah wawancara dengan TEMPO, pertengahan Februari lalu. Jika rapat saja Theo tidak dapat mengizinkan, apalagi demonstrasi. "Demonstrasi memang dilarang di negeri ini," tuturnya tegas. Maka, banyak perwira lapangan di sana sekarang dapat menarik napas lebih lega. "Pekerjaan terasa lebih enak," kata seorang perwira kepada TEMPO. Maksudnya, dengan mudah orang-orang di lapangan dapat membedakan mana yang mesti ditindak dan mana yang bisa dibiarkan. Seorang pengamat di Dili menilai bahwa langkah Theo ini tampaknya dimaksudkan untuk mengangkat kembali semangat pasukan di Tim-Tim yang cukup terpukul karena peristiwa 12 November, yang memakan korban sekitar 50 orang itu. "Dulu, misalnya, banyak tentara diejekejek. Termasuk dalam demonstrasi 12 November itu, tak heran jika emosi mereka meluap," kata pengamat tadi. Sekarang, dapat dibilang tak ada lagi gangguan seperti itu. Gaya lugas begini juga dibawa ke dalam. Salah satu langkah yang paling cepat dilakukan Theo adalah membubarkan kelompok informan yang selama ini dikenal dengan sebutan Satuan Tugas (Satgas) Elang. Pembubaran ini bahkan dilakukan Theo tak sampai sepekan setelah ia menduduki pos barunya itu. Para informan ini, yang mestinya berfungsi hanya memberikan informasi kepada ABRI, belakangan sering mengaku sebagai petugas intel kepada setiap orang. Kelompok informan ini memang banyak mengundang kritik. Salah satu sebabnya adalah para anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda asli Tim-Tim. Gubernur Tim-Tim Mario Viegas Carrascalao sejak semula menyatakan ketidaksetujuannya dalam perkara ini. Pada hematnya, penggunaan pemuda-pemuda lokal ini hanya menghasilkan perpecahan di kalangan rakyat Tim-Tim. Carrascalao ada benarnya. Dalam kehidupan sehari-hari para informan ini sering dimusuhi dan menjadi bibit pertengkaran. "Kami sering dipandang sinis karena melaporkan orang Timor Timur sendiri," kata salah seorang dari mereka. Dan di Dili, amat mudah untuk mengenali kelompok ini. Umumnya di atas pukul 10 malam tak banyak lagi penduduk yang berkeliaran di luar rumah. Jika ada pemuda bergerombol main gitar, kadang disertai minuman keras, itulah kelompok itu. Tapi, ada juga yang sembari bekerja, berjualan rokok, atau menjadi sopir taksi. Masuknya orang Tim-Tim itu memang disengaja. Sebuah sumber TEMPO mengungkapkan bahwa Satgas Elang ini dibentuk sebenarnya untuk memengaruhi opini di masyarakat secara langsung. Daerah operasinya khusus di Kota Dili. Menurut sumber ini, kelompok itu sebenarnya tak berbentuk satuan tugas yang merupakan bagian dari aparat keamanan di Dili, melainkan hanya kelompok informal saja. Mereka diharapkan dapat memasok informasi kepada ABRI. Di sinilah kemudian timbul banyak masalah. Seperti yang dikeluhkan Louis Baretto, seorang wakil dari Pemuda Katolik, yang dalam pertemuan dengan Theo awal Februari lalu meminta agar kelompok itu dibubarkan. "Para intel sipil itu suka salah. Masa, merah dibilang hijau, hijau dibilang merah," kata Baretto. Rendahnya kemampuan para informan ini dapat dipahami jika melihat latar belakang mereka. Umumnya, mereka berpendidikan paspasan, bahkan ada juga yang buta huruf. Mereka umumnya juga pengangguran. Maka, ongkos untuk mencari info, yang dapat mencapai Rp 10.000 sekali jalan, terasa cukup berarti buat orang-orang ini. Selain kadang kurang akurat, para informan ini belakangan dinilai over acting. Akibatnya, perkelahian terbuka kadang tak terelakkan. Salah satunya terjadi di depan Gereja Motael, 28 Oktober 1991, yang mengakibatkan tewasnya seorang anggota Elang bernama Alfonso dengan kepala pecah karena dikeroyok pemuda yang antiintegrasi. Perkelahian ini menewaskan pula Sebastiao Gomes dari kelompok antiintegrasi. Inilah sebenarnya cikal bakal meletusnya tragedi 12 November. Ketika perkelahian itu meletus, suasana Dili memang sedang hangat akibat ketidakpastian kedatangan parlemen Portugal, yang lama dinanti kelompok antiintegrasi. Dalam suasana begitu, Satgas Elang meningkatkan kegiatannya. "Mungkin anggotanya saat itu mencapai seratus orang lebih," kata sebuah sumber militer. Menengok beberapa sisi negatif ini, ada benarnya juga jika Theo lalu membubarkan Satgas Elang ini. Namun, menurut Sumber TEMPO, masih ada belasan orang terbaik yang dipertahankan menjadi informan. Sebenarnya, pembubaran satuan informan seperti ini bukannya yang pertama kali. Sebelumnya, juga ada kelompok lain yang sudah dibubarkan, namanya Railakang, yang berarti halilintar. Anggotanya terdiri dari pemuda Tim-Tim, bahkan lebih khusus lagi. Railakang menghimpun pemuda-pemuda bekas Fretilin yang sudah dianggap berbalik. Tampaknya, pembenahan intelijen menjadi prioritas yang cukup tinggi bagi Theo. Maklum di Tim-Tim terhitung banyak sekali satuan intelijen. Di Angkatan Darat saja terdapat intelijen Kolakops, Korem, Kodim, sampai Koramil. Belum lagi Satuan Gabungan Intelijen yang dikoordinir Satgas 86 Tim-Tim, lalu masih ada intelijen dari Sektor C, dan belakangan yang muncul adalah Intelijen Batalyon Teritorial 641 dari Kalimantan Barat yang baru ditugaskan di Dili. Dari polisi juga ada jajaran intelijen mulai dari Polres sampai ke Polsek. Rimba raya intel ini masih ditambah dengan intelijen dari Kejaksaan, dan masih banyak lagi. Untuk mengatasi rumitnya suasana, dalam waktu dekat, Theo akan membentuk badan koordinasi untuk belasan macam intelijen ini. Langkah lain yang dilakukan Theo adalah, semakin menjepit ruang gerak kelompok antiintegrasi di Kota Dili. Untuk itu, ia melancarkan operasi teritorial di ibu kota Tim-Tim dengan sandi "Mores Diak", yang artinya hidup baik. "Pijakannya tetap Operasi Cinta Kasih," kata Letnan Satu Triyoga Budi Prasetyo, Kepala Penerangan Korem Dili. Maka, satu batalyon, yakni Batalyon Teritorial 641 Beruang Merah dari Kalimantan Barat, yang terdiri dari 644 orang, dikerahkan masuk ke kota yang berpenduduk sekitar 125 ribu jiwa itu. Seperti operasi teritorial di desa, pasukan ini sehari-harinya akan bekerja membantu masyarakat. Mulai dari membuat jalan dan jembatan, membangun rumah yang kumuh, memperbaiki genting jebol, sampai membangun lapangan, dan kemudian berolahraga bersama. Mereka akan tinggal selama setahun di balai-balai desa. Untuk menunjang segala keperluan pembangunan itu disediakan dana Rp 2,3 milyar. Jika di Dili ada 26 desa alias kelurahan, rata-rata setiap desa bakal menghabiskan dana sekitar Rp 88 juta. Di setiap desa akan ditempatkan empat sampai enam regu yang kekuatannya dapat mencapai 60 orang. Seberapa banyak, bergantung pada tingkat kerawanan di desa tersebut. Di Dili ada desa yang diberi kode merah, itu berarti rawan, kuning berarti setengah-setengah, dan hijau aman. Tak banyak sisa ruang gerak yang dimiliki kelompok antiintegrasi. "Bagimu, hanya ada rakyat di pihak kita atau tidak di pihak kita. Tidak boleh ada rakyat yang mengambang," kata Theo kepada para prajuritnya. Tampaknya, satu pelajaran berharga sudah ditarik dari peristiwa 12 November ini. Yopie Hidayat, Sandra Hamid (Jakarta), dan Ruba'i Kadir (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini