INILAH Travers, desa Perancis yang tak dikenal. Penduduknya cuma
350 orang.
Sejarah seolah tak bergerak. Masa lalu seperti ikut mengendap
dalam kesunyian di sana, bagian kekal dari hutan dan sungai
Saone yang mengalir di dekatnya.
Tapi di tahun 1976, Travers digedor dari ilusi ini. Seorang
diperkirakan terbunuh di rumahnya yang terpencil di sana --
justru lantaran sepotong sejarah.
Orang itu adalah Joachim Peiper.
Ia lahir 30 Januari 1915, di Berlin. Bapaknya seorang perwira
tentara Prusia. Pada usianya yang ke-18, Joachim ikut Pemuda
Hitler. Ia kemudian masuk Junkerschule dan pada umur ke-21 ia
dilantik dengan pangkat letnan. Dengan jalan hidup yang lurus
menurut garis Nazi ini, di tahun 1938 ia jadi aidede-camp
Heinrich Himmler, pemimpin dinas rahasia Jerman yang ditakuti,
Gestapo. Pada saat itu juga ia anggota brigade pilihan yang
merupakan anak emas pemerintah Hitler, pasukan pengawal yang
dikenal sebagai SS, Schutz Staffel. Persisnya, ia perwira Waffen
SS. Dengan demikian ia ikut bertempur di pelbagai front.
Dari pelbagai front -- Polandia, Rusia, Perancis -- ia banyak
mendapatkan medali, sebagaimana halnya juga ia banyak mendapat
luka. Ia jadi kolonel pada umur 29 tahun.
Tapi yang mungkin menyebabkannya dikenal ialah pertempurannya di
daratan Perancis dengan sepasukan tentara Amerika, ketika Jerman
setapak demi setapak dipukul mundur ke Belgia. Selama 6 bulan ia
bertahan sengit. Dan ketika Jerman melancarkan serangan balasan
-- yang terakhir kalinya -- pasukan tempur Peiper berada di
depan. Ia berhasil menahan 500 tentara Amerika dan 90 orang
sipil Belgia. Di hutan Ardennes di dekat Malmedy, seluruh orang
tahanan itu ditembakinya habis. Sekaligus. Dengan senapan mesin.
Lalu Jerman pun kalah perang.
Di tahun 1945, di Austria, Joachim Paiper tertangkap. Di Dachau,
14 Mei 1946, bersama 73 perwira Jerman lain, Peiper diadili.
Pengadilan berjalan cepat, mungkin agak bergegas. Joachim Peiper
dijatuhi hukum gantung.
Ketika vonnis dibacakan, sebuah bola lampu kamera pecah di dekat
wajahnya. Peiper ketawa mengakak. Lalu ia minta kepada
pengadilan, agar ia -- seorang prajurit -- ditembak mati,
bukannya digantung. Permintaannya dipenuhi.
Tapi Peiper belum saatnya mati. Pengadilan yang berlangsung
cepat itu kemudian oleh mahkamah lain dinilai melakukan beberapa
kesalahan teknis. Joachim Peiper dialihkan hukumannya menjadi
penjara seumur hidup, meskipun kejahatannya oleh mahkamah tak
pernah diragukan. Lalu, dalam suatu klemensi menjelang Natal
1956, ia dibebaskan dengan beberapa syarat - sampai akhirnya,
setelah 11 setengah tahun di penjara, ia merdeka kembali.
Banyak penjahat perang yang setelah dibebaskan mengganti
namanya. Tapi Peiper tidak. Ia bahkan mencari kerja dengan merk
masa silam yang belum terhapus. Ketika orang tahu siapa dia, ia
pun dipecat. Dan itu terjadi beberapa kali.
Hingga ia menetap di Travers. Dengan tangannya sendiri ia
mendirikan rumah di tepi hutan. Suatu ketika ia pernah berkata
bahwa ia mendapatkan kebahagiaan selama empat tahun di situ.
"Empat tahun dalam sebuah kehidupan -- itu berarti banyak."
Memang banyak -- tapi tak panjang. 14 Juli 1976, ketika orang
Perancis merayakan hari hancurnya penjara Bastille, rumah Peiper
yang terpencil itu diserbu orang. Dendam belum habis rupanya
terhadap seorang kolonel Nazi - meskipun ia sudah menjalani
hukumannya. Rumahnya dibakar. Sebuah mayat ditemukan di
dalamnya.
Masih haruskah Peiper diburu? Pertanyaan seperti itu sama
nilainya dengan pertanyaan sampai di mana batas manusia bisa
menghukum manusia lain. Apa lagi bila orang lain itu, tidak
seperti Peiper, belum terbukti bersalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini