Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Hari Depan Perawan

Pelestarian hutan dengan reboisasi & sistem tebang pilih sangat perlu. pemegang hph di wajibkan untuk tanam kembali. untuk itu perlu diberi perangsang. tenaga pengawasan dari dinas kehutanan kurang. (dh)

9 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POTENSI hutan-hutan perawan Indonesia ternyata tidak hanya membanggakan. Tapi juga memprihatinkan. Terutama bagi mereka yang rajin memikirkan kelestarian sumber alam dan ekologi. Sebab penggarapan terhadap sang perawan secara besar-besaran dalam sewindu belakangan ini bisa menimbulkan bencana, tanpa disertai usaha pengamanannya. Bahkan "walaupun Indonesia memiliki potensi hutan yang besar secara cepat dapat menghadapi bahaya terancamnya persediaan kayu". Begitu pendapat ir. R. Sambas Wirakusumah. Rektor Universitas Mulawarman itu kemudian mengetengahkan angka-angka dari berbagai sumber: Luas hutan di Indonesia yang 122 juta hektar itu ternyata hanya 38% nya saja yang masih produktip. Selebihnya berupa hutan alang-alang dan semak belukar. Seiring dengan lajunya penebangan kayu, hutan alang-alang dan belukar juga bertambah besar. Pertumbuhan kedua jenis hutan yang tidak produktip itu ternyata cukup pesat. Setiap tahun hutan alang-alang bertambah 180.000 hektar dan hutan belukar 286.000 hektar. Total saat ini ada 44 juta hektar hutan alang-alang dan belukar termasuk tanah-tanah kritis di Indonesia. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hanyalah dengan reboisasi. Khusus buat hutan produksi sebenarnya pemerintah sudah punya jalan. Yakni dengan penetrapan sistim Tebang Pilih Indonesia (TPI) di mana kayu yang diameternya kurang dari 50 cm tak boleh ditebang. Dengan jalan ini, dalam masa 35 tahun mendatang diharapkan kayu-kayu yang kini ditinggal sudah bisa dipungut lagi. Belakangan ini jalan itu ternyata dianggap terlalu lamban. Sebab dengan membuat hutan tanaman rotasi itu bisa diperpendek. "Kecepatan tumbuh hutan yang dipelihara dengan baik bisa 10 kali lipat lebih cepat dari tumbuhan hutan alam", ujar Sambas yang ahli dalam wood techhology itu. Hanya saja Sambas tidak menghitung adakah biaya yang ditimbulkan untuk reboisasi dan pemeliharaan itu secara ekonomis menguntungkan dibanding dengan pertumbuhan hutan alam, yang meskipun rotasinya lama, namun tanpa memerlukan biaya. Akan tetapi dalam hal reboisasi ini memang tidak sepenuhnya urusan ekonomis atau tidak ekonomis melainkan masalah kelestarian sumber alam adalah tujuan utamanya. Karena itulah Sambas yang menyoroti masalah ini bersama manager tropical forestry and research PT International Timber Corporation Indonesia, Dr Norman E. Johnson menganggap perlu disediakan perangsang dari pemerintah sebagaimana telah dilakukan oleh Pilipina dan Brazilia. Usaha itu ternyata memang tidak sia-sia. Tak Ada Anggaran Di Brazil menurut Johnson meskipun cadangan hutannya cukup besar, namun pemerintahnya memandang perlu mengeluarkan UU reboisasi, yang di dalamnya memuat berbagai perangsang. Salah satu contoh dikemukakan: pengusaha hutan bisa dibebaskan dari kewajiban bayar pajak pendapatan sampai 55% kalau jumlah itu kembali ditanam untuk membangun hutan tanaman. Hasilnya, dalam waktu singkat jutaan hektar hutan hijau royo-royo. Di Indonesia memang ada kewajiban bagi pemegang HPH untuk mengadakan penanaman kembali (replanting). Tapi di samping tidak ada sanksinya, kewajiban itu juga tidak jelas kapan harus dumulai. Maka itu tidak heran kalau pelaksanaannya tidak terlalu menggembirakan. Dari catatan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur selama 5 tahun ini baru 4 pemegang HPH yang melaksanakan penghijauan dengan jumlah areal kurang dari 2.000 Ha. Padahal untuk mengejar laju pertambahan tanah kritis dan hutan alang-alang, diperlukan penghijauan paling sedikit sama dengan laju pertumbuhan hutan alang-alang tersebut yakni 380.000 Ha/tahun. Alasan yang lebih prinsip tampaknya seperti yang dikemukakan ir. Sujitno dosen Fak. Kehutanan Unmul: "Pengusaha hutan, pada umumnya hanyalah pemilik-pemilik modal yang tidak tahu seluk-beluk hutan. Mereka hanya berorientasi pada masalah keuangan sehingga masalah kelestarian seolah-olah dianggap kurang penting". Biar lambat, masalah penanaman kembali yang termasuk dalam areal pemegang HPH tampaknya masih bisa berjalan. Apalagi kalau disertai pengawasan yang ketat. "Ya untuk mengawasi itulah tenaga kita tidak cukup", ujar Sutanto lagi. Menurutnya tenaga Dinas Kehutanan yang diperlukan 1500 orang kini baru ada 600 orang. Yang akan memprihatinkan lagi tampaknya justru daerah-daerah di luar konsesi yang reboisasinya menjadi kewajiban Dinas Kehutanan. Sampai saat ini instansi itu baru menanam pinus tidak lebih 500 Ha. Padahal hutan alang-alang saja ada 11 juta hektar di Kaltim. Untuk inipun Sutanto sudah punya alasan: anggaran tidak ada. Sebab DPRD selalu mencoret pos itu. Satu-satunya harapan hanyalah jatah dari Inpres penghijauan. Namun tampaknya Kaltim tidak kebagian jatah itu. "Mungkin Kaltim masih dianggap hijau", ujar Sutanto berseloroh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus