POTENSI hutan-hutan perawan Indonesia ternyata tidak hanya
membanggakan. Tapi juga memprihatinkan. Terutama bagi mereka
yang rajin memikirkan kelestarian sumber alam dan ekologi. Sebab
penggarapan terhadap sang perawan secara besar-besaran dalam
sewindu belakangan ini bisa menimbulkan bencana, tanpa disertai
usaha pengamanannya. Bahkan "walaupun Indonesia memiliki potensi
hutan yang besar secara cepat dapat menghadapi bahaya
terancamnya persediaan kayu". Begitu pendapat ir. R. Sambas
Wirakusumah.
Rektor Universitas Mulawarman itu kemudian mengetengahkan
angka-angka dari berbagai sumber: Luas hutan di Indonesia yang
122 juta hektar itu ternyata hanya 38% nya saja yang masih
produktip. Selebihnya berupa hutan alang-alang dan semak
belukar. Seiring dengan lajunya penebangan kayu, hutan
alang-alang dan belukar juga bertambah besar. Pertumbuhan kedua
jenis hutan yang tidak produktip itu ternyata cukup pesat.
Setiap tahun hutan alang-alang bertambah 180.000 hektar dan
hutan belukar 286.000 hektar. Total saat ini ada 44 juta hektar
hutan alang-alang dan belukar termasuk tanah-tanah kritis di
Indonesia.
Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh hanyalah dengan
reboisasi. Khusus buat hutan produksi sebenarnya pemerintah
sudah punya jalan. Yakni dengan penetrapan sistim Tebang Pilih
Indonesia (TPI) di mana kayu yang diameternya kurang dari 50 cm
tak boleh ditebang. Dengan jalan ini, dalam masa 35 tahun
mendatang diharapkan kayu-kayu yang kini ditinggal sudah bisa
dipungut lagi. Belakangan ini jalan itu ternyata dianggap
terlalu lamban. Sebab dengan membuat hutan tanaman rotasi itu
bisa diperpendek. "Kecepatan tumbuh hutan yang dipelihara dengan
baik bisa 10 kali lipat lebih cepat dari tumbuhan hutan alam",
ujar Sambas yang ahli dalam wood techhology itu.
Hanya saja Sambas tidak menghitung adakah biaya yang ditimbulkan
untuk reboisasi dan pemeliharaan itu secara ekonomis
menguntungkan dibanding dengan pertumbuhan hutan alam, yang
meskipun rotasinya lama, namun tanpa memerlukan biaya. Akan
tetapi dalam hal reboisasi ini memang tidak sepenuhnya urusan
ekonomis atau tidak ekonomis melainkan masalah kelestarian
sumber alam adalah tujuan utamanya.
Karena itulah Sambas yang menyoroti masalah ini bersama manager
tropical forestry and research PT International Timber
Corporation Indonesia, Dr Norman E. Johnson menganggap perlu
disediakan perangsang dari pemerintah sebagaimana telah
dilakukan oleh Pilipina dan Brazilia. Usaha itu ternyata memang
tidak sia-sia.
Tak Ada Anggaran
Di Brazil menurut Johnson meskipun cadangan hutannya cukup
besar, namun pemerintahnya memandang perlu mengeluarkan UU
reboisasi, yang di dalamnya memuat berbagai perangsang. Salah
satu contoh dikemukakan: pengusaha hutan bisa dibebaskan dari
kewajiban bayar pajak pendapatan sampai 55% kalau jumlah itu
kembali ditanam untuk membangun hutan tanaman. Hasilnya, dalam
waktu singkat jutaan hektar hutan hijau royo-royo.
Di Indonesia memang ada kewajiban bagi pemegang HPH untuk
mengadakan penanaman kembali (replanting). Tapi di samping
tidak ada sanksinya, kewajiban itu juga tidak jelas kapan harus
dumulai. Maka itu tidak heran kalau pelaksanaannya tidak terlalu
menggembirakan. Dari catatan Dinas Kehutanan Kalimantan Timur
selama 5 tahun ini baru 4 pemegang HPH yang melaksanakan
penghijauan dengan jumlah areal kurang dari 2.000 Ha. Padahal
untuk mengejar laju pertambahan tanah kritis dan hutan
alang-alang, diperlukan penghijauan paling sedikit sama dengan
laju pertumbuhan hutan alang-alang tersebut yakni 380.000
Ha/tahun. Alasan yang lebih prinsip tampaknya seperti yang
dikemukakan ir. Sujitno dosen Fak. Kehutanan Unmul: "Pengusaha
hutan, pada umumnya hanyalah pemilik-pemilik modal yang tidak
tahu seluk-beluk hutan. Mereka hanya berorientasi pada masalah
keuangan sehingga masalah kelestarian seolah-olah dianggap
kurang penting".
Biar lambat, masalah penanaman kembali yang termasuk dalam areal
pemegang HPH tampaknya masih bisa berjalan. Apalagi kalau
disertai pengawasan yang ketat. "Ya untuk mengawasi itulah
tenaga kita tidak cukup", ujar Sutanto lagi. Menurutnya tenaga
Dinas Kehutanan yang diperlukan 1500 orang kini baru ada 600
orang. Yang akan memprihatinkan lagi tampaknya justru
daerah-daerah di luar konsesi yang reboisasinya menjadi
kewajiban Dinas Kehutanan. Sampai saat ini instansi itu baru
menanam pinus tidak lebih 500 Ha. Padahal hutan alang-alang saja
ada 11 juta hektar di Kaltim. Untuk inipun Sutanto sudah punya
alasan: anggaran tidak ada. Sebab DPRD selalu mencoret pos itu.
Satu-satunya harapan hanyalah jatah dari Inpres penghijauan.
Namun tampaknya Kaltim tidak kebagian jatah itu. "Mungkin Kaltim
masih dianggap hijau", ujar Sutanto berseloroh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini