Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Ibu Nasional yang diperingati setiap 22 Desember tak bisa dipisahkan dari peran Nyi Hajar Dewantara. Perempuan dengan nama lahir Raden Ajeng Sutartinah ini kelahiran 14 September 1890 di Yogyakarta. Ia merupakan putri keenam dari Kanjeng Pangerah Haryo (KPH) Sosroningrat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari Dpad.jogjaprov.go.id, R.A. Sutartinah menamatkan Europese Lagere School (ELS) pada 1904. Lalu, melanjutkan ke sekolah guru. Dia kemudian menjadi guru bantu di sekolah yang didirikan Priyo Gondoatmodjo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tiga tahun bekerja sebagai guru, pada 4 November 1907 R.A. Sutartinah dipertunangkan dengan RM Soewardi Soerjaningrat atau yang kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Kemudian mereka menikah pada Agustus 1919. Perkawinan Sutartinah dengan Suwardi Suryaningrat membawa Sutartinah mengenal dunia jurnalistik dan politik, yang selalu menjalankan konfrontasi dengan pihak pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1913, Sutartinah ikut bersama Soewardi ke tanah pembuangan. Pada 1914, Sutartinah dan Suwardi mendirikan Indonesische Pers Partiy yang memberikan masukan berita kepada surat kabar di Belanda tentang berbagai peristiwa dan situasi di Indonesia. Di tanah pembuangan ini, Sutartinah juga sempat bekerja di sebuah Probe School (taman kanak-kanak) di Weimaar Den Haag.
Sepulangnya dari tanah pembuangan, Suartinah dan Suwardi memimpin Taman Siswa. Sutartinah membina gerakan wanita Indonesia lewat organisasi baru, yaitu Wanita Taman Siswa. Di organisasi ini, ia menjabat sebagai ketua sekaligus anggota badan penasihat pemimpin umum. Selain membina organisasi wanita, Sutartinah juga membina Taman Indria (taman kanak-kanak) dan Taman Muda sekolah dasar dalam perguruan Taman Siswa.
Pada 1928 Suwardi Suryaningrat mencapai umur 40 tahun. Dengan resmi Suwardi dan Sutartinah mengganti namanya masing-masing dengan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara.
Nyi Hajar dalam kedudukannya sebagai ketua, menulis beberapa artikel kewanitaan di berbagai surat kabar dan mengadakan siaran radio. Dalam usaha meningkatkan usaha pergerakan wanita, Nyi Hajar bertemu dengan rekan yang memiliki visi yang sama untuk menyatukan seluruh gerakan wanita Indonesia ke dalam satu wadah. Mereka adalah R.A Soekonto dan R.A Suyatin. Atas inisiatif Nyi Hajar Dewantara terhimpun 7 organisasi yang kemudian mensponsori Kongres Perempuan I di Yogyakarta.
Setelah selesai kongres, berdirilah badan Pemufakatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Nyi Hajar merupakan salah satu anggota pengurus dengan jabatan komisaris. Nyi Hajar juga menjadi anggota tim redaksi yang bertugas mengurus seksi publikasi pada badan tersebut.
Sementara itu pekerjaan sebagai guru Taman Siswa dijalani terus sampai Pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan ordonansi sekolah liar dan menuntut kegiatan sekolah Taman Siswa. Dalam menghadapi hal tersebut, Ki Hajar Dewantara mengadakan kampanye terbuka atas larangan sekolah liar di Jakarta dan Bogor. Sementara Nyi Hajar dan pemimpin Taman Siswa lain di Yogyakarta mengadakan gerilya pendidikan.
Pada 1960-an, Nyi Hajar mendirikan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa dan menjabat sebagai rektor pada 1965. Pada 1970, Nyi Hajar berhenti memimpin Taman Siswa.
Pada 16 April 1971, Nyi Hajar meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih. Atas perjuangannya selama hidupnya, Nyi Hajar ditetapkan sebagai pahlawan pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan RI dengan keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.Pal. 52/61/PK/ tertanggal 16 April 1971. Di samping itu atas jasanya membina Taman Siswa, Nyi Hajar mendapat penghargaan berupa anugerah tanda kehormatan Satyalancana Kebudayaan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 017/Tk/1968 tertanggal 13 April 1968.