Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar mengatakan, tendensi kekerasan masih menjadi salah satu masalah utama TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Praktek-praktek kekerasan yang dilakukan oleh TNI mengakibatkan berbagai permasalahan pelanggaran hak asasi manusia,” kata Rivanlee dalam Catatan Hari TNI 2021 yang dirilis, pada Selasa, 5 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rivanlee mengatakan, praktek yang terjadi di lapangan tidak terlepas dari kultur kekerasan yang mengakar dalam institusi militer. Sepanjang Oktober 2020-September 2021, KontraS mencatat bahwa praktek kekerasan yang dilakukan TNI didominasi empat tindakan. Yaitu 31 peristiwa penganiayaan, 9 peristiwa penembakan, 6 peristiwa penyiksaan dan intimidasi, 5 peristiwa tindakan tidak manusiawi.
“Berbagai macam peristiwa ini secara umum, korbannya merupakan masyarakat sipil yang didalamnya terdapat jurnalis dan aktivis,” ujarnya.
Menurut Rivanlee, peristiwa penganiayaan yang dilakukan aparat TNI menunjukkan bahwa institusi tersebut sebagai alat pertahanan negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan benar.
Berbagai peristiwa kekerasan tersebut, kata Rivanlee, menunjukkan besarnya ketimpangan relasi kuasa antara aparat TNI dengan masyarakat sipil. Kewenangan, sumber daya, hingga penggunaan senjata yang dilakukan aparat TNI tidak disertai dengan upaya profesionalisme sepenuhnya. Sehingga dalam beberapa kasus justru berujung pada arogansi tentara terhadap masyarakat sipil.
Rivanlee menyebutkan, salah satunya adalah kasus penganiayaan warga sipil di Kalimantan Tengah. Dalam kasus itu, Muhammad Arifin (20) tewas dengan tubuh penuh lebam dan luka pada 21 Maret 2021. Sehari sebelumnya, ia sempat dijemput paksa 4 aparat TNI dari rumahnya.
Berdasarkan pemantauan KontraS, arogansi aparat TNI juga dialami jurnalis. Dua wartawan media online di Kota Banjar, Jawa Barat, menjadi korban penganiayaan seorang anggota TNI AL berpangkat Pembantu Letnan Satu dengan inisial IJ. Dalam kasus tersebut korban mengalami pemukulan pada bagian ulu hatinya.
Rivanlee menilai, beberapa contoh kasus tersebut menunjukkan belum adanya upaya profesionalisme dalam tubuh TNI. “Upaya-upaya kekerasan terkait dengan penganiayaan, penyiksaan, intimidasi, dan lain-lain merupakan hal-hal yang sejatinya tidak dapat dibenarkan dalam tubuh TNI,” kata dia.
FRISKI RIANA