Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKIL Mochtar tak pernah berterus terang menjawab pertanyaan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Hingga Senin pekan lalu, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini tetap menyangkal mengenal Muhtar Ependy, yang diduga menjadi makelar dalam sengketa hasil pemilihan kepala daerah di lembaga itu.
Hubungan keduanya sudah jelas terungkap. Muhtar pun mengakui perkenalannya dengan Akil. Majalah Tempo edisi pekan lalu juga memuat foto mereka di ruang kerja Akil. Saat jeda pemeriksaan pada Selasa sore pekan lalu, pengacara Akil, ÂTamsil Sjoekoer, menanyakan hal itu kepada kliennya. "Dia tetap membantah kenal," kata Tamsil pekan lalu.
Selama pemeriksaan, penyidik menunjukkan dua foto yang persis dimuat Tempo. Disodori foto Muhtar yang berpose sendiri, Akil masih menyangkal. Namun raut mukanya berubah ketika foto Akil dan Muhtar ditayangkan di laptop penyidik. "Nah, setelah foto itu, dia baru mengaku kenal," ujar Tamsil.
Akil menjelaskan, foto itu diambil sekitar 2009, ketika ia baru menjabat hakim konstitusi. Muhtar dan Akil berkenalan pada 2007 saat politikus Golkar ini menjadi calon Gubernur Kalimantan Barat. PT Promic International milik Muhtar disewa untuk mencetak spanduk, poster, dan kaus buat kampanye.
Mantan politikus Partai Golkar itu juga tetap menyangkal punya aset berupa tanah, rumah, kebun, sawah, dan mobil yang dibeli dari uang-uang suap kepala daerah. Ketika diberi tahu bahwa Komisi telah menyita banyak asetnya di Kalimantan, Jawa Barat, hingga Jawa Tengah, menurut ÂTamsil, Akil menjawab, "Biarkan saja disita. Itu harta Muhtar."
Penyidik menduga Akil dan Muhtar telah melakukan pencucian uang suap dengan membeli aset. Setelah menyita 33 mobil, rumah, dan kebun mahoni di Sukabumi, pada Selasa pekan lalu Komisi menyita sawah 12.600 meter persegi di Singkawang, Kalimantan Barat. "Disita supaya tak dijual," ucap Johan Budi Sapto Prabowo, juru bicara Komisi.
Penyitaan aset itu, kata Johan, untuk membuktikan tindak pidana pencucian uang. Menurut Mico Fanji Tirtayasa, bekas sekretaris Muhtar, aset-aset yang disita belum seberapa. Setelah mendapat suap sengketa pemilihan Wali Kota Palembang pada Mei lalu, pamannya banyak membeli tanah dan rumah serta mendirikan pabrik. Di Palembang, PT Promic punya cabang. Namanya diganti menjadi PT Cipta Sarana Solusindo begitu Akil ditangkap ketika menerima suap, awal Oktober lalu.
Belum semuanya disita Komisi. Misalnya pabrik PT Promic di Karawang, dua pabrik di Kemayoran, rumah di Cempaka Putih, apartemen, dan rumah susun di Pademangan. "Semua itu dibeli dari jatah suap kepala-kepala daerah," ujar Mico. Sebagai perantara Akil dan kepala daerah yang beperkara, Muhtar mendapat bagian yang lebih besar dari yang disetorkan kepada Akil.
Untuk memenangkan kepala daerah yang menyuap, Muhtar menetapkan tarif Rp 10-25 miliar. Pembagiannya: Rp 25 miliar untuk kepala daerah yang kalah versi Komisi Pemilihan Umum Daerah, Rp 10-20 miliar jika ingin dilakukan pemilihan ulang, dan Rp 8 miliar untuk mengukuhkan kemenangan. Dari suap itu, Muhtar mengambil lebih dari separuhnya dan langsung dibelikan aset.
Muhtar, yang kini berstatus saksi, menyangkal menjadi makelar kasus sengketa hasil pemilihan yang ditangani Mahkamah Konstitusi. Laki-laki asal Pontianak, Kalimantan Barat, ini bahkan sesumbar akan memberikan Rp 1 miliar kepada siapa saja yang bisa membuktikan ia calo. Ihwal jatah suap itu, Tamsil mengatakan Akil tak banyak memberi jawaban. "Dia sama sekali tak mau cerita," katanya.
Bagja Hidayat, Rusman Paraqbueq
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo