Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Harta karun Thahir siapa punya

Harta almarhum H. Thahir masih diperebuntukan oleh Ny. Kartika, keluarga dari istri pertama dan Pertamina. Baru-baru ini sidang di Singapura dilanjuntukan lagi menentukan siapa pemilik sah harta karun itu.(nas)

20 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARTA karun Almarhum H. Thahir hingga kini masih tenggelam di Pengadilan Singapura. Meski sudah enam tahun berlalu, belum juga keluar keputusan siapa pemegang sah simpanan yang diperkirakan berjumlah Rp 82 milyar itu. Sesudah devaluasi jumlah itu mencapai lebih dari Rp 11 0 milyar. Hingga Senin pekan ini -- sesudah sidang tertutup empat hari -- Pengadilan Tinggi Singapura baru membahas tata cara pembuktian dan pemeriksaan sengketa Asisten Umum Dirut Pertamina semasa Ibnu Sutowo ini. Kasus ini muncul empat hari sesudah Pak Haji -- demikian orang-orang Pertamina dulu memanggil Thahir -- itu meninggal 23 Juli 1976. Saat itu tanpa diketahui keluarga Thahir, Ny. Kartika Ratna, istri muda Mendiang, berusaha mencairkan sebagian deposito berjangka mereka -- yang saat itu berjumlah US$ 35 juta -- di Bank Sumitomo Cabang Singapura. Diam-diam suami istri itu memiliki harta karun yang fantastis jumlahnya di cabang The Chase Manhattan Bank dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation, Singapura, selain yang di Sumitomo. Jumlah seluruh deposito berjangka di ketiga bank tadi, sepuluh tahun silam US$ 80 juta atau sekitar Rp 50 milyar sama dengan harga 30 ribu buah lebih rumah Perumnas tipe sedang kala itu. Kartika kaget, ketika Akira Fujimene, manajer Bank Sumitomo Singapura, memblokir seluruh rekening Thahir-Kartika. Soalnya, keluarga Almarhum dari istri pertama mengaku sebagai ahli waris sah tangan kanan Ibnu Sutowo itu. Perkara ini akhirnya muncul di Pengadilan Singapura karena Sumitomo ingin memastikan siapa sebenarnya ahli waris Almarhum. Akhir Maret 1980 untuk pertama kali perkara ini disidangkan. Kala itu Hakim Ketua T.S. Sinnathuray memutuskan Pertamina sebagai pihak penggugat. Ny. Kartika yang kini bermukim di Swiss sebagai tergugat utama. Dan tergugat kedua adalah keluarga Thahir dari istri pertama. Pertamina masuk dalam sengketa ini karena perusahaan pemerintah ini merasa simpanan itu sebagai miliknya. Uang negara itulah yang diterima Thahir lewat komisi ketika ia sebagai pejabat Pertamina menandatangani kontrak pembangunan proyek Krakatau Steel. Presiden Soeharto lewat Keppres No. 9/1977 memerintahkan Asisten Intel Hankam kala itu Mayjen Benny Moerdani menelusuri kasus itu. Ketika di temukan cukup bukti bahwa simpanan Thahir tadi uang pemerintah RI, ditunjuk Pengacara Albert Hasibuan untuk menangani. Pengacara Michael Sherrard, yang bersama S. Selvaduray dan Albert Hasibuan yang mewakili pemerintah RI, dalam sidang Jumat lalu membeberkan asal-muasal simpanan itu. Misalnya, ketika 9 Mei 1974, Pertamina membayar kepada Siemens, kontraktor instalasi listrik Jer-Bar, 57,37 juta DM, sekitar sebulan kemudian Thahir mendepositokan uang 2.868.000 DM, identik dengan 5% dari pembayaran Pertamina. Ketika 16 Juli kepada kontraktor yang sama dibayarkan 31.899 juta DM, kembali Thahir mendepositokan 1.595 juta DM (juga sekitar 5% pembayaran) pada tanggal 6 September 1974. Dan akhir bulan Februari 1985 Pak Haji menyetor 2.245 juta DM sesudah Pertamina membayar 44,9 juta DM. Komisi-komisi itu belum lagi terhitung penggembungan anggaran yang tidak wajar dari Krakatau Steel. Nilai kontrak dengan Siemens, ketika itu, tahun 1972/1974 berjumlah 986,5 juta DM. Sedang pembangunan pelabuhan dan instalasinya yang ditangani kontraktor Klockner bernilai 462,2 juta DM. Tapi pengacara itu tak menyinggung kontrak dengan Ferrosteel yang berharga 1 milyar dolar. Sherrard sempat menghitung-hitung, jumlah simpanan Thahir itu senilai 30 ribu kali bulan gaji Thahir sebagai pejabat Pertamina yang kala itu ditaksir 9 ribu dolar AS setahun. Tentu saja gugatan Pertamina ini tak diterima Kartika. Wanita kelahiran Nganjuk 51 tahun lalu itu, enam tahun lalu, menyatakan bahwa penenmaan komisi merupakan sesuatu yang wajar di Indonesia. Ia bahkan berani menuduh Presiden Soeharto menerima komisi 7% dan 5%, yang masing-masing dari Israel dan Jer-Bar, saat pembelian senjata untuk ABRI, 1978. Sedang Ny. Tien Soeharto ia tuduh telah menerima dua buah cincin berlian dari Mendiang seharga Rp 435 juta. Tan Kiem Giok, nama asli Kartika, juga menyebut-nyebut nama Letjen Benny Moerdani dari Bakin yang kini jenderal dan Pangab (TEMPO, 14 Februari 1981). Reaksi keras bermunculan. Dan Hakim Sinnathuray, lewat putusannya 19 September 1982, menyatakan penyebutan nama-nama pejabat Indonesia itu tidak relevan. Kartika tak menerima dan banding. Tetapi keputusan pengadilan yang lebih tinggi 25 Juli 1984 justru memperkuat putusan pengadilan tingkat pertama. Dan Hakim T.S. Sinnathuray dalam sidang pekan silam menolak permintaan pengacara Kartika yang menginginkan pengakuan sebagai pemegang hak mutlak atas uang simpanan Thahir. Kini hakim itu dalam sidang Senin pekan ini memerintahkan agar cash flow rekening Thahir dan/atau Kartika disiapkan oleh Bank Sumitomo dalam waktu dua bulan. Agaknya itu merupakan kunci, apakah deposito yang kini bernilai lebih dari Rp 110 milyar itu milik keluarga Thahir atau merupakan uang pemerintah RI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus