UNIVERSITAS Gadjah Mada di Yogyakarta akan merayakan dies natalis ke-39 pada 19 Desember mendatang. Tapi minggu lalu, di tengah berbagai acara yang mengawalinya, muncul sedikit heboh. Bukan karena ada sabotase, tapi lantaran berita di harian Masa Kini, Yogyakarta, 27 Oktober lalu, yang menuding bahwa masih ada tokoh yang terkait dengan PKI di UGM. Yaitu Drs. H.J. Koesoemanto, 63 tahun, yang dulu bernama Johan Koo Som Iet. Ketika masih kuliah di Fisipol UGM pada tahun 1960-an, ia disebut-sebut menjadi anggota CHTH alias Chung Hua Tsung Hui, cikal-bakal Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) -- salah satu "organisasi mantel" PKI. Koesoemanto, yang sudah lama menjadi asisten ahli pada Fisipol UGM itu, terakhir sebagai Direktur Eksekutif Gadjah Mada University Press (GMUP), yang semula disebut Bagian Percetakan dan Penerbitan UGM. Padahal, sudah dua kali, pada 1971 dan 1980, ia diberhentikan. Koesoemanto sendiri, yang sampai kini masih bekerja di GMUP, tidak mau bicara banyak. "Silakan tanya kepada Rektor, yang berhak menjawabnya," katanya singkat. Kerepotan ini sebenarnya tak usah terjadi bila keputusan dua rektor sebelumnya dilaksanakan. Pada 1971 Soeroso, M.A., Rektor UGM ketika itu, telah memberhentikan Koesoemanto dengan hormat sebagai staf pengajar Fisipol UGM. Tapi SK itu juga mengangkatnya sebagai penanggung jawab Bagian Percetakan dan Penerbitan UGM. Di bawah pimpinan Koesoemanto, lembaga penting tadi maju. Apalagi setelah ia kembali dari Negeri Belanda pada 1967, untuk mempelajari seluk beluk percetakan dan penerbitan di sana. Pada 1978 lembaga itu berganti nama menjadi Gadjah Mada University Press, dan berkembang pesat. Bahkan belakangan mampu mendirikan sarana percetakan di Jalan Grafika, masih dalam kompleks UGM. Cukup banyak buku ilmiah yang diterbitkannya. Sebagian besar laris. Lalu tak seorang pun ingat atau peduli tentang status Koesoemanto. Tapi pada 14 Februari 1980, Rektor UGM berikutnya, Soekadji Ranuwihardjo, menerima edaran Irjen Departemen P dan K mengenai skrining terhadap para dosen yang terlibat G-30-S/PKI golongan C2 dan C3. Berdasarkan edaran itu, Soekadji memberhentikan Koesoemanto dengan hormat sebagai penanggung jawab Bagian Percetakan dan Penerbitan UGM, karena ia dinilai terlibat G-30-S/PKI dan termasuk golongan C2. Tapi entah kenapa, Koesoemanto ternyata masih aman-aman saja. Sementara itu, suasana kerja di GMUP tidak menyenangkan. Koesoemanto, kata beberapa karyawannya, sering bertindak terlalu keras. Misalnya memutasikan beberapa karyawan tanpa alasan jelas. Maka, melayanglah petisi kepada pembantu rektor yang membawahkan GMUP, ditandatangani semua karyawan, minta agar boss mereka diganti. "Tapi petisi itu tidak ditanggapi sama sekali," tutur salah seorang karyawan. Di kalangan UGM, Koesoemanto terkenal soepel alias pandai bergaul. "Orangnya halus, kalem, dan mudah mendekati orang. Ia pandai mengambil hati atau menarik simpati orang," ujar seorang sumber di Fisipol UGM. Meski begitu, jasa Koesoemanto sebagai perintis dan pengembang GMUP memang diakui, termasuk oleh Rektor UGM sekarang, Koesnadi Hardjasoemantri. Itu sebabnya, dia masih diizinkan bekerja. Lagi pula, kata Koesnadi, "ia belum ada penggantinya." Tapi menurut Rektor, tidak sampai setahun ini Koesoemanto sudah akan keluar dari UGM. Selama ini, kata Koesnadi, Koesoemanto tetap diawasi dan sejauh ini tidak pernah ditemukan hal-hal yang mencurigakan. Pernyataan Rektor itu disanggah banyak pihak. "Wah, kalau hanya untuk mengelola lembaga seperti itu, UGM tidak kekurangan tenaga ahli," kata seorang dosen senior UGM. Budiman S. Hartoyo (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini