Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perahu kayu itu berayun di-per-main-kan gelombang di te-ngah ge-ri-mis pagi. Mesin tempelnya meraung-raung melawan arus. Dua pu-luh orang penumpang, ter-masuk Tempo, kedinginan diterpa angin. Nun di kejauhan tampak batu-batu besar yang berserakan persis di ekor Pulau Ka-limantan. Itulah Tanjung Datu, sekitar tujuh kilometer dari Desa Temajuk, Ke-ca-matan Paloh, Sambas, Kalimantan Barat.
Sebagian besar penumpang perahu ada-lah anggota awak KRI Teluk Sabang. Dari Pontianak, mereka datang ke Desa Temajuk, Kamis dua pekan lalu. Setelah menginap semalam di desa ter-akhir di perbatasan ini, keesokan hari-nya ekspedisi ke Tanjung Datu dilanjutkan de-ngan memakai perahu motor.
Bukan perjalanan biasa, lawatan itu mem-bawa misi penting. Mereka hendak- me-nengok titik pangkal di Tanjung Da-tu- yang menentukan batas antara Indo-ne-sia dan Malaysia. Sebelumnya, Guber-nur Ka-li-mantan Barat Usman Djafar me-laporkan- sering terjadi pengusiran- kapal- nelayan di Gosong Niger. Kawas-an ini berada sekitar 9 kilometer dari Tanjung Datu.
Gosong Niger terbentang seluas sekitar 50 kilometer persegi, memanjang da-ri barat sampai ke timur, melewati Tanjung Datu. Sepertiganya masuk wilayah Serawak, Malaysia. Disebut gosong ka-rena di situ terdapat dasar laut dangkal- berupa karang, endapan lumpur, dan pa-sir dengan kedalaman 8-16 meter. Se-perti umumnya kawasan karang, dae-rah- itu kaya ikan. Menurut nelayan Te-majuk,- mereka kerap terbawa arus saat me-nangkap ubur-ubur, dan tiba-tiba saja sudah berada di wilayah jiran.
Kasus terakhir adalah dihalaunya kapal sewaan Dinas Kelautan dan Perikan-an Kalimantan Barat, Juni tahun lalu. Kapal ini dianggap masuk ke laut teritorial Malaysia sekitar satu kilometer. Saat itu petugas Dinas Kelautan sedang melakukan survei potensi laut di gosong itu. ”Kita tak mau masalah Gosong Niger jadi menegangkan seperti Ambalat,” kata Usman Djafar.
Gesekan itu muncul karena ketidak-jelasan batas wilayah laut di Gosong Niger. Diduga, masalah tersebut muncul ka-rena perhitungan batas yang tidak sa-ma antara Indonesia dan Malaysia di Tanjung Datu sebagai titik pangkal. Inilah yang kemudian hendak dilacak oleh tim dari Armada Barat. ”Kami i-ngin melakukan check dan recheck atas la-por-an itu,” kata Laksamana Pertama Dadiek Surarto, yang memimpin tim ekspedisi.
Pengecekan ke Tanjung Datu bukan pertama kali dilakukan. Sebelumnya, dua tim yang juga dari KRI Teluk- Sabang telah merapat ke sana. Tim per-tama- menjangkau pantai berbatu itu -pa-da 20 Januari lalu. Sepekan kemudian,- tim kedua juga datang, tapi bernasib- malang. Perahu karet yang mereka tumpangi pecah terempas menghantam ba-tu. Untungnya, mesinnya bisa diselamatkan.
Tim yang dipimpin Perwira Pelaksana KRI Teluk Sabang, Kapten Ujang Dharmadi, itu akhirnya terdampar di Tanjung Datu tanpa makanan. Mereka baru bisa dijemput dengan perahu penduduk esok paginya setelah cuaca baik.
Meski begitu, tim berhasil mengidentifikasi patok-patok batas dan mencapai mercusuar di perbatasan. Laporan tim investigasi dari Dinas Topografi Angkatan Darat dan Kodam Tanjung Pura, Agustus 2005, pernah melaporkan suar milik Indonesia dipagari oleh Malaysia. Sekarang pagar itu sudah dibongkar. Hanya dua mercusuar Malaysia yang masih dipagari.
Di wilayah Tanjung Datu, batas dan kepemilikan wilayah Indonesia ditandai dengan suar buatan Belanda pada 1884 setinggi 7 meter. Suar ini berdiri persis di batas wilayah Indonesia, tepatnya pada patok A4. Sayangnya, tanda batas ini sudah padam, lalu dihapus dari Daftar Suar Indonesia dan peta laut sejak tahun 1978.
Dua suar lain dibangun oleh Malaysia di wilayahnya. Negara itu membangun suar pertamanya setinggi 10 meter pada 1987. Karena padam, dibangun lagi suar baru setinggi 7 meter pada 1990. Suar ini telah masuk dalam Daftar Suar Inter-nasional tahun 2004.
Tim Ujang Dharmadi juga menemukan hilangnya patok A1 sampai A3 yang menjadi titik ukur wilayah laut Indone-sia. Yang ada hanya patok A4. Untuk membuat patok lagi, perlu pengukuran ulang yang tidak mudah.
Jawatan Ukur dan Pemetaan Malaysia- pun telah membuat patok sendiri di Tanjung Datu. Patok ter-sebut dibuat di puncak batu setinggi 6 meter, berjarak sekitar seratusan meter dari patok A4 milik Indonesia. Tapi patok baru ini masuk ke wilayah Indonesia sekitar delapan meter. Menurut Dharmadi, bila titik ini dijadikan titik pangkal garis untuk meng-ukur landas kontinen, wilayah laut In-donesia akan menyusut. ”Jangan lihat pergeserannya di darat. Kalau sudutnya ditarik ke arah laut, cukup luas juga wilayah laut yang hilang,” kata perwira menengah asal Jambi ini.
Sebetulnya perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia di ujung Tanjung Datu telah disepakati pada 1976. Rujukannya perjanjian batas darat Hindia Belanda dengan Inggris pada 1891. ”Hanya, tidak diatur pembagian, penetapan, atau delimitasi wilayah laut,” ujar Gubernur Usman.
Perjanjian landas kontinen Indonesia-Malaysia pun telah diteken pada 1969. Isinya mencakup kawasan Tanjung Datuk dan Laut Cina Selatan. Garis batas ditarik dari titik dasar nomor 35, yang terletak pada koordinat 2 derajat 5 menit 10 detik Lintang Utara dan 109 derajat 38’43” Bujur Timur. Menurut Usman, garis landas kontinen inilah yang selama ini ditafsirkan sebagai batas wilayah laut kedua negara.
Tumpukan batu itu semakin dekat. Ha-nya sekitar 20 meter lagi perahu akan merapat ke Tanjung Datu. Tapi ge-lom-bang yang terus menggila mem-bu-at perahu sulit mendekat. ”Tak bisa, Pak. Kalau memaksa, kapal bisa pecah meng-hantam batu,” kata Mohamad Fatah, tokoh warga Temajuk yang menjadi pe-man-du.
Daerah itu memang pe-nuh batu, hingga ke dasar pan-tai. Batu-batu besar di ujung Tanjung tidak juga hancur, kenda-ti- dihantam- gelombang Laut Cina Selatan setiap hari. Akhir-nya- Letnan Sa-tu Yoyok Mul-ya-di, yang memimpin rom-bongan, mengambil ke-putus-an. ”Kita pu-lang saja ke kapal, menunggu cuaca baik,” kata Kepala Kamar Me-sin KRI Teluk Sabang itu.
Komandan Gugus Tempur Laut Armada Kawasan Ba-rat, Laksamana TNI Dadiek Surarto, pun pasrah. Upayanya me-ngecek patok-patok di Tanjung Datuk belum berhasil. Rencana mendirikan tiang dengan bendera Merah Putih pun terpaksa ditunda. Menurut Dadiek, pengukuran dan pembuatan patok seca-ra sepihak oleh Malaysia tidak bisa di-akui. ”Kalau mau fair, harus ada peng-ukuran ulang bersama,” ujarnya.
Pengukuran wilayah darat Indonesia- dan Malaysia berdasarkan perjanjian- 1976 memang belum selesai. Meski pe-ma-sangan patoknya sudah rampung pada 2000, masih ada proses evaluasi ulang.
Untuk batas laut memang lebih rumit lagi. Tak hanya mengandalkan garis batas kontinen, semestinya Indonesia dan Malaysia segera membuat perjanjian batas wilayah di kawasan itu. Tapi langkah ini tidak bisa dilakukan de-ngan cepat. Upaya sementara yang murah dan praktis- agar nelayan tak lagi ter-sesat adalah membangun suar atau rambu navigasi di Gosong Niger wilayah Indonesia. ”Suar ini hanya bisa dilihat dari sisi Indonesia, jadi nelayan kita bisa melihat,” kata Dadiek.
Usul itu akan segera terwujud. Pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat telah menyetujui pembangunan suar baru pada tahun ini. Suar di Tanjung Datu pun akan diperbaiki.
Arif A. Kuswardono (Tanjung Datu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo