Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARAS Inaq Mahrar, 51 tahun, masih terlihat pucat lesu. Tergolek lemah di tumpukan tikar di atas papan yang berjejer di asrama transito, kantor Dinas Transmigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Jalan Pariwisata, Kota Mataram, mata-nya merah kurang tidur. Di tempat ini Inaq Mahrar tinggal bersama 165 anggota Ahmadiyah Lombok yang baru saja terusir dari rumahnya.
Sebelum terdampar di kantor transmigrasi, Mahrar sempat semalam dirawat di Rumah Sakit Jiwa Selagalas, Mataram. Perempuan berjilbab ini kadang tersenyum sendirian, juga berteriak kepada semua orang—depresi berat. ”Bunuh saja aku! Bunuh saja daripada hidup seperti ini!” ia berteriak-teriak.
Menurut Harun Ahmadi, istrinya itu berubah setelah rumah mereka di kompleks BTN Bumi Asri di Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, dibakar warga dari sejumlah desa di Kecamatan Lingsar. Puluhan rumah lain milik pengikut Ahmadiyah juga bernasib sama.
Tragedi di Desa Gegerung berawal dari aksi pengusiran yang dilakukan warga Desa Geguntur, Sabtu dua pekan lalu. Dengan dalih Ahmadiyah ajaran sesat, warga Geguntur meminta mereka meninggalkan Desa Gegerung. Tetapi pengikut Ahmadiyah bertahan. Bahkan, ketika sekelompok orang masuk ke pekarangan, mereka hanya diam.
Ajaran yang mereka yakini m-emang sedikit lain. Umat Islam umumnya me-yakini Muhammad SAW sebagai nabi penutup, tapi kalangan Ahmadiyah me-mandangnya sebagai nabi term-ulia, yang memberikan ruang bagi nabi lain de-ngan kualitas lebih rendah. Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908), pendiri Ahmadiyah, mereka yakini telah menerima wahyu yang menandai pengangkatannya sebagai Al-Mahdi.
Tindakan brutal muncul setelah ada kabar Sadilah, warga Desa Mambalan, terbacok lengannya karena terlibat bentrok saat masuk ke pekarangan rumah milik warga Ahmadiyah. Tapi warga Ahmadiyah membantah telah menye-rang Sadilah. ”Mereka masuk rumah dan menyerang kami,” kata Zainal Abidin, anggota Ahmadiyah yang juga ke-tua RT di perumahan BTN Bumi Asri itu. ”Apa salahnya jika kami membela diri?”
Kabar Sadilah terluka menyalakan kemarahan kelompoknya. Ribuan orang yang bersenjata pentungan, tombak, pe-dang, dan arit, yang datang dari berbagai penjuru, langsung merangsek ru-mah warga Ahmadiyah. Batu dan bom molotov berhamburan. ”Rusak! Hancurkan! Usir orang Ahmadiyah dari Lombok!” para penyerbu berteriak.
Dalam sekejap rumah warga Ahmadi-yah luluh-lantak. Ratusan petugas Brimob dan Sabhara Perintis yang didatangkan dari Polres Mataram dan Polda NTB tak mampu menghalau massa. Dalam keadaan terjepit, peng-ikut Ahmadiyah mencoba bertahan di rumahnya. ”Biarkan saya mati di sini, di rumah ini,” teriak Rohani, ibu delapan anak, histeris.
Rekan-rekannya sepakat bertahan. Tapi, demi keselamatan mereka, polisi tetap melakukan evakuasi. Mereka, termasuk pasangan Harun Ahmadi–Inaq Mahrah, diungsikan ke Kantor Dinas Sosial di Mataram, kemudian dipindahkan ke asrama transito.
Sejak menyatakan diri sebagai peng-ikut Ahmadiyah pada l972, pasang-an Harun–Inaq Mahrah dan keenam anaknya telah tiga kali diusir. Pada 2001, misalnya, keluarga ini juga di-usir dari kampung halamannya di Desa Pemongkong, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Karena keselamatan keluarganya terancam, Harun meninggalkan rumah dan tanah 1,5 hektare miliknya.
Keluarga ini kemudian hijrah ke Kecamatan Labuan Badas, Sumbawa. Di tempat baru ini, warga juga tak menerima mereka. Bersama belasan pengikut Ahmadiyah yang lain, Harun pindah lagi ke Kecamatan Pancor. Eh, warga Pancor juga tak rela menerima mereka. Pada 2002, masjid dan belasan rumah milik warga Ahmadiyah dibakar.
Akibatnya, keluarga Harun tercerai-berai. Dia sempat mengungsikan anak-anaknya ke Tasikmalaya, Jawa Barat. ”Agar mereka bisa sekolah,” kata Ha-run. Dua tahun lalu, keluarga Harun dan sejumlah pengikut Ahmadiyah mencoba peruntungan dengan boyongan ke pe-ru-mahan BTN Bumi Asri, di Lombok Barat. Tapi, ya itu tadi. ”Bagaimana tidak stres istri saya,” kata Harun, de-ngan bibir bergetar.
Hidup berpindah-pindah juga dialami puluhan anak-anak. Mubarok Ahmad, 14 tahun, pernah berkali-kali pindah sekolah karena orang tuanya terancam. Pada 2002, ketika pengikut Ahmadiyah di Kecamatan Selong, Lombok Timur, diusir, Mubarok—saat itu duduk di kelas 4 SD—diungsikan orang tuanya ke Tasikmalaya, Jawa Barat.
Hanya setahun ia di sana. Setelah naik kelas enam, anak pasangan A-rifin-Sabariyah itu pindah lagi ke SDN 32 Cakra, Mataram, hingga lulus. Ket-ika rumah orang tuanya diobrak-abrik massa pada Sabtu lalu, Mubarok masih asyik belajar di kelas satu SMP 12 Selagalas, Mataram. Kini Mubarok dan teman sebayanya belum berani masuk sekolah. ”Bapak dan Ibu masih bersedih,” kata Mubarok kepada Tempo.
Bagi pasangan Arifin-Sabariah, juga pengikut Ahmadiyah yang lain, bumi tempat berpijak sudah tak aman lagi. Karena itu, sehari setelah insiden pembakaran rumah warga Ahmadiyah di Lombok Barat, mereka menyatakan akan hengkang ke negara lain. ”Pilihan kita, ya suaka politik,” kata Syamsir Ali, penasihat Jemaah Ahmadiyah Indonesia untuk provinsi NTB dan NTT.
Alasannya, aparat keamanan dianggap gagal melakukan pengamanan pengikut Ahmadiyah. Mereka mungkin akan memilih Kanada atau Australia. ”B-anyak warga Ahmadiyah di sana,” kata Syamsir. ”Kalau ada lampu hijau, kami akan ke sana.”
Permintaan suaka politik mungkin saja dianggap berlebihan. Bahkan permintaan itu dianggap tidak relevan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. ”Sebab, aparat keamanan telah berupaya melindungi mereka,” kata Hassan.
Polisi memang berusaha melindu-ngi warga Ahmadiyah, tapi nyatanya mere-ka masih saja terancam. Sejak 1988 te-lah terjadi insiden kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah di enam wilayah di provinsi NTB. Bahkan kekerasan di Kecamatan Bayan, Kabupaten L-ombok Barat, pada 2001, mengakibatkan se-orang anggota Ahmadiyah tewas. ”Kasusnya telah dilaporkan, tapi hingga kini tidak ada hasilnya,” kata Syamsir Ali.
Sebelum benar-benar hengkang dari NTB, warga Ahmadiyah mengeluarkan enam tuntutan. Di antaranya, pemerintah diharapkan mengganti aset warga Ahmadiyah yang dirusak, dan meng-usut para provokator dan aktor intelektual di balik penyerbuan warga Ahmadiyah.
Tudingan diarahkan ke Bupati Lombok Barat, Iskandar. Sebab, ”Dasar penyerbuan itu karena Iskandar melarang ajaran Ahmadiyah di Lombok Barat,” kata Syamsir. Tapi, ”Sampai kapan pun keputusan pelarangan Ahmadiyah tidak akan saya cabut,” kata Iskandar.
Menurut Iskandar, keputusan mela-rang Ahmadiyah sudah benar, dan salah satu pertimbangannya adalah rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ka-bupaten Lombok Barat, yang menyatakan Ahmadiyah aliran sesat.
Dengan sikap Iskandar ini, memang akan sulit warga Ahmadiyah bisa hidup aman. Pemerintah Provinsi NTB menjamin keamanan warga Ahmadiyah, selama mereka berada di tempat pengungsi-an. ”Tapi kami tak mau dikerangkeng terus di sini,” kata Zainal Abidin.
Karena itu, dalam jangka panjang, pe-merintah Provinsi NTB meminta peme-rintah pusat bersikap tegas terhadap ajaran Ahmadiyah. ”Sikap tegas peme-rintah yang kita tunggu,” kata Lalu Gita Aryadi, Kepala Bidang Humas Pemerintah Provinsi NTB.
Selama ini, menurut dia, pemerintah pusat bersikap tak jelas terhadap Ahmadiyah. Kejaksaan Agung tidak pernah mengeluarkan larangan ajaran Ahmadiyah secara nasional. Hanya, pada 1985, Kejaksaan Agung pernah mengeluarkan surat edaran kepada setiap kejaksaan tinggi dan kejaksaan nege-ri, bahwa mereka dapat melarang atau membekukan kegiatan Ahmadiyah di wilayahnya.
Di Provinsi NTB, hanya Kejaksaan Ne-geri Selong, Lombok Timur, yang me-la-rang Ahmadiyah. Di beberapa daerah lain seperti Kabupaten Lombok Barat, pelarangan dilakukan oleh bupati-nya dengan dasar rekomendasi MUI se-tempat.
Rekomendasi MUI daerah itu berhulu pada Keputusan Munas MUI 1980 tentang fatwa yang menetapkan Ahmadiyah sebagai ”jemaah di luar Islam, sesat dan menyesatkan”. ”SK MUI inilah yang menghalalkan darah jemaah Ahmadiyah,” kata Dawam Rahardjo. Padahal, kata pendiri ICMI ini, Ahmadiyah juga menganut rukun iman dan rukun Islam sebagaimana umat Islam lain.
Zed Abidien (Surabaya), Sujatmiko (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo