Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayo kita ke Kampung Melano,” kata Toyib, 34 tahun, seorang warga kampung. Tawaran spontan ini muncul tak lama setelah kami berlabuh di Desa Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, suatu sore dua pekan lalu. Inilah desa yang ber-ada di perbatasan Kali-mantan Barat dan Serawak. Bersama rombongan Gugus Tempur Laut Armada Kawasan Barat, Tempo beristirahat di kampung ini setelah berlayar selama 12 jam bersama KRI Teluk Sabang dari Pelabuhan Pontianak.
Melano, yang berada di Teluk Melano, adalah sebuah de-sa di daerah Lundu Serawak. Ini satu-satunya desa terdekat de-ngan Temajuk. Kampung ini bisa ditempuh hanya se-puluh me-nit dengan memacu sepeda motor, menyusuri jalan desa se-lebar dua meter yang menembus sejumlah dusun dan kebun lada.
Bagi warga Temajuk, Melano yang masuk wilayah Malaysia ini bagaikan kampung sendiri. Secara ekonomi, war-ga- kedua kampung juga saling bergantung. Beras, gula, dan rokok bisa didapat dengan murah di Temajuk. Adapun gas dan perlengkapan elektronik lebih gampang dibeli di Melano. War-ga Temajuk juga menjual hasil kebun dan ikan ke Melano. Mereka enggan pergi ke Paloh karena jaraknya amat jauh, sekitar 45 kilometer. Jalan menuju kota sekali-gus nama kecamatan itu juga buruk sekali.
Ingin tahu suasana di Melano, Tempo akhirnya memenuhi ajakan Toyib. Dengan menumpang ojek, kami ”melawat ke luar negeri”. Gerbang perbatasan dilewati begitu mudah ka-rena memang tak dijaga. Kampung Melano dihuni sekitar 47 keluarga. Di sana kami mampir dan mengobrol di rumah Ahmad bin Pane, 50, tetua kampung. Cangkir limun jeruk dan biskuit pun tersaji. ”Saya pun suka ke Temajo (maksudnya Te-majuk),” kata Pane ramah, di ruang tamu rumah panggungnya.
Di kampung itu juga terdapat beberapa polisi Malaysia dari Pasukan Gerakan Amp (seperti Brigade Mobil Polri). Mereka sedang duduk menunggu sampan di pantai. Empat senjata M-16 dan sejumlah ransel tergeletak di kakinya. ”Kami ndak balik ke Kuching,” kata Letnan Kopral Sulaiman Yakin sembari tetap mengenakan kacamata Rayban. Dia hendak pulang ke markasnya karena tugasnya di perbatasan selesai.
Seperti halnya Temajuk, kampung Melano juga memiliki sekolah dasar. Bedanya, Sekolah Kebangsaan Teluk Melano dilengkapi asrama. Gedungnya- bertingkat empat dan dilengkapi perpustakaan serta Internet. ”Budak-budak (maksudnya siswa-siswa) tak ade. Mase libur lah,” kata J. Chiros, 41 tahun, guru agama sekolah tersebut.
Ketika kami kembali dari Melano,- hari sudah petang. Warga Temajuk- mu-lai menyalakan lampu-lampu- lis-trik te-naga surya. Sebagian lainnya- masih meng-gunakan lampu minyak.- Walaupun- hidup pas-pasan, orang Temajuk merasa- tente-ram. ”Di Me-la-no,- orangnya tak peduli. Di sini le-bih- akrab,” kata Mohamad Fatah, 54,- seorang tokoh Temajuk. Ketika rom-bong-an dari Armada Barat tiba di Temajuk, warga berkerumun dan menyambut dengan sajian kelapa muda.
Temajuk boleh dibilang kampung baru. Dulu daerah ini hutan belantara. Pada 1981, 15 keluar-ga sengaja didatangkan ke- sana lewat program ABRI Masuk Desa. Kini ada 400 keluar-ga- tersebar di dua dusun, total penduduknya mencapai 1.600 jiwa.
Warga hidup dari bertanam lada. Hasil melaut cuma untuk kebutuhan sehari-hari. Tak ada pasar di sana. Padahal- kerapu, berbagai ikan karang, dan lobster melimpah di Go-song Niger. Mereka hanya menjual hasil laut saat musim ubur-ubur tiba, biasanya pada bulan Maret. Para tauke da-ri Sera-wak selalu siap membelinya, bahkan dengan pembayaran di muka.
Menurut seorang tokoh desa, nama Temajuk konon singkatan dari ”tempat masuknya jalur komunis”. Pada 1960-an gerilyawan komunis memang sempat bersembunyi di daerah tersebut karena lokasinya yang sulit dijangkau.
Sampai kini pun Temajuk masih terisolasi. Dari Pontianak, orang harus naik bus selama lima jam ke Sambas, lantas melanjutkan dengan perjalanan ke Paloh selama kira-kira empat jam dengan oplet. Dari sana, orang bisa naik ojek disambung dengan berjalan menyusuri pantai selama 3-4 jam. Cara yang lebih gampang adalah naik perahu dari Paloh. Hanya, saat ombak besar, agak susah mencari sampan yang berani merapat ke Temajuk.
Karena terpencil, Temajuk kurang bisa berkembang. -Umumnya warga miskin. ”Pendapatan keluarga tak lebih da-ri Rp 400 ribu per bulan,” kata Asman, Sekretaris Desa Temajuk. Sebagian warga hidup dari pembagian beras miskin.
Pada malam hari, warga Temajuk biasa menghabiskan waktunya dengan menonton televisi di rumah atau di warung. Tapi kali ini pesta kecil-kecilan digelar. Dua kambing yang sengaja dibeli Komandan KRI Teluk Sabang, Mayor Pelaut Jaya Dharmawan, dibakar dan disantap bersama.
Tua-muda, laki-laki dan wanita pun tumplek blek di la-pang-an kecil di pinggir pantai karang Temajuk yang sedang pa-sang. Gadis-gadis cilik berlenggok menari zapin, tarian khas Melayu, diiringi rebana dan ketipung. Keme-riahan itu baru surut lewat tengah malam.
Arief Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo