Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI tengah ruparupa bencana alam dan aksi demo di Tanah Air, ada kabar gembira dari Washington, DC, Amerika Serikat. Robert Wexler, anggota parlemen Amerika Serikat dari Partai Demokrat, menominasikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai kandidat penerima Nobel Perdamaian 2006.
Sang Presiden dinilai berhasil mencapai kesepakatan damai yang ditandatangani pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, pada 15 Agustus tahun lalu. Wexler menganggap upaya Yudhoyono meredam konflik di Aceh Nanggroe Darussalam sebagai keberhasilan bersejarah. ”Ini meyakinkan saya menominasikan Presiden Yudhoyono,” katanya kepada koresponden Tempo di Amerika Serikat, Karaniya Dharmasaputra, Kamis pekan lalu.
Wexler bukan anggota Kongres ”biasa”. Pria 45 tahun ini anggota senior Komisi Hubungan Internasional di House of Representative, dan salah satu Ketua Kaukus Indonesia di Kongres. Sudah dua kali ia memberi tahu Yudhoyono akan dinominasikan ke Komisi Nobel Norwegia, juri penghargaan karya Alfred Nobel dari Swedia sejak 1896 itu.
Dia bertemu pertama kali dengan SBY di Washington, empat bulan sebelum pertemuan di Jakarta, Agustus tahun lalu. Wexler sangat terkesan akan kepemimpinan Yudhoyono, yang teruji mendamaikan Aceh di tengah negerinya tergulung malapetaka dahsyat tsunami.
Wexler menganggap komitmen dan kepemimpinan Yudhoyono mereformasi demokrasi sangat kuat. Penyelesaian Aceh, kata dia, sama pentingnya dengan penuntasan konflik IsraelPalestina.
Kabar ini menjadi pembicaraan ringan di Istana Negara. Juru bicara kepresidenan, Andi Alvian Mallarangeng, mengatakan Presiden Yudhoyono menyambut gembira ”kado berharga” buat kinerja pemerintah itu. ”Kalau menang, Nobel itu bukan untuk Presiden semata, melainkan buat rakyat Indonesia,” katanya kepada Tempo.
Ada atau tidaknya penghargaan Nobel, menurut Andi, Presiden tetap wajib menciptakan perdamaian di Aceh dan seluruh negeri ini. Yudhoyono tidak pernah terpikir mengerjakan tugas untuk memperoleh imbalan, baik berupa penghargaan maupun untuk kepentingan politik si pengusul, seperti Wexler dan Amerika.
Di tengah kegembiraan itu, pengamat politik internasional Riza Sihbudi menganggap nominasi ini belum tepat waktu. Masih banyak konflik di daerah yang belum terselesaikan, semisal di Poso, Papua Barat, atau di bekas Timor Timur. Nominasi ini, menurut dia, juga tetap perlu diwaspadai. ”Pemerintah bisa tidak kritis mengeluarkan kebijakan terhadap Amerika,” katanya kepada Tempo.
Menanggapi itu, Wexler tetap menganggap nominasi itu penting. Nominasi Nobel menuntut dunia maupun negara seperti Amerika harus mengakui keutuhan wilayah Indonesia. ”Itu prasyarat nomor satu,” katanya. Bermodalkan itu, dia percaya, Yudhoyono akan membawa semangat kompromi dan menghormati hak asasi manusia dalam menyelesaikan konflik di daerah.
Belakangan, Wexler malah kian bersemangat. Dia mendapat dukungan Uskup Ximennes Belo, peraih Nobel Perdamaian 1996. Dukungan itu meyakinkan bahwa mantan Komandan Batalion Infanteri Satya Yudha Bhakti di Timor Timur itu bersih dari konflik di Timor Timur. ”Ini menambah bobot nominasi saya,” kata Wexler.
Eduardus Karel Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo