HUJAN baru saja membasahi Kampung Cigugur, Desa Cigugur, di Kabupaten Kuningan, Ja-Bar, menjelang maghrib 20 Januari. Anak-anak berhamburan ke jalan-jalan mulus yang tampak resik. Di antaranya beberapa anak wanita memakai kain batik berkudung, mengepit buku, menuju sebuah masjid kecil yang bersebelahan dengan gereja. Suasana demikian, di kampung yang terkenal sebagai pusat aliran kepercayaan Madraisme itu, sepintas lalu mengherankan. Tapi Cigugur adalah contoh sebuah desa yang penduduknya secara khas mengalami perubahan-perubahan orientasi keagamaan. Madrais (1833-1939), pangeran dari kerajaan kecil Gebang-Losari, Cirebon, dulunya seorang pemimpin pesantren dan berpengaruh di sini. Lalu berubah menjadi seorang pembina aliran yang dikenal sebagai Agama (D)jawa-Sunda (ADS) -- 1921. Orang pun berbondong-bondong mengikut dia. Tahun 1964 ADS dilarang. Dan P. Tedjakusuma, putra Madrais yang menggantikannya sebagai pimpinan, memimpin orang banyak masuk Katolik -- yang waktu itu baru menumbuhkan benih di situ -- meskipun ada juga yang ke Protestan. Tapi Juli 1981 P. Djatikusumah, putra Tedjakusuma yang juga ikut masuk Katolik, mendirikan aliran PACK (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang). Pengikutnya makin banyak, terutama bekas pengikut Madrais yang sudah Katolik. Maret 1982 Djatikusumah keluar dari Katolik. Orang pun berbondong-bondong keluar. Dan Agustus uhun itu juga Kejaksaan Tinggi Jawa Barat melarang aliran Djatikusumah yang dianggap penerusan Madraisme itu (TEMPO, 25 September 1982). Memang, di desa itu tidak hanya ada Katolik dan pengikut PACKU. Ada juga dua masjid, 24 langgar dan satu gereja Protestan. Namun dua bangunan terhitung paling menonjol. Pertama kraton kecil Djatikusumah, disebut Paseban Tri Panca Tunggal, yang diresmikan sebagai cagar budaya oleh pihak P&K. Di sini berpusat segala upacara adat dan 'kepercayaan' serta kegiatan seni daerah. Dan kedua gereja Katolik, yang baru selesai dibangun 1981. (Sebelumnya kebaktian mengambil tempat di kediaman Djatikusumah). Keunikan akibat percampuran -- dan perbenturan -- beberapa keyakinan keagamaan itu terlihat di sini. Setiap habis maghrib, dalam pengajian anak-anak di masjid, yang ikut ternyata bukan hanya anak-anak yang orangtuanya muslim. Tapi juga yang Katolik, Protestan, bahkan yang mengaku tidak memeluk agama. Bandi H.S. (28 tahun), guru agama Islam di SMP Tri Mulya -- sebuah sekolah yang didirikan yayasan pimpinan Djatikusumah -- mengajar ngaji anak-anak dari keluarga nonmuslim itu. Sarjana muda itu punya murid sekitar 30 orang dari tingkatan SD sampai SMP. "Tampaknya orangtua mereka mendorong," katanya. Di madrasah tsanawiyah, yang berdiri di sini sejak setahun lalu dan punya murid 500 orang, yang belajar juga tidak semuanya muslim. Markus, 39 tahun, pesuruh di sekolah itu, malah baru memeluk Islam 13 Januari kemarin. Ayah tiga anak itu semula Katolik. Anaknya yang sulung sebelum masuk Islam sudah menjadi siswa tsanawiyah. Lalu P. Djatikusumah, 51 tahun, tiba-tiba datang ke rumah KH E.Z. Muttaien di Bandung. Kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia itu bekas pimpinan PACKU tersebut minta kesediaannya memberikan ceramah Maulid Nabi di Cigugur. Djati juga mengatakan, sekarang para pengikut itu sudah banyak yang masuk Islam. "Mereka minta ada seorang pimpinan yang bisa membimbing," ujarnya. "Pak Djatilah yang jadi pimpinan," jawab Muttaqien. Djatikusumah mengelak: "Saya belum siap untuk itu." Dan 12 Januari malam, ceramah Maulid itu pun berlangsung. Sekitar 1.500 orang hadir. Djatikusumah memberi sambutan, antara lain berisi gambaran keadaan Kampung Cigugur. Tentang ceramah Muttaqien, cucu Madrais itu bilang: "Bagus, lurus, jernih, tidak menyinggung suatu golongan." Lalu katanya: "Saya merasa malu karena mauludan yang direncanakan bertempat di Cagar Budaya malah jadinya di kantor Kemantren. Karena itu saya minta maaf." Pihak Bakopinda (Badan Koordinasi Pimpinan Daerah) Kuningan sebenarnya sudah mengizinkan mauludan di tempat kediaman Djatikusumah itu. Tapi pukul 18.00 tiba-tiba ada surat pembatalan -- dan agar mauludan berlangsung di Kemantren Cigugur. "Saya tidak pernah diberitahu apa alasan perubahan mendadak itu," ujar Djatikusumah. Cagar Budaya sendiri kini sepi-sepi saja. Ruangan itu masih penuh benda berukir seperti singgasana, kursi-kursi tamu dan tiang-tiang model antik. Tapi di sini tidak boleh ada lagi kegiatan apa pun yang berhubungan dengan aliran PACKU -- termasuk upacara Seren Tahun yang diselenggarakan setahun sekali selesai musim panen. Taufiq Hamdani, 53 tahun, perira menengah pensiunan dan bekas komandan Operasi Kalong (operasi terhadap eks Gestapu/PKI), yang kini tinggal bertetangga dengan Djatikusumah bilang: "Sebenarnya bila mauludan dilangsungkan di Cagar Budaya, mungkin akan terjadi suatu kejutan." Apa? Hamdani tidak menjelaskan secara tegas. Hanya ia memang diajak bicara oleh Djatikusumah dalam persiapan acara itu. "Saya tidak menuduh siapa-siapa," katanya. Tapi menurut Hidayat, Ketua MUI Kuningan, dipindahkannya tempat peringatan maulud itu ada hubungannya dengan larangan kegiatan PACKU. "Khawatir nanti timbul tuduhan, PACKU sudah dilarang kok masih ada kegiatan." "Madrais itu sebenarnya berasal dari Muhammad Rais." Ini ujar Djatikusumah kepada Muttaqien. Menurut Muttaqien sediri, pertentangan dalam lingkungannyalah -- diduga karena masalah kepemimpinan -- yang menyebabkan Madrais dulu berubah. "Waktu Madraisme dibubarkan, sebenarnya mereka sudah dekat kepada Islam. Tapi karena konfrontasi dari umat Islam akhirnya terjadi perpisahan." Djatikusumah sendiri ternyata sangat banyak mengenal ajaran Islam. Dalam suatu diskusi dengan Drs. H.S.M. Lesmana, Ketua I MUI Kuningan, yang terakhir itu berkata: "Kalau begitu untuk masuk Isiam Pak Djati tinggal menunggu hidayah saja. Pengetahuan Islam Pak Djati lebih mendalam dari saya." Tentang sikap umat Islam, Djatikusumah ada bertutur. Pernah ia merencanakan membangun masjid di halaman Cagar Budaya. "Gambarnya saya buat sendiri, dan biaya sudah tersedia. Eh, yang melarang malah pihak umat Islam sendiri," ujarnya. Ini terjadi akhir 1979. Tapi Hidayat mengakui, ia sendiri merasa keberatan. "Kecuali kalau Pak Djati masuk Islam dulu," katanya. Dan sekarang ini, kepada TEMPO ia juga membantah telah masuk Islam. "Ini memang tuduhan yang lumrah: bila seseorang dekat suatu golongan, dituduh sudah menjadi anggota golongan itu," ujarnya di depan beberapa pengikutnya. Tapi ia mengakui "membuka pintu lebar-lebar". Juga menuturkan, dua dari tiga anaknya yang sudah dewasa sekarang menjadi muslim. "Saya minta dikirimi buku-buku tentang Islam, terutama Al Quran terjemahan bahasa Sunda," katanya. PENDUDUK Cigugur akhir 1982 tercatat 8.424 jiwa. Agama mereka: 5. 203 Islam, 3.146 Katolik dan 75 Protestan. Menurut Hamdani, setiap bulan di Cigugur ada saja yang menyatakan masuk Islam. Teman-teman Markus sebanyak 25 orang siap pula mengikuti jejaknya. Di KUA Kuningan tercatat sekitar 500 orang pemeluk Islam baru, sejak 1981, dari eks-Madrais yang pernah di Katolik. Nursaleh, 62 tahun, seorang Katolik yang mengaku menjadi tangan kanan pastor, menyadari adanya perpindahan agama itu. "Ini harus dijadikan koreksi ke dalam. Jangan-jangan pihak kita memang punya kelemahan," ujar ayah 12 anak dan kakek tiga cucu itu. Sesudah ADS dibubarkan, ia termasuk orang pertama yang memeluk Katolik. Pedagang keliling yang mengaku anak orang Islam itu menyatakan: "Saya sendiri tidak akan masuk Islam." Menurut dia, diperbolehkannya suami istri bercerai di dalam Islam merupakan penderitaan baginya. "Ibu saya diceraikan waktu saya masih dalam kandungan, sehingga saya dan Ibu sangat menderita. Saya masuk Agama Jawa Sunda (ADS) karena di sana tidak boleh bercerai. Dan ketika Madrais dibubarkan, Katolik juga ternyata tidak memperbolehkan bercerai. Jadi saya jadi Katolik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini