Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Di antara bunyi bel dan suara juri lomba bidang studi

Lomba bidang studi SD seluruh Indonesia, hasil nilai tertinggi belum memuaskan, para juara kebanyakan datang dari kota kecil.(pdk)

29 Januari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESEMBILAN murid akhir itu berdiri di depan. Masing-masing dipisahkan papan di kanan dan kiri. Di tiap ruang yang terbentuk oleh papan itu tersedia kertas untuk menjawab soal. Di samping kiri, terpasang kertas soal. Tentu saja ada pula supidol, untuk menuliskan jawaban. Tiga juri duduk di depan. Anak-anak itu, selain bisa membaca sendiri soalnya juga bisa mendengarkan salah seorang anggota juri yang membacakannya lewat pengeras suara. Bila "tet" bel berbunyi, supidol harus segera ditaruh lagi. Seorang panitia akan maju ke depan, membacakan satu per satu jawaban kesembilan anak itu. Dan tiap kali jawaban selesai dibaca, anggota juri yang tadi membaca soal lalu memberi penilaian langsung: nol kalau salah, lima kalau betul. Sementara itu seorang pencatat nilai di samping kiri ruang di Lantai II Pusat Pengembangan Kesenian DKI, Kuningan itu lalu menuliskan nilai-nilai tersebut dalam kolom yang sudah disediakan. Suasana tegang tapi asyik. Mula-mula senyap, lalu suara anggota juri yang membaca soal, lalu bunyi bel. Dan kemudian suara pembaca jawaban. Lalu penilaian juri. Lantas tepuk tangan penonton sekitar 150 orang, bila seseorang memperoleh angka lima. Tepuk tangan itulah yang membuat para siswa, guru, orangtua murid, juri dan panitia rupanya bertahan dari kantuk hingga sekitar pukul 24.00, Rabu pekan lalu. Inilah final Lomba Bidang Studi (LBS) SD tingkat nasional, berlangsung 18-19 Januari di kompleks Gedung Wanita Nyi Ageng Serang, Kuningan, Jakarta Lomba ini praktis melibatkan hampil semua SD di Indonesia, negeri maupur swasta. Dimulai dengan LBS di tingkat kecamatan, kabupaten dan kemudian tingkat provinsi. September tahun lalu, yang hadir di Gedung Wanita Nyi Ageng Serang, Jakarta, adalah para juara tingkat provinsi. Masing-masing didampingi seorang guru. Tahun lalu (tahun ajaran 1981/1982) sebenarnya LBS pun telah diadakan. Tapi karena terbatasnya anggaran lomba langsung dimulai di tingkat nasional dan hanya melibatkan enam provinsi (Lampung, DKI Jakarta, Ja-Bar, Ja-Teng, Daerah Istimewa Yogyakarta, Ja-Tim). LBS ini, dengan biaya lebih dari Rp 100 juta, memang bukan sekadar parade. Ada niat lain: memonitor hasil belajar-mengajar di SD. Bidang yang dimonitor adalah bidang studi ilmu pengetahuan sosial (IPS), Pendidikan Moral Pancasila (PMP), Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Juga mengarang, ketrampilan dan seni, baik lukis, patung maupun musik. Selain itu, tentu saja LBS diharapkan bisa "merangsang guru, murid dan orang tua murid dalam meningkatkan semangat belajar anak-anak," seperti dikatakan Achmad Ali, Direktur Pendidikan Dasar yang mengomando seluruh kegiatan ini. Khusus untuk tiga bidang studi (IPS, matematika, dan IPA). Lomba diberikan dalam tiga acara. "Kami mau mengukur kemampuan siswa secara menyeluruh dan adil," kata Sudjarno, Ketua Panitia LBS. Yang pertama adalah lomba tertulis. Ini memberi kesempatan siswa yang jago berpikir dalam suasana tenang, yang pandai bersiasat menyelesaikan semua soal tepat pada waktunya. Kemudian ada lomba cepat-tepat, yang membuka peluang bagi siswa yang cepat berpikir dan mengambil keputusan, dan langkas pula mengambil kesempatan. Dalam lomba cara kedua itu soal diberikan secara lisan -- dibacakan panitia Peserta pun menjawabnya secara lisan Bila yang mendapat giliran salah menjawab, kesempatan diberikan kepada peserta lain, urut menurut yang terlebih dahulu mengajukan diri. Jangan coba-coba menjawab ngawur. Jawaban salah bukan hanya mendapat nilai nol, tapi minus 10. Cara ketiga, cerdas-cermat, merupakan gabungan tertulis dan cepat-tepat. Soal bisa dibaca sendiri. Sementara panitia pun membacakannya. Jawaban diberikan secara tertulis. Tapi tidak seperti lomba tertulis, soal cerdas-cermat diberikan urut nomor dan tak lagi bisa diulang. Selesai satu nomor, jawaban diperiksa dan langsung diberi nilai. Untuk satu soal, peserta diberi kesempatan berpikir 45 detik. Menurut beberapa guru yang mendampingi anak didiknya, dari soal di bidang studi memang cukup bisa dimonitor pengetahuan dan kecerdasan siswa. Soal-soal dalam final bidang studi IPS misalnya, menurut Sarwoko, guru sebuah SD di Yogyakarta, selain mengungkap pelajaran IPS di sekolah, pun mengungkap pengetahuan umum siswa yang diperoleh dari surat kabar atau televisi misalnya: dari masalah pembangunan hingga hal peluncuran pesawat angkasa luar Columbia. Agaknya memang ada kesengajaan untuk tidak saja memonitor pelajaran di kelas. Soal-soal IPA misalnya, menurut Sumarmo dari SD Remaja Parakan, Temanggung, Jawa Tengah -- juara I IPA -- paling tidak ada dua soal yang belum pernah diajarkan kepadanya. "Tapi bila murid-murid itu juga membaca paket-paket buku yang disebarkan, tentu dia akan tahu jawabnya," kata Sudjarno, Ketua Panitia itu. Toh, bila dilihat dari nilai pada babak final, 18 Januari malam, hasil pendidikan sekolah memang tidak nampak cemerlang. Nilai tertinggi IPS misalnya, hanya 50 -- separuh dari nilai yang disediakan. Untuk IPA lebih turun lagi: nilai tertinggi final hanya 40. Yang menggembirakan ialah nilai untuk matematika. Sementara pelajaran ini beberapa waktu yang lalu dimasalahkan tepat tidaknya untuk siswa SD Indonesia. Meita Krisanti juara NTB meraih angka 80. Ia memang tidak meraih juara pertama, karena penentuan juara dilihat dari jumlah nilai dari lomba tertulis sampai nilai final (lihat Dari Sawahlunto sampai Ambon). "Soal-soal memang sengaja kami perberat," tutur Sudjarno, yang sehari-hari menjabat Kepala Sub Pembinaan Taman Kanak-kanak Direktorat Pendidikan Dasar. Itulah sebabnya ia berani mengatakan bahwa LBS ini lebih berat daripada ASEAN Quiz Bee yang tiap tahun diselenggarakan di Manila, Filipina. LBS memang juga bermaksud memilih wakil-wakil Indonesia untuk ASEAN Quiz Bee itu tahun ini -- yang belum ada kabar kapan diselenggarakannya. Juara-juara pertama ketiga bidang itu nanti yang akan mewakili nama Indonesia. Tahun 1981 Indonesia berhasil meraih juara pertama bidang studi matematika. Untuk mengarang, ketrampilan dan kesenian memang belum ada lomba ASEAN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus