KESEMBILAN murid akhir itu berdiri di depan. Masing-masing
dipisahkan papan di kanan dan kiri. Di tiap ruang yang terbentuk
oleh papan itu tersedia kertas untuk menjawab soal. Di samping
kiri, terpasang kertas soal. Tentu saja ada pula supidol, untuk
menuliskan jawaban.
Tiga juri duduk di depan. Anak-anak itu, selain bisa membaca
sendiri soalnya juga bisa mendengarkan salah seorang anggota
juri yang membacakannya lewat pengeras suara.
Bila "tet" bel berbunyi, supidol harus segera ditaruh lagi.
Seorang panitia akan maju ke depan, membacakan satu per satu
jawaban kesembilan anak itu. Dan tiap kali jawaban selesai
dibaca, anggota juri yang tadi membaca soal lalu memberi
penilaian langsung: nol kalau salah, lima kalau betul.
Sementara itu seorang pencatat nilai di samping kiri ruang di
Lantai II Pusat Pengembangan Kesenian DKI, Kuningan itu lalu
menuliskan nilai-nilai tersebut dalam kolom yang sudah
disediakan.
Suasana tegang tapi asyik. Mula-mula senyap, lalu suara anggota
juri yang membaca soal, lalu bunyi bel. Dan kemudian suara
pembaca jawaban. Lalu penilaian juri. Lantas tepuk tangan
penonton sekitar 150 orang, bila seseorang memperoleh angka
lima.
Tepuk tangan itulah yang membuat para siswa, guru, orangtua
murid, juri dan panitia rupanya bertahan dari kantuk hingga
sekitar pukul 24.00, Rabu pekan lalu.
Inilah final Lomba Bidang Studi (LBS) SD tingkat nasional,
berlangsung 18-19 Januari di kompleks Gedung Wanita Nyi Ageng
Serang, Kuningan, Jakarta Lomba ini praktis melibatkan hampil
semua SD di Indonesia, negeri maupur swasta.
Dimulai dengan LBS di tingkat kecamatan, kabupaten dan kemudian
tingkat provinsi. September tahun lalu, yang hadir di Gedung
Wanita Nyi Ageng Serang, Jakarta, adalah para juara tingkat
provinsi. Masing-masing didampingi seorang guru.
Tahun lalu (tahun ajaran 1981/1982) sebenarnya LBS pun telah
diadakan. Tapi karena terbatasnya anggaran lomba langsung
dimulai di tingkat nasional dan hanya melibatkan enam provinsi
(Lampung, DKI Jakarta, Ja-Bar, Ja-Teng, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Ja-Tim).
LBS ini, dengan biaya lebih dari Rp 100 juta, memang bukan
sekadar parade. Ada niat lain: memonitor hasil belajar-mengajar
di SD. Bidang yang dimonitor adalah bidang studi ilmu
pengetahuan sosial (IPS), Pendidikan Moral Pancasila (PMP),
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Juga mengarang,
ketrampilan dan seni, baik lukis, patung maupun musik.
Selain itu, tentu saja LBS diharapkan bisa "merangsang guru,
murid dan orang tua murid dalam meningkatkan semangat belajar
anak-anak," seperti dikatakan Achmad Ali, Direktur Pendidikan
Dasar yang mengomando seluruh kegiatan ini.
Khusus untuk tiga bidang studi (IPS, matematika, dan IPA). Lomba
diberikan dalam tiga acara. "Kami mau mengukur kemampuan siswa
secara menyeluruh dan adil," kata Sudjarno, Ketua Panitia LBS.
Yang pertama adalah lomba tertulis. Ini memberi kesempatan siswa
yang jago berpikir dalam suasana tenang, yang pandai bersiasat
menyelesaikan semua soal tepat pada waktunya. Kemudian ada lomba
cepat-tepat, yang membuka peluang bagi siswa yang cepat berpikir
dan mengambil keputusan, dan langkas pula mengambil kesempatan.
Dalam lomba cara kedua itu soal diberikan secara lisan --
dibacakan panitia Peserta pun menjawabnya secara lisan Bila yang
mendapat giliran salah menjawab, kesempatan diberikan kepada
peserta lain, urut menurut yang terlebih dahulu mengajukan diri.
Jangan coba-coba menjawab ngawur. Jawaban salah bukan hanya
mendapat nilai nol, tapi minus 10.
Cara ketiga, cerdas-cermat, merupakan gabungan tertulis dan
cepat-tepat. Soal bisa dibaca sendiri. Sementara panitia pun
membacakannya. Jawaban diberikan secara tertulis. Tapi tidak
seperti lomba tertulis, soal cerdas-cermat diberikan urut nomor
dan tak lagi bisa diulang. Selesai satu nomor, jawaban diperiksa
dan langsung diberi nilai. Untuk satu soal, peserta diberi
kesempatan berpikir 45 detik.
Menurut beberapa guru yang mendampingi anak didiknya, dari soal
di bidang studi memang cukup bisa dimonitor pengetahuan dan
kecerdasan siswa. Soal-soal dalam final bidang studi IPS
misalnya, menurut Sarwoko, guru sebuah SD di Yogyakarta, selain
mengungkap pelajaran IPS di sekolah, pun mengungkap pengetahuan
umum siswa yang diperoleh dari surat kabar atau televisi
misalnya: dari masalah pembangunan hingga hal peluncuran pesawat
angkasa luar Columbia.
Agaknya memang ada kesengajaan untuk tidak saja memonitor
pelajaran di kelas. Soal-soal IPA misalnya, menurut Sumarmo dari
SD Remaja Parakan, Temanggung, Jawa Tengah -- juara I IPA --
paling tidak ada dua soal yang belum pernah diajarkan kepadanya.
"Tapi bila murid-murid itu juga membaca paket-paket buku yang
disebarkan, tentu dia akan tahu jawabnya," kata Sudjarno, Ketua
Panitia itu.
Toh, bila dilihat dari nilai pada babak final, 18 Januari malam,
hasil pendidikan sekolah memang tidak nampak cemerlang. Nilai
tertinggi IPS misalnya, hanya 50 -- separuh dari nilai yang
disediakan. Untuk IPA lebih turun lagi: nilai tertinggi final
hanya 40.
Yang menggembirakan ialah nilai untuk matematika. Sementara
pelajaran ini beberapa waktu yang lalu dimasalahkan tepat
tidaknya untuk siswa SD Indonesia. Meita Krisanti juara NTB
meraih angka 80. Ia memang tidak meraih juara pertama, karena
penentuan juara dilihat dari jumlah nilai dari lomba tertulis
sampai nilai final (lihat Dari Sawahlunto sampai Ambon).
"Soal-soal memang sengaja kami perberat," tutur Sudjarno, yang
sehari-hari menjabat Kepala Sub Pembinaan Taman Kanak-kanak
Direktorat Pendidikan Dasar. Itulah sebabnya ia berani
mengatakan bahwa LBS ini lebih berat daripada ASEAN Quiz Bee
yang tiap tahun diselenggarakan di Manila, Filipina.
LBS memang juga bermaksud memilih wakil-wakil Indonesia untuk
ASEAN Quiz Bee itu tahun ini -- yang belum ada kabar kapan
diselenggarakannya. Juara-juara pertama ketiga bidang itu nanti
yang akan mewakili nama Indonesia. Tahun 1981 Indonesia berhasil
meraih juara pertama bidang studi matematika.
Untuk mengarang, ketrampilan dan kesenian memang belum ada lomba
ASEAN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini