Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kasus pelanggaran hukum di sektor kehutanan terus marak terjadi. Berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, selama tiga tahun terakhir terdapat 575 kasus. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Rasio Ridho Sani, mengatakan ada banyak kendala dalam pencegahan perusakan hutan. Salah satunya adalah ringannya sanksi bagi para pelaku pencurian kayu atau illegal logging.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Cuma yang dihukum 1-2 tahun saja," kata Ridho saat menjadi narasumber dalam diskusi mengenai sengkarut sistem legalitas kayu hutan Papua, di Hotel Morrisey, Jakarta Pusat, Senin lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Desember tahun lalu, Tempo menerbitkan laporan investigasi berjudul "Mesin Cuci Kayu Ilegal". Laporan itu mengungkap modus-modus pembalakan liar yang dilakukan perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan (HPH), izin pemanfaatan kayu, hingga industri primer dan lanjutan di tanah Papua.
Papua adalah pulau yang memiliki hutan terluas di Indonesia. Pada 2005-2009, luas hutan di Papua, meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat, mencapai 42 juta hektare, tapi maraknya illegal logging menyebabkan luasan hutan berkurang dengan cepat. Pada 2015, luas hutan di sana tinggal sekitar 38 juta hektare. Luas hutan itu terus menurun hingga sekarang.
Menurut Ridho, Papua memang salah satu daerah yang marak terjadi pelanggaran hukum di sektor kehutanan. Kementerian mencatat 24 kasus telah terjadi di sana. Dari jumlah tersebut, 19 kasus telah dinyatakan inkracht. Kasus terbaru adalah penangkapan 57 kontainer kayu ilegal senilai Rp 16,5 miliar dari Papua pada 7 Januari lalu.
Muhamad Kosar dari Jaringan Pemantau Independen Kehutanan mengatakan para pelaku illegal logging kerap melakukan pencucian kayu ilegal. Karena itu, mesti ada perbaikan dalam sistem pengawasan kayu hasil hutan. "Saat ini sistem pelaporan hanya berfokus merekam kayu bulat dari hutan alam, bukan kayu setengah olahan yang biasanya berbentuk kubik. Ini yang bikin tidak bisa terekam oleh sistem," kata Kosar. Ia berharap perekaman juga dilakukan terhadap kayu setengah olahan.
Tumpang-tindih regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga menjadi salah satu penyebab maraknya pelanggaran hukum kehutanan di Papua. Juru Komunikasi Lembaga Kajian dan Advokasi Lingkungan Auriga Nusantara, Syahrul Fitra, mengatakan sampai sekarang pemerintah pusat belum pernah menerbitkan hutan adat untuk masyarakat adat Papua. Sebaliknya, lahan konsesi justru diobral ke perusahaan pemegang HPH dengan luasan mencapai 5,5 juta hektare.
"Padahal pemerintah Papua telah menerbitkan 18 izin (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk Masyarakat Hukum Adat) untuk masyarakat adat dengan luas 78 ribu hektare, tapi tak pernah diakui," ucap dia. Pemberian hak pengelolaan kepada pemilik hak ulayat diyakini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tapi juga sekaligus mendorong masyarakat adat untuk ikut menjaga hutan.
Hal senada diungkapkan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua, Jhon Gobay. Menurut dia, masyarakat lokal tidak bisa mengambil manfaat dari hutan mereka lantaran terhambat izin yang tak diberikan Kementerian. "Masyarakat Papua seakan tak dianggap, malah kerap dituduh menjual kayu dari hutan adat," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif mengatakan lembaganya siap memfasilitasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menuntaskan persoalan tumpang-tindih regulasi kehutanan di Papua. "Ini penting dilakukan untuk memperbaiki sistem tata kelola kayu di tanah Papua," ujarnya.
Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang tengah menjadi perhatian KPK. Komisi antirasuah itu juga telah membentuk tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan Korupsi Sumber Daya Alam. Dalam waktu dekat, mereka bakal melakukan post audit atau penilikan khusus terhadap semua perusahaan pengelolaan kayu di Papua.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DIAS PRASONGKO | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo