Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini Universitas Gadjah Mada alias UGM genap berusia 74 tahun. Salah satu universitas ternama di Indonesia didirikan di Bulaksumur, Yogyakarta pada 19 Desember 1949. Sri Sultan Hamengkubuwono IX disebut berperan mendirikan perguruan tinggi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas bagaimana sejarah berdirinya Universitas Gadjah Mada atau UGM ini serta apa peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah UGM
Awal berdirinya UGM tercatat dalam Sejarah Balai Perguruan Tinggi laporan Dies pada 1974. Tulisan itu bertajuk “Siapakah mula-mula yang mempunyai pikiran untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada?”. Menurut laporan tersebut, cikal bakal UGM bermula pada pertemuan pada 24 Januari 1946 di Gedung S.M.T. Kotabaru, Yogyakarta.
Persamuhan itu ditaja oleh sejumlah cerdik pandai untuk mendiskusikan kemungkinan mendirikan balai perguruan tinggi swasta. Mereka adalah Boediarto selaku promotor sekaligus ketua pertemuan, Marsito, Prof. Dr. Prijono, Soenardjo, Dr. Soeleiman, Dr. Boentaran, Dr. Soeharto, B.P.H. Bintoro, Prof. H. Farid Ma’ruf, Mangunjudo, K.P.H. Nototaruno, dan Prof. Ir. Rooseno.
Setelah persiapan selesai, pada 3 Maret 1946 diadakan pertemuan resmi di Gedung K.N.I. Malioboro Yogyakarta. Pertemuan itu untuk mengumumkan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dengan dua fakultas, yakni fakultas hukum dan fakultas kesusastraan. Ini adalah kampus kedua setelah Sekolah Tinggi Teknik atau STT Yogyakarta yang didirikan pada 17 Februari 1946.
Sebagai catatan, STT Yogyakarta merupakan usaha penghidupan kembali Sekolah Tinggi Teknik Bandung, yang terpaksa ditutup karena suasana perang antara Indonesia dan tentara sekutu. STT Yogyakarta ini dipimpin oleh Prof. Ir. Rooseno dan Prof. Ir. Wreksodhiningrat. Oleh karenanya, mahasiswa Fakultas Teknik STT Bandung dapat melanjutkan pendidikannya dan menempuh ujian insinyur di STT Yogyakarta.
Dalam perjalanannya, kedua perguruan tinggi ini, Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada dan STT Yogyakarta bersama Balai Pendidikan Ahli Hukum di Solo, serta Perguruan Tinggi Kedokteran Bagian Praklinis di Klaten kemudian disatukan dan jadilah Universitas Negeri Gadjah Mada. Dikutip dari laman ugm.ac.id, nama tersebut disahkan dengan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949.
Beleid tentang Peraturan Penggabungan Perguruan Tinggi menjadi Universiteit ini disahkan pada 16 Desember 1949. Kendati regulasi yang menjadi pijakan berdirinya UGM itu tertanggal 16 Desember, namun hari ulang tahun universitas ini diperingati tiap 19 Desember. Hal ini lantaran tanggal tersebut lekat dengan peristiwa bersejarah bagi Bangsa Indonesia.
Nama Gadjah Mada ternyata memiliki makna tersendiri, mengandung semangat serta teladan Mahapatih Gadjah Mada yang berhasil mempersatukan nusantara. Menurut laman resmi UGM, Tmteladan ini diterjemahkan ke dalam rumusan jati diri UGM sebagai universitas nasional, universitas perjuangan, universitas Pancasila, universitas kerakyatan dan universitas pusat kebudayaan.
Pada awal pendiriannya, Universitas Gadjah Mada memiliki enam fakultas, yaitu Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Sastra dan Filsafat, Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan. Kegiatan perkuliahan masa itu dilakukan di Sitinggil dan Pagelaran, dengan memanfaatkan ruangan-ruangan kamar dan fasilitas di lingkungan Kraton Yogyakarta.
Baru pada 1951 pembangunan fisik kampus bulaksumur dimulai, dan memasuki decade 1960-an UGM sudah memiliki berbagai fasilitas seperti rumah sakit, pemancar radio, serta sarana lain yang mendukung proses pembelajaran bagi mahasiswa dan juga untuk melayani kepentingan masyarakat. Kini, UGM memiliki 18 Fakultas, satu Sekolah Pascasarjana, serta satu Sekolah Vokasi dengan puluhan program studi.
Peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX
Pada 2012 lalu, sejarawan Djoko Suryo menyebut mendiang Sri Sultan Hamengkubuwono IX berperan besar dalam pendirian UGM. Peran itu meliputi baik secara historis, sosiologis, politik, kultural, idenasional-ideologis, faktual, material-fisikal, hingga spasial-lokasional. Hal itu Djoko sampaikan dalam diskusi memperingati Satu Abad Sri Sultan HB IX.
“Universitas Gadjah Mada tidak lepas dari jasa dan sumbangan besar Sultan Hamengku Buwono (HB) IX sebagai bapak pendiri universitas itu yang patut diteladani nilai-nilai kepemimpinannya bagi anak bangsa dan UGM,” katanya di Yogyakarta, Selasa, 11 April 2012 silam.
Menurut dia lahirnya kampus UGM tidak terlepas dari peranan Sultan HB IX sejak mulai pendirian Balai Perguruan Tinggi UGM pada 17 Februari 1946 sampai menjadi UGM pada 19 Desember 1949. Kemudian berubah menjadi Universitiet Negeri Gadjah Mada dan kembali menjadi UGM pada 1954. Kala itu, kata dia, saat dibentuknya Balai Perguruan Tinggi UGM pada 3 Maret 1946, Sultan HB IX merupakan Presiden Kurator.
“Saat diresmikannya pembentukan Balai Perguruan Tinggi UGM pada 3 Maret 1946, Sultan HB IX dan Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Kurator Balai Perguruan Tinggi UGM,” ujarnya.
Pada saat itu, kata Djoko, aktivitas perkuliahan dilaksanakan di Pagelaran Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, tetapi sempat berhenti saat terjadi Agresi Militer Belanda. Perkuliahan baru dimulai kembali setelah persetujuan Roem Royen. Menurut dia, Sultan HB IX juga ikut mendukung penggabungan sejumlah pendidikan tinggi tersebut menjadi UGM di bawah Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan.
“Penggabungan UGM itu mendapat dukungan penuh dari Sultan HB IX tidak hanya secara partisipatif, tetapi sejak awal juga ikut menggagas dan mewujudkannya. Dukungan itu tidak hanya secara institusional, tetapi juga secara aktual,” katanya.
Djoko, yang juga Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM ini mengatakan, secara nyata Sultan HB IX juga memberikan bantuan dalam penyediaan sarana dan prasarana. Beberapa di antaranya adalah menyediakan tempat perkuliahan di Siti Hinggil dan Pagelaran Keraton serta gedung lainnya di sekitar keraton. Sultan HB IX juga menyediakan tanah keraton untuk pendirian kampus UGM yang baru di wilayah Bulaksumur dan sekitarnya.