Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Indah tapi Mematikan

Setelah statusnya diturunkan jadi Siaga, Merapi mengamuk lagi. Dua orang tewas diterjang lava yang membara.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langit yang semula cerah tiba-tiba jadi tak ramah. Gelegar petir membuat kaget warga di sekitar kawasan wisata Kaliadem, Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Lalu mengamuklah Merapi, menyemburkan awan kuning, merah, dan hitam. Muntahan meluncur ke arah tenggara, menerjang Bukit Kukusan dan menyiram Kaliadem. Sebagian lagi tumpah di Kali Bebeng dan Kali Gendol.

Serangan sekitar pukul tiga sore, Rabu pekan lalu, itu menyebabkan warga di sepanjang aliran Kali Gendol kalang-kabut. Kentongan dipukul bertalu-talu, sirene tanda bahaya terus melengking. Sukamto, 46 tahun, pun terlonjak dari bangku bambunya. Warga Kelurahan Umbulharjo, Cangkringan, ini buru-buru menoleh ke utara. Kepulan asap hitam tampak menyelimuti lereng gunung. ”Merapi gawat lagi,” dia bergumam, lalu segera menyelamatkan diri. Padahal, Sukamto baru saja berkeliling desa, menyebarkan pengumuman Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana, yang menurunkan status Merapi, dari Awas menjadi Siaga.

Sekitar 1.700 penduduk yang tinggal di kawasan Kaliadem juga panik. ”Tiba-tiba langit menjadi gelap. Yang ada dalam pikiran saya cuma lari,” ujar Dedy Setiawan, seorang relawan dari Sukabumi, Jawa Barat.

Warga berlarian menuju mobil relawan yang siap mengangkut mereka menuju daerah aman. Ada pula yang memacu sepeda motornya, menghindari awan panas bersuhu sampai 400 derajat Celsius. Tidak sedikit juga yang lari sekuat tenaga sambil sesekali menoleh ke belakang.

Ketika orang-orang mengambil langkah seribu, ada yang menempuh cara lain. Warjono, penduduk Desa Kepuharjo, Cangkringan, dan Sudarwanto, seorang relawan, memilih bersembunyi di dalam bunker. Tapi tempat perlindungan yang dibangun Pemerintah Kabupaten Sleman itu hanya dirancang untuk menahan awan panas, bukan untuk lava yang masih membara. Nahas, dua hari kemudian mereka ditemukan tewas terpanggang di dalam bunker.

Awan panas dan lava telah menerjang wilayah sekitar Kali Gendol sepanjang 7 kilometer. Akibatnya, hutan seluas 10 hektare di sekitar Kaliadem berubah jadi hamparan debu putih dan hitam. Semua pohon di sana telah hangus. Bumi perkemahan di kawasan ini pun penuh pasir dan batu panas.

Setelah aktivitas Merapi menurun dalam beberapa dua pekan terakhir, tidak ada yang menduga gunung ini mengamuk lagi. Biasanya kemunculan awan panas didahului guguran lava dan gempa multifase. ”Kali ini tidak ada. Itu yang membuat kami heran,” ujar Ratdomo Purbo, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta. Dari kejauhan semburan awan panas dan lava itu tampak indah, tapi sanggup menghanguskan apa saja.

Raihul Fadjri, Heru C.N., Syaiful Amin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus