Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Aliansi Penolak Anarki

Lebih dari 19 organisasi masyarakat membentuk aliansi. Tujuannya melawan aksi kekerasan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan Islam.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kursi-kursi berjajar melingkar di sebuah kafe di Jakarta Timur, Rabu pekan lalu. Tiga puluh pemuda dari berbagai organisasi gabungan Aliansi Pemuda Indonesia Penyelamat Bangsa duduk di sana. Mata mereka tertumbuk pada komputer jinjing di atas meja. Di situ sedang diputar film dokumentasi aksi kekerasan organisasi yang mengatasnamakan Islam.

Film yang sedang diputar itu akan dibagikan gratis kepada masyarakat. Buat apa? ”Agar warga berani melawan kekerasan yang mengancam kerukunan,” kata Mohammad Guntur Romli, koordinator aliansi itu, kepada Tempo pekan lalu.

Guntur menyatakan kekerasan kelompok itu memuncak pada insiden Purwakarta, Mei lalu. Mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang biasa disapa Gus Dur, akhirnya turun panggung di tengah dialog lintas agama dan etnis, setelah muncul sejumlah anggota FPI, MMI, dan HTI. Wahid Institute Jakarta memprotes kejadian itu beberapa hari kemudian.

Di Jakarta, 19 organisasi berbasis politik, aktivis, dan profesi kemudian membentuk aliansi tadi pada 25 Mei. Motor penggeraknya adalah Garda Bangsa, Garda Kemerdekaan, Pemuda Demokrat, Aliansi Betawi Bersatu, dan puluhan organisasi lain. Seribu orang massa aliansi unjuk kekuatan esok harinya di Markas Besar Polri. Mereka juga menyebar spanduk dan poster di segala penjuru Jakarta untuk menuntut pembubaran ”kelompok kekerasan berjubah”.

Garda Bangsa, penggerak terbesar aliansi ini, berdiri 19 Maret 1999 di bawah payung Partai Kebangkitan Bangsa. Garda berkekuatan 100 ribu anggota nahdliyin berusia kurang dari 40 tahun tersebar di Jakarta. Garda ini dulu adalah mesin penggalang suara pada Pemilu 1999 untuk mendukung Abdurrahman Wahid menjadi presiden. Seusai pemilu, Garda punya misi mengawal transisi reformasi agar tetap pada persatuan dan keutuhan negeri.

Garda Bangsa memiliki 1.250 satuan tugas pengamanan di Jakarta. Mereka dilatih bela diri dan kekebalan untuk pertahanan diri. ”Tapi kami menolak kekerasan,” kata Wakil Ketua Dewan Koordinasi Nasional Garda Bangsa, Erman Hermawan, kepada Tempo pekan lalu. Garda relatif mudah menjalankan roda organisasi karena dukungan dana partai Rp 10 juta per bulan.

Organisasi politik lainnya adalah Pemuda Demokrat. Wakil ketuanya, Jefrey T., menyatakan bahwa mereka bergabung karena melihat ancaman terhadap nasionalisme dan kebangsaan dari FPI dan kroninya. ”Kami harus mengawal perjuangan para nasionalis karena ada yang merongrong keutuhan negeri,” kata Jefrey.

Pemuda Demokrat berdiri di bawah payung Partai Nasional Indonesia pada 31 Mei 1947. Kini, kekuatan massanya, menurut Jefrey, mencapai 500 ribu di seluruh Tanah Air, terdiri atas politisi, pengusaha, bahkan pengangguran. Organisasi ini mendapat sokongan moral dari beberapa politisi gaek PDI Perjuangan seperti Soetardjo Soerjogoeritno.

Adapun Garda Kemerdekaan dan Aliansi Betawi Bersatu sengaja dibentuk di saat kelompok kekerasan dianggap sudah melebihi ambang kendali. ”Garda dibentuk karena polisi juga tidak segera menindak kelompok anarkis itu,” kata Sekretaris Jenderal Garda Kemerdekaan, Husein Hashem.

Garda Kemerdekaan dideklarasikan di Jakarta pada 30 September 2005. Organisasi ini relatif kecil, masih beranggotakan 500 orang di DKI Jakarta. Terdiri atas berbagai profesi, aktivis, dan intelektual, mereka menjalankan roda organisasi dari kantong masing-masing anggota secara kolektif dan spontan.

Sedangkan Aliansi Betawi Bersatu sudah terdaftar di Badan Musyawarah Betawi dua tahun lalu. Sang ketua, Zainuddin, mengakui aktivitas organisasinya sempat berhenti, ”tapi sekarang diaktifkan lagi.” Betawi Bersatu, dia melanjutkan, prihatin melihat masyarakat Jakarta tak rukun. Mereka lantas mengumpulkan para tokoh agama, suku, dan golongan di Betawi, yang diperkirakan bisa menggalang massa 50 ribu orang.

Namun, Aliansi Pemuda Indonesia Penyelamat Bangsa tak mau terjebak kekerasan. Mereka masih mengambil strategi ”perang opini”, di antaranya melalui spanduk, pamflet, dan cakram padat film tadi. Pemerintahlah yang diminta bereaksi untuk membubarkan organisasi yang meresahkan itu. Jadi, sampai saat ini Aliansi masih menunggu langkah konkret pemerintah.

Eduardus Karel Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus