Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Buah Pertemuan Cikeas

Undang-undang memberikan wewenang kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan. Tapi sebaiknya melalui proses hukum lebih dulu.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggeleng-gelengkan kepalanya dalam sebuah pertemuan di rumahnya, Puri Cikeas, Bogor, akhir bulan lalu. Ia baru saja menerima informasi bahwa mantan presiden Abdurrahman Wahid diusir oleh anggota Front Pembela Islam di Purwakarta.

”Saya prihatin dan akan saya cek informasi ini,” kata Presiden seperti ditirukan sumber Tempo. ”Mestinya mantan presiden tidak boleh diperlakukan seperti itu.” Namun Presiden juga mengingatkan agar tokoh publik seperti Abdurrahman Wahid berhati-hati memberikan komentar.

Tiga pekan kemudian, di depan pengurus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Presiden Yudhoyono berjanji menindak kelompok-kelompok yang menggunakan kekerasan. Menurut Sonny T. Danaparamita, sekretaris jenderal organisasi itu, Presiden menyatakan telah memerintahkan para menterinya supaya menyelesaikan masalah ini.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo Adi Sutjipto langsung menggelar rapat koordinasi dengan para menteri di jajarannya. Rapat pada Kamis dua pekan lalu itu membahas aksi sejumlah organisasi kemasyarakatan yang suka berbuat anarkistis.

Menurut sumber Tempo, dalam rapat itu Front Pembela Islam, Forum Betawi Rempug, dan kelompok masyarakat Papua disebut sebagai kelompok pembuat onar. Sedangkan Presiden Yudhoyono, menurut Sonny T. Danaparamita, dalam pertemuan dengan GMNI menyebutkan satu nama lagi: Majelis Mujahiddin Indonesia.

Widodo mengatakan, pemerintah tak akan memberikan toleransi kepada kelompok yang melakukan aksi anarkistis. ”Kami akan menegakkan supremasi dan konsisten mengedepankan kesetaraan di depan hukum,” katanya.

Kepada Tempo, staf ahli Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Ramli Hutabarat mengaku, selama rapat ia diminta menjelaskan berbagai pilihan untuk menghadapi kelompok ”garis keras” itu. Ramli menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebenarnya memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk membubarkan organisasi masyarakat. ”Dalam hal ini Departemen Dalam Negeri yang berwewenang,” kata Ramli.

Pasal 13 undang-undang itu memang mengatur bahwa pemerintah dapat membekukan pengurus organisasi kemasyarakatan yang mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan asing tanpa persetujuan pemerintah, atau memberikan bantuan kepada pihak asing yang merugikan kepentingan negara. Di pasal berikutnya disebutkan, pemerintah dapat membubarkan organisasinya jika pengurus yang telah dibekukan tetap melakukan kegiatan.

Namun, menurut Ramli, pemerintah tidak buru-buru memakai undang-undang itu. Alasannya, aturan itu dibuat pada zaman Orde Baru, ketika semua kegiatan masyarakat memang diawasi oleh pemerintah. Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 17 Juni 1985.

”Pemerintah tidak akan gegabah membekukan suatu organisasi kemasyarakatan, karena harus lebih dulu mencari indikator gangguan ketertiban secara umum (yang mereka lakukan),” ujar Ramli Hutabarat.

Bagaimanapun, menurut sosiolog Imam B. Prasodjo, pembubaran organisasi yang berbuat kekerasan belum tentu menyelesaikan masalah. ”Setelah dibubarkan lalu apa? Apakah mereka tidak boleh lagi membentuk organisasi?” katanya. ”Sekarang ini membuat organisasi kan gampang sekali.”

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nurwahid pun tak setuju dengan pembubaran organisasi yang membuat onar, jika tidak didahului oleh proses hukum. ”Anarki harus dibasmi, tapi harus melalui penegakan hukum,” katanya.

Sebaliknya Abdurrahman Wahid menyerukan agar organisasi pembuat kekerasan dibubarkan. ”Mereka petentang-petenteng membawa pedang,” katanya. ”Organisasi yang selalu memaksakan kehendak dan memonopoli kebenaran sudah selayaknya dibubarkan.”

Imam B. Prasodjo menawarkan alternatif, yaitu mengajak para pemimpin kelompok yang dianggap radikal untuk berunding. Dengan mediator yang berwibawa, katanya, mereka ditemukan dengan pemimpin kelompok-kelompok penentangnya. Dari pertemuan ini ia berharap muncul nilai-nilai yang disepakati bersama. ”Semua kelompok tidak boleh bersikap menang-menangan,” tutur Prasodjo.

Budi Setyarso, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus