LEBIH 4000 industri besar kecil terhampar di Sulawesi Selatan.
Ragamnya pun cukup bervariasi. Lebih 2000 di antaranya merupakan
industri ringan. Menyusul industri kerajinan rakyat lebih 160
buah. Lalu tekstil (ATBM dan ATM) lebih 260an. Di samping
industri Kimia (berbentuk Perum), Dasar dan Maritim
masing-masing tercatat 7,9 dan 17 buah. "Terdapat kenaikan 48,9%
sejak tahun 1974", tutur drs. Faris Kadir, Kepala Kantor Wilayah
(Kanwil) Perindustrian Sulawesi Selatan.
Jumlah itu seharusnya cukup membikin Kepala Kanwil tersebut
tersenyum. Tapi tampak keningnya berkerut manakala baru saja ia
menyebut masalah lokasi. Agaknya merupakan salah satu perkara
yang membingunkannya juga. Apakah pengaturannya harus
berdasarkan pendekatan faktor peranian ataukah non-pertanian.
Atau juga berdasarkan pertimbangan lingkungan.
Meski begitu tampaknya Faris lebih cenderung pada semacam
"integrasi" antara apa yang menjadi dasar pertimbangan
penempatan di daerah Sumatera dan Jawa. "Harus komplementer",
ujarnya. Maksudnya kalau pabrik terigu memerlukan belacu. ia
cukup memesannya dari pabrik tekstil. Hal biasa. Tapi toh bisa
saja terjadi ada yang ingin juga repot-repot memproduksinya
sendiri. Dan Faris juga punya kecenderungan. "industri keca
sedapat mungkin bergeser ke daerah-daerah pedesaan". Namun
bagaimana pun Faris yang punya kewajiban melakukan pembinaan,
tak mungkin nyelonong sendiri. "Masalah lokasi tergantung City
Planning", katanya.
Siapa?
Menurut Faris penyerapan tenaga kerja di bidang industri
seharusnya 7,5%. Tapi kenyataannya di sana baru bisa menyerap
3,33%. Jadi masih harus ditingkatkan 4% lebih. Ia belum bisa
memperinci bagaimana upaya mencapainya. Yang masih samar-samar
dikemukakannya ialah akan adanya kemungkinan pembukaan industri
minyak castrol, minyak jagung dan lainnya di sana. Pernah juga
ada rencana pembukaan pabrik tekstil di sekitar daerah tak jauh
dari Sungai Jeneberang. Tapi tak terdengar lagi beritanya
setelah diketahui bahwa sungai tersebut mengandung zat yang bisa
merusak benang.
Namun perkara penting lainnya yang tak bisa dilewatkan tentulah
bagaimana membina apa yang telah ada dalam pelukan. Faris sempat
membanggakan adanya usaha pembinaan secara aktif sampai misalnya
mengusahakan buku yang berisi Industrial Profil, semacam buku
pintar membangun salah sebuah jenis industri. Seorang pengusaha
di Ujung Pandang mengeluh, siapa sebenarnya yang harus
dihadapinya dalam pengurusan bidang industri. Pemda-kah atau
Kanwil-kah atau siapa? Sebab banyak sekali tangan yang ikut
campur dan harus dihadapi. Bahkan seorang pengusaha industri
peleburan besi baja misalnya mengeluh tentang kerepotan yang
dihadapinya. Siapa yang sebenarnya lebih berhak meminta laporan
kepada para pengusaha. Apakah Departemen Perdagangan, Keuangan,
Perindustrian, BKPM atau Bank. "Kan kami repot kalau semua harus
meminta laporan", katanya.
Berdasarkan angket tahun 1974 yang dilakukan Kanwil
Perindustrian Sulsel dari 474 usaha industri 80,8 ditangani cuma
atas dasar pengalaman dan hanya 5,86 didasarkan keahlian karena
pendidikan. Sedangkan bab asal permodalan terbukti 90,96%
mempergunakan modal sendiri. Cuma 9,04O saja yang mempergunakan
kredit. Artinya kecil sekali pemakaian jasajasa perbankan.
Tentunya Faris lebih mafhum tentang liku-liku sebabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini