Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ini pelajaran sepele

Perkembangan pendidikan guru olah raga di indonesia sejak 1950. minat menjadi guru olah raga makin menurun dan pelajaran olah raga di sekolah agak di kesampingkan. (pdk)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN 1957 Presiden Eisenhower mencak-mencak. Ia mensinyalir daya tahan pemuda Amerika kalah dengan pemuda Eropa. Ia lantas minta pendidikan olahraga ditingkatkan. Itu dituturkan oleh MF Siregar, Direktur Keolahragaan Ditjen PLSPO -- Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga. Presiden Soeharto, meski bukan karena mensinyalir menurunnya daya tahan pemuda Indonesia, awal Oktober lalu ketika menerima Kontingen Indonesia untuk SEA Games X mengatakan perlunya pendidikan olahraga -- sejak sekolah dasar. "Sehingga nanti di sekolah menengah atau perguruan tinggi tinggal mengembangkan saja," pesannya. Menggembirakan--sekaligus menimbulkan keprihatinan. Bukan rahasia lagi, pelajaran olahraga di sekolah agak dikesampingkan. Guru olahraga pun kurang--sehingga banyak dari mereka merangkap mengajar di beberapa sekolah. Tak kurang dari Menteri P&K sendiri mengatakan bahwa minat menjadi guru OR sedikit. Alasannya tak bisa mencari tambahan penghasilan. Jadi, apa kabar pendidikan guru olahraga? Honorer Tahun 1950, di Indonesia berdiri SGPD (Sekolah Guru Pendidikan Jasmani) yang lulusannya direncanakan mengajar di SLTP. SGPD setingkat dengan SGA (Sekolah Guru Atas) waktu itu, karena waktu itu kita sangat kekurangan guru SLTP. Tahun 60-an, ketika dirasa guru SLTP cukup, lulusan SGA hanya dibolehkan mengajar di SD. Otomatis lulusan SGPD pun akan hanya berhak mengajar di SD. Tapi, sebelum itu sempat berlaku, keburu SGPD dirubah menjadi SMOA Sekolah Menengah Olahraga Atas). Di zaman ketika olahraga demikian digalakkan pemerintah (ingat Ganefo, misalnya), pendidikan olahraga ternyata tak hanya menghasilkan guru, tapi juga olahragawan. Jadi lebih luwes kalau sekolah itu hanya disebut sekolah menengah saja. Toh kemudian timbul kesulitan baru. Lulusan SMOA sulit mencari kerja. Masih untung yang bisa melanjutkan ke STO (Sekolah Tinggi Olahraga). Pemerintah lalu memutuskan: 1976 SMOA dirubah menjadi SGO (Sekolah Guru Olahraga)--setingkat dengan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) yang lulusannya berhak mengajar di SD. Begitulah cerita Soeprapto, Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Dan sejalan dengan perubahan itu STO pun lalu diintegrasikan ke IKIP, 1977, menjadi FKIK-- Fakultas Kependidikan Ilmu Keolahragaan. Apakah perubahan itu mempengaruhi minat menjadi guru olahraga, tak jelas. Jumlah siswa SGO seluruh Indonesia (ada 50 SGO) menurun. Angkatan pertama (1977) yang kini duduk di kelas III berjumlah 3 ribu lebih. Angkatan 1978 (kini di kelas II) 5 ribu lebih. Sedang angkatan tahun ini hanya 4 ribu lebih. Tapi menurut Soeprapto, yang mempengaruhi minat guru olahraga terutama "pandangan masyarakat". Di kantornya, didampingi salah seorang pegawainya, tuturnya kepada TEMPO: "Orang begitu menghargai olahragawan yang berprestasi, tapi tidak pelatihnya. Apalagi guru olahraga--tak diingat sama sekali andilnya." Mungkin benar. Nasib guru olahraga, terutama di daerah, memang tak cerah. Ny. Endang, guru olahraga di sebuah SMA di Bandung mengeluh "Guru olahraga dianak-tirikan. Permintaan fasilitas alat olahraga lambat sekali dipenuhi. Dan kebanyakan teman guru olahraga masih berstatus honorer." Padahal menurut ibu guru yang berputera satu orang itu, "alat-alat penting untuk menarik minat anak-anak." Benar. Menurut pengamatan Dedy Iskandar, pembantu TEMPO di Bandung, siswa sebuah SMP di Bandun yang sedang berloncat jauh di Lapangan Pajajaran tak diukur berapa jauh mereka mampu meloncat--karena sekolah tak menyediakan meteran. Sedang loncat tinggi mereka sama sekali belum diajar, karena tidak ada alat. Akibatnya siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran. Permainan Anak-Anak Meski tidak berarti guru olahraga tak punya "kreativitas". Sudrajat Prawirasaputra, 40 tahun, tahun ajaran kemarin ditugaskan membuka SGO di Cianjur. Lapangan yang disediakan Pemda Kabupaten ternyata kuburan Cina, yang kebetulan di tengahnya ada tanah cukup luas dan datar. Dengan agak merasa risih toh pelajaran berjalan. Lalu, di Cianjur sampai sekarang belum ada kolam renang. Jadi terpaksa pelajaran renang diberikan sebulan sekali, di Cipanas, 13 km jauhnya. Dan dengan berat harus meminta siswa-siswanya mengeluarkan biaya ekstra transpor plus karcis masuk kolam renang -- cukup mahal karena Cipanas kota peristirahatan. Harapan paling jauh bagi pendidikan OR dengan fasilitas seperti itu ialah badan murid tetap sehat. Jangan diharap akan muncul olahragawan berprestasi. Naniek Suwadji, "ikan terbang" kita yang dalam SEA Games barusan menggondol 8 medali emas, mengaku nilai OR-nya di sekolah tak pernah lebih dari tujuh. Dan minat renangnya, katanya, sama sekali bukan dibangkitkan oleh pelajaran OR. Sementara Iskandar, pelatih Naniek, menunjuk pada beragamnya cabang olahraga yang harus diikuti di sekolah--yang menyebabkan kurangnya minat dan tak terpeliharanya bakat. Dia menganjurkan untuk menauladan "sekolah Tionghwa" dulu--sebelum G30S-yang menyuruh siswa memilih sendiri cabang yang disukainya. Jam pelajaran OR di sekolah memang terbatas: 2 jam praktek, 1 jam teori. Penambahan jam, seperti diusulkan beberapa guru OR yang diwawancara TEMPO, "akan merubah kurikulum keseluruhannya," kata Soeprapto. Kedudukan pelajaran OR sendiri dicerminkan oleh kenyataan: "dengan nilai 4 pun bisa naik kelas," seperti kata Otis Harmusial, guru olahraga di SMP PSKD IV--sekolah Nunung Selowati, perenang nasional kita. Lantas orang bisa saja mencari akar ke bawah pelajaran OR di SD juga tak berjalan baik -walau di SD selama ini memang tak ada guru khusus olahraga. "Pada dasarnya guru SD adalah guru kelas, bukan guru bidang studi," kata Soeprapto. "Tapi bila perlu bisa juga diadakan guru bidang studi. Untuk itulah SGO diadakan." Dan karena SGO masih akan mengeluarkan lulusannya 1980 nanti belum bisa dilihat hasilnya. Sementara itu Ditjen PLSPO bekerja sama dengan Ditjen PDM sebenarnya sudah berusaha mengatasi kekurangan guru OR. Sejak Pelita I sudah disebarkan ke semua SD dan SM buku pedoman mengajar. Tujuannya, agar yang bukan guru OR tapi berminat, bisa mengajar olahraga pula. Hasilnya tak diketahui persis. "Saya akui monitoring kita masih buruk," kata Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga Teknis. "Tujuan buku tersebut, terutama yang untuk SD, agar pelajaran olahraga bisa diberikan menarik, tidak formal," kata MF Siregar. Maksudnya, dengan memanfaatkan permainan anak-anak yang ada di daerah, pendidikan bisa diarahkan untuk menanamkan cinta olahraga. Buku pedoman itu memang sudah mengarah ke situ--hanya kurang praktis: terlalu banyak tulisan, kurang gambar. Bukankah kekurangan guru olahraga hanya merupakan satu bagian saja dari kekurangan guru keseluruhannya? Kasmiran Wuryo, Sekretaris Ditjen PDM, sehabis mengikuti upacara penandatanganan kerjasama Ditjen PDM dengan Perum Percetakan Uang RI (Peruri), kepada TEMPO mengatakan: "Ya. Baik segi kuantitas maupun kualitas."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus