TAHUN 1957 Presiden Eisenhower mencak-mencak. Ia mensinyalir
daya tahan pemuda Amerika kalah dengan pemuda Eropa. Ia lantas
minta pendidikan olahraga ditingkatkan. Itu dituturkan oleh MF
Siregar, Direktur Keolahragaan Ditjen PLSPO -- Pendidikan Luar
Sekolah, Pemuda dan Olahraga.
Presiden Soeharto, meski bukan karena mensinyalir menurunnya
daya tahan pemuda Indonesia, awal Oktober lalu ketika menerima
Kontingen Indonesia untuk SEA Games X mengatakan perlunya
pendidikan olahraga -- sejak sekolah dasar. "Sehingga nanti di
sekolah menengah atau perguruan tinggi tinggal mengembangkan
saja," pesannya.
Menggembirakan--sekaligus menimbulkan keprihatinan. Bukan
rahasia lagi, pelajaran olahraga di sekolah agak dikesampingkan.
Guru olahraga pun kurang--sehingga banyak dari mereka merangkap
mengajar di beberapa sekolah. Tak kurang dari Menteri P&K
sendiri mengatakan bahwa minat menjadi guru OR sedikit.
Alasannya tak bisa mencari tambahan penghasilan.
Jadi, apa kabar pendidikan guru olahraga?
Honorer
Tahun 1950, di Indonesia berdiri SGPD (Sekolah Guru Pendidikan
Jasmani) yang lulusannya direncanakan mengajar di SLTP. SGPD
setingkat dengan SGA (Sekolah Guru Atas) waktu itu, karena waktu
itu kita sangat kekurangan guru SLTP. Tahun 60-an, ketika
dirasa guru SLTP cukup, lulusan SGA hanya dibolehkan mengajar di
SD. Otomatis lulusan SGPD pun akan hanya berhak mengajar di SD.
Tapi, sebelum itu sempat berlaku, keburu SGPD dirubah menjadi
SMOA Sekolah Menengah Olahraga Atas). Di zaman ketika olahraga
demikian digalakkan pemerintah (ingat Ganefo, misalnya),
pendidikan olahraga ternyata tak hanya menghasilkan guru, tapi
juga olahragawan. Jadi lebih luwes kalau sekolah itu hanya
disebut sekolah menengah saja.
Toh kemudian timbul kesulitan baru. Lulusan SMOA sulit mencari
kerja. Masih untung yang bisa melanjutkan ke STO (Sekolah Tinggi
Olahraga). Pemerintah lalu memutuskan: 1976 SMOA dirubah menjadi
SGO (Sekolah Guru Olahraga)--setingkat dengan SPG (Sekolah
Pendidikan Guru) yang lulusannya berhak mengajar di SD.
Begitulah cerita Soeprapto, Direktur Pendidikan Guru dan Tenaga
Teknis Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah. Dan sejalan dengan
perubahan itu STO pun lalu diintegrasikan ke IKIP, 1977, menjadi
FKIK-- Fakultas Kependidikan Ilmu Keolahragaan.
Apakah perubahan itu mempengaruhi minat menjadi guru olahraga,
tak jelas. Jumlah siswa SGO seluruh Indonesia (ada 50 SGO)
menurun. Angkatan pertama (1977) yang kini duduk di kelas III
berjumlah 3 ribu lebih. Angkatan 1978 (kini di kelas II) 5 ribu
lebih. Sedang angkatan tahun ini hanya 4 ribu lebih.
Tapi menurut Soeprapto, yang mempengaruhi minat guru olahraga
terutama "pandangan masyarakat". Di kantornya, didampingi salah
seorang pegawainya, tuturnya kepada TEMPO: "Orang begitu
menghargai olahragawan yang berprestasi, tapi tidak pelatihnya.
Apalagi guru olahraga--tak diingat sama sekali andilnya."
Mungkin benar. Nasib guru olahraga, terutama di daerah, memang
tak cerah. Ny. Endang, guru olahraga di sebuah SMA di Bandung
mengeluh "Guru olahraga dianak-tirikan. Permintaan fasilitas
alat olahraga lambat sekali dipenuhi. Dan kebanyakan teman guru
olahraga masih berstatus honorer." Padahal menurut ibu guru yang
berputera satu orang itu, "alat-alat penting untuk menarik minat
anak-anak."
Benar. Menurut pengamatan Dedy Iskandar, pembantu TEMPO di
Bandung, siswa sebuah SMP di Bandun yang sedang berloncat jauh
di Lapangan Pajajaran tak diukur berapa jauh mereka mampu
meloncat--karena sekolah tak menyediakan meteran. Sedang loncat
tinggi mereka sama sekali belum diajar, karena tidak ada alat.
Akibatnya siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran.
Permainan Anak-Anak
Meski tidak berarti guru olahraga tak punya "kreativitas".
Sudrajat Prawirasaputra, 40 tahun, tahun ajaran kemarin
ditugaskan membuka SGO di Cianjur. Lapangan yang disediakan
Pemda Kabupaten ternyata kuburan Cina, yang kebetulan di
tengahnya ada tanah cukup luas dan datar. Dengan agak merasa
risih toh pelajaran berjalan. Lalu, di Cianjur sampai sekarang
belum ada kolam renang. Jadi terpaksa pelajaran renang diberikan
sebulan sekali, di Cipanas, 13 km jauhnya. Dan dengan berat
harus meminta siswa-siswanya mengeluarkan biaya ekstra transpor
plus karcis masuk kolam renang -- cukup mahal karena Cipanas
kota peristirahatan.
Harapan paling jauh bagi pendidikan OR dengan fasilitas seperti
itu ialah badan murid tetap sehat. Jangan diharap akan muncul
olahragawan berprestasi. Naniek Suwadji, "ikan terbang" kita
yang dalam SEA Games barusan menggondol 8 medali emas, mengaku
nilai OR-nya di sekolah tak pernah lebih dari tujuh. Dan minat
renangnya, katanya, sama sekali bukan dibangkitkan oleh
pelajaran OR. Sementara Iskandar, pelatih Naniek, menunjuk pada
beragamnya cabang olahraga yang harus diikuti di sekolah--yang
menyebabkan kurangnya minat dan tak terpeliharanya bakat. Dia
menganjurkan untuk menauladan "sekolah Tionghwa" dulu--sebelum
G30S-yang menyuruh siswa memilih sendiri cabang yang disukainya.
Jam pelajaran OR di sekolah memang terbatas: 2 jam praktek, 1
jam teori. Penambahan jam, seperti diusulkan beberapa guru OR
yang diwawancara TEMPO, "akan merubah kurikulum keseluruhannya,"
kata Soeprapto.
Kedudukan pelajaran OR sendiri dicerminkan oleh kenyataan:
"dengan nilai 4 pun bisa naik kelas," seperti kata Otis
Harmusial, guru olahraga di SMP PSKD IV--sekolah Nunung
Selowati, perenang nasional kita. Lantas orang bisa saja mencari
akar ke bawah pelajaran OR di SD juga tak berjalan baik -walau
di SD selama ini memang tak ada guru khusus olahraga. "Pada
dasarnya guru SD adalah guru kelas, bukan guru bidang studi,"
kata Soeprapto. "Tapi bila perlu bisa juga diadakan guru bidang
studi. Untuk itulah SGO diadakan." Dan karena SGO masih akan
mengeluarkan lulusannya 1980 nanti belum bisa dilihat hasilnya.
Sementara itu Ditjen PLSPO bekerja sama dengan Ditjen PDM
sebenarnya sudah berusaha mengatasi kekurangan guru OR. Sejak
Pelita I sudah disebarkan ke semua SD dan SM buku pedoman
mengajar. Tujuannya, agar yang bukan guru OR tapi berminat, bisa
mengajar olahraga pula. Hasilnya tak diketahui persis. "Saya
akui monitoring kita masih buruk," kata Direktur Pendidikan Guru
dan Tenaga Teknis.
"Tujuan buku tersebut, terutama yang untuk SD, agar pelajaran
olahraga bisa diberikan menarik, tidak formal," kata MF Siregar.
Maksudnya, dengan memanfaatkan permainan anak-anak yang ada di
daerah, pendidikan bisa diarahkan untuk menanamkan cinta
olahraga. Buku pedoman itu memang sudah mengarah ke situ--hanya
kurang praktis: terlalu banyak tulisan, kurang gambar.
Bukankah kekurangan guru olahraga hanya merupakan satu bagian
saja dari kekurangan guru keseluruhannya? Kasmiran Wuryo,
Sekretaris Ditjen PDM, sehabis mengikuti upacara penandatanganan
kerjasama Ditjen PDM dengan Perum Percetakan Uang RI (Peruri),
kepada TEMPO mengatakan: "Ya. Baik segi kuantitas maupun
kualitas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini