Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Demi pretasi

Pendidikan khusus di smp/sma negeri ragunan, jakarta untuk olahragawan pelajar. pendapat beberapa siswa dan kepala sekolahnya tentang sekolah tersebut.(pdk)

13 Oktober 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH tahu sekolah menengahyang maju dalam pelajaran olahraga? SMP/SMA Negeri Ragunan, Jakarta. Sekolah ini memang diadakan khususnya untuk membina prestasi olahragawan yang masih pelajar -"selain sebagai sekolah biasa, " kata Matali, Pembantu Kepala Sekolah Bidang Akademis. Maklum, siswa sekolah ini dipilih dari pelajar sekolah menengah seluruh Indonesia yang telah menunjukkan kebolehan dalam olahraga. Jadi tak menerima pendaftaran murid sendiri. Mulanya, lembaga pendidikan ini diadakan untuk para olahragawan pelajar yang hendak mengikuti SEA Games 1977 di Kuala Lumpur. Agar mereka tetap bisa berlatih dan tetap tak ketinggalan dalam pelajaran sekolah. Akhirnya diputuskan saja sebagai sekolah biasa, dengan tugas khusus tersebut. Mengapa hanya SMP dan SMA? "Karena guru-gurunya mudah dicari, dan pelajar yang berprestasi dalam olahraga kebanyakan dari SMP dan SMA," kata Prof. Santoso, Dirjen PDM yang dulu ikut rapat mendirikan sekolah ini. Pengelolaannya ditanggung bersama oleh Ditjen PDM (Pendidikan Dasar dan Menengah), Kanwil P&K DKI Jakarta, KONI Pusat, Pemda DKI, serta Ditjen PLSPO (Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga). Pada 15 Januari 1977 diresmikan berdirinya oleh Gubernur Ali Sadikin. Jadwal kegiatan memang padat jam 06.00 - 21.30. Terdiri dari 4« jam latihan olahraga, 5 jam pelajaran akademis di kelas dan 1« jam studi kamar. Sesudah itu mereka jam tidur: 21.30 - 05.30. "Tapi terserah mereka mau belajar atau terus tidur. Pokoknya harus masuk kamar, dan ruang tamu gelap," kata ibu asrama kepada TEMPO. Dengan fasilitas yang lumayan (sekolah gratis, uang saku, asrama, penyediaan buku-buku, pakaian seragam tiap tahun, pencucian pakaian), memang wajar kalau dari mereka diharapkan disiplin yang ketat untuk mencapai prestasi. "Tak bisa seenaknya kluyuran malam-malam. Bisa hancur dong prestasi dengan cara begitu," kata Matali. Kesempatan jalanjalan hanya diberikan hari Sabtu. Malah boleh tidur di luar asrama bila ada keluarga di Jakarta, asal Minggu sore sudah kembali. Tembok-Tembok Bersih Singkatnya, kontak dengan dunia luar tak sebebas di sekolah biasa. "Tapi semuanya serba ada, tinggal belajar dan latihan saja," kata Lius Pongoh, 19 tahun (kini di SMA kelas III IPS) yang pernah ikut tim nasional ke All England. "Ya, betah nggak betah dibetah-betahin saja." Tapi Sri Purwidiati, kelas III IPA, merasa lebih senang di sini. "Kalau nggak senang sudah saya tinggalkan dulu-dulu," katanya. "Cuma memang ada beban lain. Yang sudah masuk sekolah sini harus berani menanggung risiko." Yang disebut risiko oleh atlit yang dalam SEA Games X memecahkan rekor nasional loncat tinggi itu adalah: "Mau orang kita harus selalu menang. Mereka tak mau tahu kalau kita suatu saat kalah karena kondisi badan sedang jelek misalnya." Dasar remaja, peraturan yang sudah begitu ketat bisa juga sekali-sekali dilanggar. "Kalau capek latihan kadangkadang saya bolos sekolah dan tidur di Senayan," kata Lius Pongoh. Dan kata Sri, yang punya tinggi 165,5 cm itu: "Mosok tidur pakai jam. Siapa sih yang bisa tidur setiap hari tepat dimulai jam setengah sepuluh? ". Tapi siswa yang dikeluarkan dari sekolah belum pernah ada. "Mereka nakal sebagaimana umumnya remaja, tapi sportif dan disiplin. Lihat, temboktembok 'kan bersih, tak ada coretan," kata Matali. Sekarang ada 91 siswa (67 putra, 24 putri). Ditambah 3 siswa titipan, karena sekolah mereka di luar. Mereka dikirim berbagai pihak (KONI Pusat, Ditjen PLSPO, KONI Jaya). Itulah kenapa besar uang saku tak sama Rp 5 ribu - Rp 7.500. Tentu saja kiriman dari orangtua tak dilarang. Sekolah yang terletak di kompleks milik Yayasan Jaya Raya ini, di dekat kebun binatang, kini punya 8 lokal, 3 laboratorium, 11 guru tetap, 15 pelatih olahraga. Jumlah guru yang tak banyak disebabkan karena sekolah ini memakai sistim modul--pelajaran telah dibagi menjadi paket-paket yang bisa dipelajari sendiri. Masalah yang dihadapi ialah kelanjutan setelah siswa lulus dari SMAnya. "Memang masih dipikirkan," kata Harsuhadi. Beberapa siswa pernah ditarik orangtua, dengan alasan: "merasa prestasi anaknya menurun, dan ingin anaknya lebih mengutamakan pelajaran sekolah," cerita Matali. Perlukah sekolah khusus semacam ini? "Selama pelajaran olahraga di sekolah biasa belum baik, saya kira masih perlu," kata Harsuhadi, kepala sekolah di SMP/SMA ini."Prestasi'kan kebanggaan nasional."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus