SUDAH tahu sekolah menengahyang maju dalam pelajaran olahraga?
SMP/SMA Negeri Ragunan, Jakarta. Sekolah ini memang diadakan
khususnya untuk membina prestasi olahragawan yang masih pelajar
-"selain sebagai sekolah biasa, " kata Matali, Pembantu Kepala
Sekolah Bidang Akademis. Maklum, siswa sekolah ini dipilih dari
pelajar sekolah menengah seluruh Indonesia yang telah
menunjukkan kebolehan dalam olahraga. Jadi tak menerima
pendaftaran murid sendiri.
Mulanya, lembaga pendidikan ini diadakan untuk para olahragawan
pelajar yang hendak mengikuti SEA Games 1977 di Kuala Lumpur.
Agar mereka tetap bisa berlatih dan tetap tak ketinggalan dalam
pelajaran sekolah. Akhirnya diputuskan saja sebagai sekolah
biasa, dengan tugas khusus tersebut. Mengapa hanya SMP dan SMA?
"Karena guru-gurunya mudah dicari, dan pelajar yang berprestasi
dalam olahraga kebanyakan dari SMP dan SMA," kata Prof. Santoso,
Dirjen PDM yang dulu ikut rapat mendirikan sekolah ini.
Pengelolaannya ditanggung bersama oleh Ditjen PDM (Pendidikan
Dasar dan Menengah), Kanwil P&K DKI Jakarta, KONI Pusat, Pemda
DKI, serta Ditjen PLSPO (Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan
Olahraga). Pada 15 Januari 1977 diresmikan berdirinya oleh
Gubernur Ali Sadikin.
Jadwal kegiatan memang padat jam 06.00 - 21.30. Terdiri dari 4«
jam latihan olahraga, 5 jam pelajaran akademis di kelas dan 1«
jam studi kamar. Sesudah itu mereka jam tidur: 21.30 - 05.30.
"Tapi terserah mereka mau belajar atau terus tidur. Pokoknya
harus masuk kamar, dan ruang tamu gelap," kata ibu asrama kepada
TEMPO.
Dengan fasilitas yang lumayan (sekolah gratis, uang saku,
asrama, penyediaan buku-buku, pakaian seragam tiap tahun,
pencucian pakaian), memang wajar kalau dari mereka diharapkan
disiplin yang ketat untuk mencapai prestasi. "Tak bisa seenaknya
kluyuran malam-malam. Bisa hancur dong prestasi dengan cara
begitu," kata Matali.
Kesempatan jalanjalan hanya diberikan hari Sabtu. Malah boleh
tidur di luar asrama bila ada keluarga di Jakarta, asal Minggu
sore sudah kembali.
Tembok-Tembok Bersih
Singkatnya, kontak dengan dunia luar tak sebebas di sekolah
biasa. "Tapi semuanya serba ada, tinggal belajar dan latihan
saja," kata Lius Pongoh, 19 tahun (kini di SMA kelas III IPS)
yang pernah ikut tim nasional ke All England. "Ya, betah nggak
betah dibetah-betahin saja."
Tapi Sri Purwidiati, kelas III IPA, merasa lebih senang di sini.
"Kalau nggak senang sudah saya tinggalkan dulu-dulu," katanya.
"Cuma memang ada beban lain. Yang sudah masuk sekolah sini harus
berani menanggung risiko." Yang disebut risiko oleh atlit yang
dalam SEA Games X memecahkan rekor nasional loncat tinggi itu
adalah: "Mau orang kita harus selalu menang. Mereka tak mau tahu
kalau kita suatu saat kalah karena kondisi badan sedang jelek
misalnya."
Dasar remaja, peraturan yang sudah begitu ketat bisa juga
sekali-sekali dilanggar. "Kalau capek latihan kadangkadang saya
bolos sekolah dan tidur di Senayan," kata Lius Pongoh. Dan kata
Sri, yang punya tinggi 165,5 cm itu: "Mosok tidur pakai jam.
Siapa sih yang bisa tidur setiap hari tepat dimulai jam setengah
sepuluh? ". Tapi siswa yang dikeluarkan dari sekolah belum
pernah ada. "Mereka nakal sebagaimana umumnya remaja, tapi
sportif dan disiplin. Lihat, temboktembok 'kan bersih, tak ada
coretan," kata Matali.
Sekarang ada 91 siswa (67 putra, 24 putri). Ditambah 3 siswa
titipan, karena sekolah mereka di luar. Mereka dikirim berbagai
pihak (KONI Pusat, Ditjen PLSPO, KONI Jaya). Itulah kenapa besar
uang saku tak sama Rp 5 ribu - Rp 7.500. Tentu saja kiriman dari
orangtua tak dilarang.
Sekolah yang terletak di kompleks milik Yayasan Jaya Raya ini,
di dekat kebun binatang, kini punya 8 lokal, 3 laboratorium, 11
guru tetap, 15 pelatih olahraga. Jumlah guru yang tak banyak
disebabkan karena sekolah ini memakai sistim modul--pelajaran
telah dibagi menjadi paket-paket yang bisa dipelajari sendiri.
Masalah yang dihadapi ialah kelanjutan setelah siswa lulus dari
SMAnya. "Memang masih dipikirkan," kata Harsuhadi. Beberapa
siswa pernah ditarik orangtua, dengan alasan: "merasa prestasi
anaknya menurun, dan ingin anaknya lebih mengutamakan pelajaran
sekolah," cerita Matali.
Perlukah sekolah khusus semacam ini? "Selama pelajaran olahraga
di sekolah biasa belum baik, saya kira masih perlu," kata
Harsuhadi, kepala sekolah di SMP/SMA ini."Prestasi'kan
kebanggaan nasional."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini