Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Iwan dipecat iwan menggugat

Iwan, siswa swagaya yogyakarta menuntut ganti rugi rp 200 juta karena dipecat sekolahnya. perkaranya sepele, iwan suka mencolek teman putrinya, maria agustina. pihak sekolah akan menuntut balik.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI biasa pagi itu Maria Agustina berlenggang menuju kelasnya. Mendadak sebuah colekan mampir di pantatnya. "Kamu maunya apa, sih, Wan? Kok mengganggu saya terus," teriak siswi kelas III SMA Swagaya, Yogyakarta, itu. Iwan Muchpian, duduk di kelas terakhir tapi berbeda kelas dengan Maria, bukannya kapok. Konon, sasaran malah ia tingkatkan, ke atas, yakni ke dada Maria. Keruan saja Maria berang. Tas sekolah yang dipegang dihantamkan ke Iwan. Beberapa teman buru-buru melerai. Dan Maria pun menangis sejadi-jadinya. "Saya malu dilihat teman-teman," ujar gadis berkulit kuning itu bercerita kepada TEMPO. Siapa sangka peristiwa yang terjadi pada 18 November tahun lalu itu berbuntut panjang. Rupanya, kemudian, diam-diam Maria mengadu kepada guru dan polisi. Tanpa ampun sehari kemudian Iwan resmi dikeluarkan dari sekolah. "Dengan berbagai pertimbangan serta menyimak tingkah laku masa lalunya, akhirnya kami memutuskan agar Iwan dikeluarkan dari sekolah." kata Doko Sumoharjo, 56, Wakil Ketua Yayasan SMA tersebut. Dan Sabtu pekan lalu sidang pertama untuk perkara tersebut dibuka di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Bukan menyidangkan Iwan, yang pagi itu hadir dalam sidang dengan krem biru bergaris-garis dan celana biru. Sebaliknya, Iwanlah sebagai pihak penggugat. Yang digugat adalah SMA Swagaya, karena telah dengan alasan yang kurang masuk akal memecat seorang siswanya. Iwan, didampingi Pengacara Jeremias Lemek, menuntut ganti rugi Rp 200 juta. Perinciannya Rp 175 juta untuk kerugian moril dan masa depan yang terganggu, dan Rp 25 juta ganti rugi ongkos sekolah di SMA yang telah dikeluarkan Iwan. Tak seperti diduga banyak orang, sidang pagi itu ternyata sepi pengunjung cuma 10 orang termasuk 3 wartawan. Sebenarnya pihak SMA Swagaya, Maria, dan Iwan, sebelumnya sudah sama-sama berupaya menjernihkan masalah. Menurut Doko, pihak sekolah sudah berusaha menghubungi keluarga Iwan. Nyonya Yuli Suhardono, kakak Iwan, segera ke sekolah begitu mendapat surat panggilan pada 19 November. "Saya kira hanya masalah keterlambatan pembayaran uang sekolah Iwan atau hal-hal yang biasa saja," kata Nyonya Yuli. Ia sudah berusaha menemui, Heru Santoso, kepala sekolah. Namun, sejak pagi hingga sore, ia tak berhasil menjumpai pimpinan sekolah. Sewaktu menunggu di sekolah itulah ia mendengar dari teman-teman Iwan bahwa adiknya punya persoalan dengan Maria. Lalu karena letih menunggu, nyonya itu akhirnya pulang ke rumah. Dan sebuah surat ternyata telah menunggunya. Surat itulah yang membuat Nyonya Yuli kaget. Isinya: Iwan secara resmi telah dikeluarkan dari SMA Swagaya terhitung sejak 19 November 1986. Hari itu juga, ditemani suaminya, Nyonya Suhardono dan Iwan bertandang ke kediaman keluarga Maria. Terjadilah kesepakatan untuk menuntaskan masalah antara Iwan dan Maria secara kekeluargaan, yang ujungnya Iwan minta maaf. Pendeknya, "Antara Iwan dan saya sudah tidak ada masalah," kata Maria, 20, kepada TEMPO . Setelah tercapai kesepakatan antara pihak Maria dan Iwan, esoknya Nyonya Yuli Suhardono mencoba menemui kembali Kepala Sekolah. Apa mau dikata, Heru Santoso hari itu tak juga bisa dijumpai. Begitu pula hari-hari selanjutnya. Kesabaran pun ada batasnya. Keluarga Nyonya Yuli lalu menyerahkan persoalan ke tangan pengacara, Jeremias Lemek. Penasihat hukum ini berhasil menemui kepala sekolah SMA Swagaya. Tapi, masalah bukannya menjadi tuntas, malah semakin berbelit. Kata Kepala Sekolah, persoalan Iwan sudah sampai ke tangan Kanwil Departemen P & K. Setelah menghubungi instansi tersebut, dan ada isyarat bahwa Iwan boleh kembali ke bangku sekolah, Jeremias lagi-lagi berkonsultasi dengan Kepala Sekolah. Kali ini titik temu dapat dicapai. "Kalau memang sudah ada izin Kanwil, silakan saja masuk sekolah lagi," kata pimpinan sekolah, seperti yang ditirukan oleh Jeremias. Itu sebabnya, keesokan harinya Iwan pun kembali berlenggang ke sekolah. Tapi, "Oleh guru dan pegawai Tata Usaha saya ditolak, dan disuruh menunggu Pak Heru," kata pemuda berkaca mata dan bertubuh jangkung ini. Singkat cerita, Iwan hari itu ternyata belum juga diterima kembali oleh sekolahnya. Tentu saja Jeremias meradang. Ia melabrak ke sekolah. Sambutan yang diterima di luar dugaannya. Jalan damai yang ditawarkannya tak digubris. "Pihak sekolah seolah menantang kalau memang mau dibawa ke pengadilan silakan," kata Jeremias. Maka, perkara ini pun oleh Jeremias dibawa ke pengadilan seperti sudah disebutkan, pihak Iwan menuntut ganti rugi Rp 200 juta. Bagi Iwan, 21, pemuda kelahiran Lampung dan besar di Yogya, tingkah lakunya terlalu dibesar-besarkan. Ia hanya mencolek, tak lebih dan tak kurang. "Tapi lalu dibesar-besarkan, katanya saya malah meremas dada," ucap Iwan. Ia mengaku, memang pernah mangkir beberapa kali. "Saya rasa itu wajar saja," katanya lagi. Ia pun pernah berkelahi di sekolah, tapi persoalan itu telah diselesaikan baik-baik. Tapi itulah menurut Doko Sumoharjo, Wakil Ketua Yayasan SMA Swagaya, kelakuan pelajar yang satu ini sudah tergolong luar biasa. "Iwan telah berkali-kali melanggar peraturan sekolah, dan telah berkali-kali pula diperingatkan," kata Doko. Selain sering membolos, Iwan suka menganggu teman-temannya, bahkan gurunya sendiri. "Sejak kelas satu kami sudah kewalahan membina anak ini," sambungnya. Dan pihak sekolah punya dasar kuat dalam hal memecat Iwan. Ketika pertama kali masuk sekolah, setiap wali murid sudah membuat surat pernyataan, yang intinya: bila ternyata anaknya tidak mematuhi atau menaati ketentuan sekolah, mereka rela anaknya diberi sanksi apa pun. Sementara itu, pihak SMA Swagaya, diwakili oleh Pengacara Lasdin Wias, siap pula menuntut balik. Pihak sekolah, menurut Lasdin, sudah menyiapkan sejumlah pelanggaran yang sudah dilakukan Iwan, lengkap dengan perincian tanggal dan kejadiannya. Kerugian sekolah itu dihargai Rp 400 juta. Yusroni Henridewanto, Laporan Syahril Chili & Yuyuk Sugarman (Biro Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus