OTOKRITIK yang dilemparkan Prof. Dr. Emil Salim tentang lulusan Universitas In -donesia (UI) yang kapitalis masih menghangat. Apalagi, pekan depan, tepatnya 18 -19 Mei, akan ada Munas IV Iluni (Ikatan Alumni Universitas Indonesia). Walau otokritik itu tidak dibahas secara khusus, gemanya diduga akan mewarnai Munas. Bahkan pro dan kontra pendapat Emil Salim itu, sampai pekan lalu, masih mewarnai rubrik surat pembaca di beberapa media massa. Emil memang bukan bicara tanpa alasan. Ketika dihubungi TEMPO lewat telepon internasional, Senin pekan lalu, Emil, yang saat itu berada di tengah konperensi tentang konservasi di World Resources Institute, Washington, memberikan beberapa alasan. Ia mengatakan, pada abad ke-21 ini banyak isu penting, yakni perubahan-perubahan besar yang timbul di masyarakat Indonesia. "Dalam kaitan itu orientasi kemasyarakatan sangat penting," katanya. Menurut Menteri Negara KLH itu, pada 25 tahun kedua 1993-2019 Indonesia akan menghadapi persoalan yang berbeda dibanding dengan 25 tahun pertama. Oleh karena itu, para alumnus harus mencari suatu reorientasi. "Jadi, bukan hanya menjadi ahli ekonomi, ahli hukum, dokter, dan sebagainya. Tapi mereka harus bisa mengembangkan suatu pandangan yang holistik," katanya. Di dalam tahun 1990-an, menurut Emil, setiap masalah itu berhubungan. "Tak bisa puas melihat dokter-dokter hanya nongkrong di Salemba 4, bergaul sesama dokter, hidup mati hanya menjalankan tugas sebagai dokter, dan tak mengerti sedikit pun tentang ekonomi. Begitu juga para ekonom, jangan tahu bidangnya saja," katanya. Jadi, "UI harus menjadi universitas yang menunjukkan holistic outlook, bukan kumpulan dari fakultas. Sekarang, UI terlalu berorientasi pada fakultas," tambahnya. Di dalam faculty oriented itu, katanya, kita terlalu didorong oleh mikro kepentingan, yakni kepentingan yang bersifat sendiri-sendiri. Dalam mengejar kepentingan yang sendiri-sendiri itu, kita terlepas dari pandangan yang holistik dan terlepas pula dari akar masyarakat kita. Akibatnya, ekonom lulusan UI, katanya, kebanyakan bekerja di perusahaan konglomerat atau perusahaan asing. "Jarang sekali saya melihat tamatan UI bekerja di desa terpencil," kata Emil. Karena itulah, di hadapan para alumnus UI, Emil mempertanyakan ke mana para lulusan UI itu. "Memang ada lulusan UI di daerah lain, selain Irian Jaya. Tapi secara proporsional lulusan UGM masih lebih banyak," katanya. Emil memberi contoh, dokter lulusan UI setelah menjalani Inpres kembali ke kota-kota besar. Tentu saja mereka bisa berdalih mau spesialisasi. Tapi kenapa tak kembali lagi ke desa setelah spesialisasi. Untuk memperbaiki itu, menurut Emil, KKN (kuliah kerja nyata) yang kini sifatnya masih sukarela di UI perlu dijadikan program wajib. "KKN itu penting karena bersifat lintas fakultas dan tertuju pada desa-desa," katanya. Selain KKN, Emil menyarankan agar UI mengadakan riset ke kelompok rakyat kecil. Misalnya soal pedagang asongan, urbanisasi, dan kampung kumuh. Kritik Emil itu, menurut Dr. M. Soeryani, Direktur Pusat Penelitian Sumberdaya Manusia dan Lingkungan (PPSML) UI, merupakan cambuk. "Supaya kita melakukan penelitian yang lebih baik lagi," katanya. Penelitian di UI, khususnya PPSML, memang lebih ke Jakarta. Namun, bukan tak menyentuh rakyat kecil. Soeryani memberi contoh. Dari 162 hasil penelitan yang dilakukan staf PPSML, sebagian besar berorientasi rakyat kecil. Penelitian di sumur-sumur penduduk di sepanjang Sungai Ciliwung, misalnya. "Apakah ada orang gede tinggal di sepanjang sungai itu," kata Soeryani. Contoh lain Soeryani menyebutkan penelitian tentang dampak pembangunan tol Jagorawi terhadap kehidupan masyarakat sekitarnya. Menurut Dr. T.O. Ihro-mi, Ketua Lembaga Pengabdian pada Masyarakat UI, ucapan Emil itu benar. Namun, masalahnya di UI tak ada fakultas pertanian dan peternakan atau semacam itu. Lokasi Jakarta berbeda dengan keberadaan universitas lain, yang langsung mampu bersentuhan dengan daerah pedalaman. "Saya kira untuk memperhatikan desa atau rakyat kecil, tak berarti secara fisik terus-menerus kita harus tinggal di desa. Saya sendiri adalah pendukung KKN," katanya. Ini senada dengan apa yang ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo di Kompas, bahwa rangsangan-rangsangan yang dihadapi para mahasiswa UI, sesuai dengan lingkungan metropolitannya, jauh berbeda dari mahasiswa yang lingkungannya adalah suatu kota berskala kehidupan sederhana, seperti Yogyakarta. Menurut Satjipto, lebih mudah bagi mahasiswa UGM dan "universitas daerah" lainnya untuk melihat kepada situasi pedesaan daripada mahasiswa kota. Latar belakang mahasiswa pun berbeda. Mahasiswa UGM lebih dari setengahnya berasal dari "keluarga pedesaan", termasuk pedagang kecil dan pegawai negeri. Sedang mahasiswa UI kebanyakan datang dari keluarga golongan menengah ke atas. Gejala inilah yang dikatakan Emil mendorong sikap bangsawan, atau menak. Kritik Emil bahwa alumnus UI kapitalis ditanggapi dengan tenang oleh Fahmi Idris, bos PT Kodel (Kongsi Delapan), salah satu perusahaan konglomerat. Dalam perkembangan peta dunia swasta sekarang, kata Fahmi, menjadi kapitalis tak ada jeleknya. "Malah bagus. Asal pengertian kapitalis jangan dilihat sisi negatifnya," kata alumnus FE UI itu. Bagi ekonom Dr. Syahrir, yang merisaukan bukanlah menjadi kapitalis atau kerakyatan. Sebab, kapitalis adalah pengertian yang netral. "Tinggal persepsi orang mengartikan kapitalis itu sebagai kaya dan boros atau hemat dan kerja keras," katanya. Gatot Triyanto, Leila S. Chudori, dan Ardian T. Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini