Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jakarta 2000: Mengejar Panjang Jalan

Tahun 2005, jumlah penduduk jakarta 12 juta. agar kemacetan tak makin parah,ditawarkan sistem trans- portasi o-bahn dan kereta api lewat jalan layang. akan dibangun pertokoan bawah tanah.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tahun 2000 nanti, penduduk Jakarta berjumlah 12 juta. Gedung bertingkat semakin menjamur, dan bakal ada pertokoan di bawah tanah. PENYAKIT laten Jakarta, yang paling sulit disembuhkan, apa lagi kalau bukan kemacetan lalu lintas. Nyaris tak ada lagi simpul jalan yang tak macet, terutama waktu jam-jam sibuk- pagi atau sore. Penyebabnya jelas: laju pertumbuhan penduduk 3% setahun, pertambahan kendaraan bermotor 15%, sedangkan kesanggupan Pemerintah DKI menambah ruas jalan cuma 4% per tahun. Tak terhindarkan lagi, 1,5 juta kendaraan bermotor ( separuhnya mobil) kini berjejal di kurang dari 5.000 km jalan yang ada di DKI. Mereka berderet membentuk antrean panjang di lampu-lampu merah. Ironisnya, 80% mobil yang antre itu hanya ditumpangi oleh satu atau dua orang. Porsi mobil yang dinaiki lebih dari empat orang hanya 8%. Maka, jalan tol Gatot Subroto pun, misalnya, yang baru beberapa tahun dipakai, dari dua jalur, terpaksa ditambah satu lagi dengan mengorbankan jalur hijau pemisah jalan. Merajalelanya mobil pribadi membuat lalu lintas Jakarta kewalahan. Maklum, penduduk Jakarta telah mencapai 8,2 juta jiwa, ditambah satu juta lagi penduduk ber-KTP Jakarta, yang bermukim di daerah Botabek (Bogor, Tangerang, dan Bekasi). "Mestinya, Jakarta cukup dihuni 6,5 juta jiwa," kata Herbowo, Wakil Gubernur DKI Bidang Ekonomi dan Pembangunan. Populasi 6,5 juta memberi angka kepadatan seratus jiwa per hektare. Pada kondisi itu, sarana-sarana umum, termasuk jalan, bisa dimanfaatkan warga tanpa harus berebut. "Enak, lengang, suasananya mirip kalau orang-orang lagi mudik Lebaran," tambah Herbowo lagi. Mimpi Herbowo sudah tidak mungkin kesampaian. Bahkan, pada tahun 2005 nanti, warga DKI diperkirakan melonjak jadi 12 juta. Sedangkan warga Botabek sendiri (penduduk Jawa Barat) akan menjadi 11 juta jiwa. Pada saat itu, "Jakarta sudah bukan lagi metropolitan, melainkan megapolitan," ucap Herbowo. Maka, mau tak mau, diperlukan sistem traspor baru agar kemacetan tak makin parah. Terobosan baru ditawarkan oleh Menteri Perhubungan Azwar Anas dan Menteri Ristek Habibie kepada Presiden Suharto, April silam. Kepada Presiden, kedua pejabat itu menawarkan sistem transportasi baru yang disebut O-Bahn, berupa rangkaian bis gandeng yang berjalan di atas track (lintasan) tersendiri, di luar jalur yang ada. Untuk tahap pertama, O-Bahn akan melayani jalur Blok M-Kota. Presiden setuju. Sarana angkutan masal, yang aman dan nyaman, barangkali dianggap bisa menolong Jakarta dari himpitan kemacetan. Fasilitas transpotasi yang kumuh, macet, dan rawan memang menggiring orang Jakarta memaksa diri membeli mobil pribadi. "Padahal, ini pemborosan besar," kata Tb. M. Rais, Kepala Badan Perencana Pembangunan DKI. Proyek O-Bahn ini akan ditangani oleh Citra-Summa, konsorsium yang dibentuk oleh Grup Bimantara dan Summa. Investasinya sekitar Rp 190 milyar. Sebagian besar dana itu bakal terserap untuk membangun jalur khusus yang panjangnya 13,5 km, melewati Jalan Jenderal Sudirman, Haji Mas Mansyur, Tanahabang, Majapahit, terus ke Kota. Investasinya memang besar. Maklum, sebagian besar (75%) lintasan O-Bahn harus dibuat melayang 6 m di atas tanah, selebar 5,2 m, disangga tiang-tiang beton. Dan, menurut maket yang dibikin, track O-Bahn ini terpaksa harus memangsa sebagian jalur hijau di Jalan Sudirman. Dengan kecepatan rata-rata 40 km per jam, O-Bahn bisa mengangkut 20 ribu penumpang per jam. Namun, angka itu dianggap masih terlalu kecil untuk memenuhi kebutuhan transportasi Jakarta tahun 2000. Maka, setelah lima tahun berjalan, bis-bis O-Bahn akan diganti dengan kereta listrik. Transportasi kereta listrik lebih baik, karena konon kapasitasnya bisa mencapai 40 ribu kepala per jam. Perubahan dari O-Bahn ke kereta listrik tak memerlukan banyak investasi baru- tinggal memasang rel dan kabel-kabel listrik. Kereta api lewat jalan layang juga bakal meramaikan suasana Ibu Kota, di sepanjang jalur Manggarai-Gambir-Kota, mulai 1993. Sudah lebih dari 70% jalur kereta layang itu selesai digarap. Maka, jalur lalu lintas di daerah padat, seperti Jalan Diponegoro, Kebon Sirih, Silang Monas, dan Juanda diharapkan bakal lebih lancar. Namun, proyek kereta api layang itu menuntut pengorbanan: bangunan Stasiun Gambir dan Kota, yang antik dan anggun, harus pula dirombak, peronnya dibongkar, dibuat bertingkat. Blok M tak mau ketinggalan menyambut tahun 2000. Selain telah memiliki sejumlah pertokoan mentereng, seperti Blok M Plaza, Blok M bakal ditongkrongi stasiun kereta listrik, daerah ini kini tengah mengambil ancang-ancang memecahkan rekor nasional: membangun pusat pertokoan bawah tanah yang pertama di Indonesia, dan dinamai Blok M Mall. Pertokoan ini akan dibangun persis di bawah terminal bis Blok M lama, yang kini sedang dibongkar. Dalam jangka pendek ini, yang dirasakan memang kesemrawutan. Sekitar 1.400 buah kendaraan umum- bis, bis mini, dan oplet Kopaja- harus mencari tempat ngetem di seputar Blok M. Calon penumpang bingung, dan lalu lintas terganggu. Namun, kalau semuanya sudah rampung, Terminal Blok M seluas 9.000 m2 bakal menjadi pangkalan bis yang bersih dan serba teratur, dan sanggup melayani 250 ribu penumpang per hari, hampir dua kali lipat kapasitas yang sekarang. Penumpang yang mau cuci mata, tinggal turun meniti tangga, menyaksikan gebyar-gebyar barang yang dipajang di lantai basement Blok M Mall. Pertokoan bawah tanah itu terdiri dari dua lantai. Basement I khusus untuk pertokoan, luasnya 12.000 m2. Di bawahnya,basement II seluas 8.500 m2, untuk pertokoan dan bagian lainnya gunakan untuk lantai parkir. Bangunan bawah tanah ini juga memiliki lobi yang luas, diperuntukkan bagi pedagang kecil. Keputusan untuk membangun Mall itu muncul satu tahun silam. Pemda DKI menyerahkan konsesi pembangunannya kepada PT Langgeng Ayom Lestari (LAL), pihak yang juga memenangkan lomba desainnya. Untuk menggarap proyek bergengsi itu, PT LAL menyediakan dana sekitar Rp 70 milyar, hasil kredit dari beberapa bank swasta nasional. Rupanya, pertokoan bawah tanah itu diminati banyak pengusaha. Baru saja proyek dimulai, sudah banyak yang antre mau sewa tempat. Bahkan, 70% ruang yang tersedia telah dipesan, kendati bangunan ini baru akan selesai, paling cepat, dua tahun mendatang. Ongkos sewanya tak bisa dibilang murah, US$ 20-40 per m2 per bulan- harga sewa yang tak kalah mahalnya dengan pusat-pusat pertokoan yang menjulang di atas tanah. Bangunan-bangunan bertingkat, ke atas atau ke bawah, jalan layang, dan sarana transportasi masal memang menjadi cara yang lazim bagi sebuah metropolitan semacam Jakarta meloloskan diri dari belitan kepadatan penduduk. Sebab 650 km2 tanah DKI telah penuh sesak, dan tak pernah melebar. Hijauan kota pun berangsur tersingkir, dan digantikan oleh raksasa-raksasa beton, jalan-jalan beton, real estate, rumah penduduk, dan gubuk-gubuk kumuh. Taman-taman kota pun banyak yang ganti status, dan kini tinggal tersisa 330 ha, 1/20 dari jumlah ideal. Dari jumlah itu, sebagian taman luasnya hanya 300-400 m2, yang tak memungkinkan untuk ditanami pohon besar semacam trembesi atau mahoni, karena dikhawatirkan akan menyita arena bermain anak-anak. Alhasil, yang ditanam hanyalah kerabat akasia- jenis yang cepat tumbuh tapi daunnya tak cepat membusuk- sehingga sering menyumbat got dan riol-riol. Jangan tanya lagi tentang hutan kota. Ibu Kota ini kini hanya punya tiga hutan kota: di Kompleks Kampus UI Depok, sekitar Markas Besar ABRI di Cilangkap, dan di Muara Angke. Celakanya, hutan Muara Angke itu pun kini mulai digusur oleh real estate- konon dipindah ke tempat lain. Sedangkan bekas Lapangan Udara Kemayoran urung jadi hutan kota. Maka, adalah hal yang menggembirakan mendengar Pemda DKI berencana memindahkan arena Pekan Raya Jakarta (PRJ) ke Kemayoran. Areal bekas arena PRJ di Silang Monas itu, kabarnya, akan dikembalikan menjadi taman kota. Sungguh, ini merupakan hadiah ulang tahun yang berharga bagi Jakarta, lebih dari sekadar pasar bawah tanah atau jalan layang. Putut Trihusodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus