Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tanah-tanah tujuh koridor

Harga tanah di jakarta tiap tahun terus melambung. menteri dalam negeri rudini menginginkan kawasan strategis dikuasai pemerintah. ternyata sejumlah tempat strategis dikuasai konglomerat.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta yang "rimbun beton" dijuluki: Los Angeles di daerah tropis. Harga tanah tiap tahun terus melambung. Rudini menginginkan kawasan strategis dikuasai pemerintah. JAKARTA, dengan masa silam hampir lima abad, tumbuh jadi "rimba beton". Kini dengan penduduk sekitar 9,2 juta jiwa di siang hari, dan berkurang 1 juta di malam hari, Jakarta tampak makin kewalahan menghadapi pertambahan warga setiap tahun. Soalnya, lahan perumahan yang tersedia makin lama makin ciut, sudah tak sebanding dengan jumlah penduduk, sementara penyediaan tanah untuk kebutuhan perkantoran juga tak kalah mendesaknya. Akibatnya, kemudian ada yang tergusur di sana-sini. Pelawak S. Bagio, 68 tahun, yang tinggal di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, adalah salah seorang yang tergusur oleh pembangunan Ibu Kota. Ia memang tak lagi bisa mendengar gelak tawa para tetangganya yang terkekeh melihat dagelannya. Di sekeliling rumahnya kini hanya terlihat onggokan puing-puing rumah. Kalau toh mau dibilang ada tetangga, barangkali tinggal penghuni sebuah bengkel mobil yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Tetangga Bagio yang lain sekarang adalah karyawan gedung perkantoran milik Bank Central Asia (BCA) yang menghadap ke Jalan Jenderal Sudirman. "Ini rumah historis saya," kata Bagio dengan nada memelas, berkisah tentang rumahnya seluas 200 meter persegi yang dihuninya sejak 1967. Tak jauh dari rumahnya itu, Bagio punya bangunan 300 meter persegi, yang dijadikannya kantor dan warung tempat istrinya berdagang kecil-kecilan, seperti rokok, gula pasir, dan pasta gigi. Tak lama lagi tempat itu memang bakal tinggal sejarah. Tanah milik Bagio itu bakal dibeli PT Radita Karsa dengan harga sekitar Rp 1,3 juta per meter persegi. Sekalipun mengaku ketiban rezeki, toh Bagio tak bisa menyembunyikan kenangannya yang mendalam atas rumahnya itu. "Kalau nanti pindah, rasanya ada yang hilang," katanya, terharu. Di lokasi rumah Bagio itu bakal berdiri bangunan komersial. Entah itu gedung perkantoran, entah pertokoan, entah hiburan, seperti bioskop, restoran, atau klab malam. Semuanya serba mungkin. Bagaimana tidak. Kawasan Setiabudi itu diapit oleh dua jalan besar- Jalan Sudirman dan Jalan Rasuna Said, yang selama ini dikenal sebagai daerah bisnis di Jakarta dan penuh dengan gedung jangkung menggapai awan. Wajah Jakarta memang berubah banyak. Selain gedung-gedung terus menjulang, juga tampak jalan-jalan layang makin malang melintang. Margaret Scott, redaktur majalah Far Eastern Economic Review, Hong Kong, begitu terkesannya melihat sosok Jakarta yang rimbun dengan hutan beton, sampai-sampai kota berpenduduk padat ini dijulukinya "Los Angeles di daerah tropis". Tampaknya memang tak terhindari kalau Jakarta berubah jadi hutan beton. "Jakarta ini seperti gemrengseng. Orang berebutan mau melakukan investasi di sini. Membangun hotel, perkantoran, perumahan, dan tempat hiburan," kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Herbowo. Sampai akhir Juni 1991 saja sudah ada 1.180.000 meter persegi ruang perkantoran. Akhir tahun ini, melihat kecenderunga yang ada, menurut Michael J. Williams, Direktur PT Procon Indah, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang bisnis properti, diperkirakan areal ruang perkantoran akan bertambah menjadi 1.320.000 meter persegi. Belum lagi terhitung 11 gedung perkantoran baru yang akan rampung tahun depan dengan areal mencapai 258.000 meter persegi. Begitu juga pembangunan hotel yang kini semakin merebak sampai ke pelosok-pelosok Jakarta. Pada 1984, misalnya, baru tercatat 46 hotel berbintang dan 113 hotel nonbintang. Pada awal 1990 jumlahnya sudah melonjak menjadi 54 hotel berbintang dan 126 hotel nonbintang. Belum lagi tempat-tempat hiburan seperti gedung bioskop, diskotek, maupun fasilitas untuk berolah raga yang terus menjamur. Ini semua seolah menjadikan Jakarta sebagai lahan yang gembur buat para investor dalam bisnis properti. Itu, seperti kata Herbowo, bisa dimengerti karena konsumen di Jakarta paling gampang dijaring. Pertumbuhan itu- gedung perkantoran dan tempat-tempat komersial lainnya- tampaknya memang seiring dengan meningkatnya pendapatan penduduk Jakarta. Setidaknya itu tercermin dari munculnya sejumlah pertokoan barang-barang "wah", yang beberapa tahun lalu baru ada di Singapura atau Hong Kong. Tak percaya? Coba mampir ke pertokoan di Plaza Indonesia, di sudut Jalan Thamrin dan berseberangan dengan Hotel Indonesia. Jangan kaget kalau di sana Anda melihat sebuah gaun eksklusif rancangan desainer asal Prancis yang dihargai Rp 7 juta. Juga ada tas tangan untuk wanita buatan Jerman seharga Rp 1,5 juta. Ada dasi seharga Rp 200 ribu. Dan yang agak "murah" ada syal seharga Rp 58 ribu. Di lantai dua, masih di gedung Plaza Indonesia, Anda bakal menjumpai hotel termewah di Indonesia saat ini: Grand Hyatt. Hotel berlantai 26 dengan 450 kamar ini (kamar termurah US$ 200 per malam dan termahal US$ 3.000 per malam) menjanjikan suasana lain dari yang lain. Di sana ada fasilitas olahraga komplet dengan keanggotaan yang dibatasi sampai 1.300 orang. Uang pangkalnya US$ 1.200 dan uang tahunannya US$ 1.000. Kini tercatat 400 warga Jakarta- orang asing dan lokal- masuk daftar tunggu anggota Olympus Club tersebut. Tapi tak semua wajah Jakarta penuh gincu, seperti yang terlihat di kawasan "tujuh koridor": Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Gatot Subroto, Jalan Rasuna Said, Jalan S. Parman, Jalan M.T. Harjono, dan sekitar Monas. Agak di pinggiran sedikit, seperti di sekitar Kelurahan Jembatan Besi, Jakarta Barat, tak ketolongan kumuhnya. Bau lumpur di parit hitam yang mampet dan bau tinja bercampur baur menusuk hidung. Maklum, parit memang menjadi tempat penampungan (yang praktis) untuk semua limbah yang ada. Di kawasan itulah berdiam Memet, 30 tahun, bersama istri dan dua anaknya di sebuah rumah petak seluas 4 x 3 meter dengan kontrak Rp 100 ribu per tahun. Di tempat itu mereka tidur, bermain, memasak, dan menerima tamu. "Soalnya, penghasilan saya cuma pas untuk makan. Bagaimana mau mengontrak rumah yang lebih baik," katanya. Pemuda asal Pandeglang, Jawa Barat, itu tampak tak kecut mencari penghidupan di Ibu Kota. Sebagai pedagang nasi goreng keliling, ia masih optimistis melihat nasibnya bakal berubah di kota ini. Jakarta kini memang tak ubahnya seperti gula yang dikerubungi jutaan Memet lainnya. Maka, kalau ditanya berapa jumlah penduduk DKI Jakarta sekarang, pegawai kantor kependudukan akan menjawabnya secara berseloroh: tergantung waktu, siang atau malam. Kalau siang ditaksir mencapai 9,2 juta jiwa. Malam tinggal 8,2 juta jiwa. "Banyak warga dari luar Jakarta, seperti dari Bogor dan Depok yang siang hari bekerja di wilayah Jakarta," kata Herbowo. Jakarta, luasnya 650 kilometer persegi, sehingga angka kepadatan penduduk menjadi sekitar 12.600 jiwa per kilometer persegi. Bahkan di daerah tertentu mencapai 50.000 jiwa per meter persegi. Jakarta kini memang terasa sesak dan sumpek. Orang mencari dan menerkam setiap jengkal tanah yang ada. Ini memang terlihat dari transaksi jual-beli tanah yang tercatat di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang terus meningkat dua tahun terakhir ini. Periode 1988-1989 lalu, misalnya, tercatat 21.680 transaksi. Tahun berikutnya 32.405 transaksi. "Ini belum termasuk transaksi di bawah tangan," kata Sutardja Sudradjat, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) BPN DKI Jakarta. Maka, hukum pasar klasik sering berbicara. Kalau permintaan lebih banyak dari penawaran, otomatis harga jadi melangit. Ambil contoh di salah satu kawasan "tujuh koridor", seperti di sisi Jalan Rasuna Said, atau lebih dikenal sebagai Kuningan, yang punya nilai emas itu. Awal 1970-an harga tanah masih Rp 2.500 per meter persegi. Dalam lima tahun melonjak Rp 17.500 per meter persegi. Awal 1980 harganya mencapai Rp 200 ribu per meter persegi. Menurut kabar terakhir harga tanah di sekitar itu meroket tak tanggung-tanggung: sampai ada yang Rp 5 juta per meter persegi. "Harga tanah di kawasan strategis memang cenderung mening- kat," kata Kepala Badan Pertanahan Nasional Soni Harsono. Bayangkan, sebidang tanah kosong yang tak dibangun apa-apa di atasnya ternyata harganya bisa dipatok mahal. Ini, menurut Soni, karena di sekitarnya sudah ada lingkungan infrastruktur yang sudah jadi. "Fasilitas dan utilitasnya baik. Ada jalan raya, telepon, listrik, dan sebagainya," katanya. Tentu bukan kawasan Kuningan itu saja yang dimaksud sebagai kawasan strategis. Di Jakarta ini, menurut Gubernur Wiyogo, kawasan strategis lainnya, selain "tujuh koridor" tadi, adalah daerah-daerah yang kini sedang dalam tahap awal pembangunan, seperti Pejompongan, Tanah Abang, Mampang Prapatan, Kebon Sirih, Menteng Dalam, Manggarai, dan Kapuk. Juga di sekitar jalan lingkar luar Jakarta (outer ring road). Itu, misalnya, terlihat dari munculnya sejumlah gedung apartemen dan perkantoran di kedua sisi jalan tersebut. Lokasi lainnya yang juga punya kadar komersial tinggi adalah kawasan yang memiliki akses ke perairan laut. Di sana tak cuma ideal untuk tempat rekreasi umum, tetapi juga bisa dimanfaatkan untuk permukiman yang eksklusif. Tengok saja kawasan Pluit dan Ancol, yang kini terus berkembang menjadi "kota dalam kota". Sudah bukan rahasia lagi, memang, kalau sejumlah tempat yang strategis itu kini sudah dikuasai sejumlah kecil konglomerat. Sebut saja Kelompok Liem Sioe Liong, yang antara lain memiliki gedung perkantoran raksasa, seperti Wisma BCA, Central Plaza, dan Wisma Indocement di Jalan Jenderal Sudirman. Atau raja real estate Ciputra yang antara lain menggenggam kompleks perumahan mewah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Melihat perkembangan itu, maka pantas kalau Menteri Dalam Negeri Rudini waswas. Dalam sebuah seminar tentang tanah di Jakarta, awal Juni lalu, ia mengingatkan lagi tentang arti zone strategis yang peruntukannya ditetapkan untuk kepentingan umum. "Pencantuman ini dirasakan sangat perlu, mengingat zone-zone strategis di perkotaan menjadi rebutan para investor," katanya. Celakanya, kata Menteri Rudini lagi, penguasaan kawasan strategis ini tampaknya didorong oleh keinginan eksklusif dari kelompok-kelompok tertentu untuk memilikinya. Karena persaingan antar-golongan kaya ini juga yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga tanah secara gila-gilaan. Dan kemudian merembet ke mana-mana, dan mengakibatkan kenaikan harga tanah di mana-mana. Tak mengherankan kalau para spekulan ikut bergentayangan mencari rezeki dari tanah Jakarta. Kepala BPN Soni Harsono menyodorkan fakta: ada 40% tanah kosong (yang belum dibangun) di kawasan strategis di Jakarta. "Tanah itu dikuasai para spekulan yang menunggu harga tanah naik, baru dijual," kata Soni. Rudini pun melihat, kalau kawasan strategis ini dimiliki orang-orang tertentu saja hanya akan memberikan peluang kepada kelompok tertentu tersebut mencari keuntungan dengan manipulasi harga tanah. Akhirnya, instansi pemerintah ditempatkan pada posisi kelas dua, kalah bersaing dengan swasta karena terbatasnya dana. Maka, Rudini menegaskan betapa perlunya dikeluarkan ketentuan yang menetapkan tanah strategis pada dasarnya harus dikuasai pemerintah. Ahmad K. Suriawidjaja, Bambang Sujatmoko, Ivan P. Harris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus