Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tanah yang menjadi emas

Tanah di jakarta membawa keberuntungan, menaikkan gengsi dan memercikkan konflik.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tinton Suprapto menuntut ganti rugi karena sirkuit motor Ancol digusur. Di Pondok Indah, ada surga milyaran. Kuningan masih sengketa. KETIKA Ibu Kota tumbuh beringas. Tanah berubah menjadi emas. Membawa keberuntungan, menaikkan gengsi dan juga memercikkan konflik. Perubahan wajah tanah itu karena penduduk bertambah banyak. Juga kondisinya yang strategis serta perhitungan bisnis. . Bukit Super Elite DI jantung Pondok Indah- permukiman terelite di Jakarta -- ada kompleks perumahan super-elite. Letaknya ngumpet. Penghuninya warga eksklusif. Namanya: Bukit Golf. Tak sembarang orang boleh bertamu. Satu-satunya jalan masuk dijaga beberapa satpam. Sebelum portal dibuka, ia akan bertanya, mau ke mana, dari mana, dan sebagainya. Bagi pejalan kaki, pengendara motor, termasuk pengendara mobil butut, nada tanyanya rada sangar. Plus mesti meninggalkan kartu identitas. Nasib pengendara mobil sedan lebih baik, karena satpam cuma melongok sekilas. Memasuki kompleks yang beraspal dengan tatanan pepohonan yang terawat rapi, berderet rumah hebring. Luar biasa mewah, edan besarnya. Berbagai ragam arsitekturnya. Ada yang disangga pilar-pilar kukuh tembus sampai ke lantai dua. Ada yang jarak pagar dengan rumah begitu jauh, hingga membutuhkan beberapa menit sebelum mencapai pintu rumah. Pada beberapa bangunan, halamannya tak sekadar taman, tetapi hamparan lapangan golf. Dengan kata lain, luas halamannya bisa beribu-ribu meter persegi. Padahal, harga tanah di sini Rp 850 ribu sampai Rp 1,25 juta per m2. Sesuai dengan kaveling yang tersedia, minimal peminat mesti membeli tanah 2.000 m2. Alhasil, calon penghuni minimal mesti punya Rp 2,5 milyar. Itu baru tanah, belum harga bangunan. "Itu sebabnya kami hanya menawarkan pada calon pembeli yang dianggap eksklusif," kata Ika, dari kantor pemasaran PT Metroplitan Kencana. Dari 100 kaveling yang tersedia, semua sudah ludes. Ada penghuni yang membeli dua-tiga kaveling sekaligus. Satu buat rumah, lainnya buat lapangan tenis dan kolam renang pribadi. Meski di depan sudah ada satpam, beberapa rumah masih perlu memasang pos jaga. Para satpam perumahan ini- rata-rata punya motor pribadi- ekstra-awas terhadap orang yang lalu-lalang. Kalau ketahuan ada yang mengamati rumah majikannya, ia akan berteriak dari pos jaga, "Mau cari siapa?" Setiap malam ada mobil patroli dengan bak terbuka. Buat warga Jakarta yang sudah penat dengan kebisingan kota, tempat ini sebuah surga. Jauh dari keramaian, nyaman, dan aman. Berembusan angin semilir. Sesekali terdengar kicauan burung. Pendek kata suasana sangat asri. Sudwikatmono, Adhyatma, Ciputra, tercatat sebagai warga Bukit Golf. Ciputra tinggal di kawasan tersebut sejak tahun 1983. Rumahnya dibangun bergaya country. Tak heran jika material bangunan nya pun menggunakan kayu jati, ramin, kayu hitam, batu merah dari Gunung Merapi, dan marmer Lampung. Di dalam rumah yang luas bangunannya 900 m2 di atas tanah seluas 5.000 m2, tersimpan 100 lukisan, 80 tempayan, dan 20 patung. Ciputra sangat menikmati hidup di daerah itu. "Hubungan dengan tetangga baik. Kalau ada yang jarig, kita datang ke rumahnya ramai-ramai," ujarnya gembira. . Bisnis Lari Maraton BANYAK orang menganggapnya gila, ketika tahun 60-an ia berniat menyulap puluhan hektare rawa Ancol menjadi taman rekreasi. Tapi nyatanya, proyeknya berjalan mulus. Bahkan lokasi yang dulunya dijuluki sebagai tempat buang anak itu menjadi pusat rekreasi terluas di Asia Tenggara. Kini Ciputra kembali menggebrak dengan ide mencengangkan. Membangun kawasan baru di Kapuk-Angke. Jelas ini bukan pekerjaan gampang. Wilayah pantai utara itu, di samping teramat kumuh, ada puluhan hektare hutan bakau. Jalan menuju Kapuk sangat buruk. Lubang-lubang sebesar kubangan kerbau, debu, dan kemacetan kendaraan proyek dan angkutan umum yang lalu-lalang, melahirkan kejengkelan tersendiri. Jika mau menyisir lewat sisi jalan tol Bandara Soekarno-Hatta, meski lebih mulus, untuk mencapai pintu Kapuk, mesti menyusur belasan kilometer. Permohonannya untuk membuka jalan Kapuk ke jalan tol bandara ditolak pemerintah. Tapi Ciputra masih bisa berharap, karena Bina Marga akan membangun jalan tol Grogol-Kapuk, yang menurut rencana bakal rampung tahun 1994. Lagipula, bukan Ciputra namanya, kalau surut karena kendala itu. Untuk mewujudkan gagasan membangun kota satelit baru di pantai utara Jakarta itu, PT Metropolitan Developer- salah satu perusahaan real estate miliknya- harus mengadakan reklamasi (penimbunan laut untuk perluasan daratan) seluas 3.000 sampai 4.000 ha, yang memanjang dari Tanjungpriok sampai Muara Kapuk. Sejak dua tahun silam pengurukan sudah berlangsung. Wilayah yang tadinya berupa empang, rawa, tambak bandeng, dan lahan tumpang sari itu, 30%-nya sudah ditimbuni tanah merah. Di kawasan seluas 1.200 ha itulah, kelak akan dibangun kawasan perdagangan, permukiman, dan wisata. Model rumah di sini akan meniru Pondok Indah. Lengkap dengan kompleks Bukit Golf-nya. Khusus untuk membangun lapangan golf itu, diperlukan ratusan ribu kubik tanah hitam, yang diangkut dari Serpong. Lapangan golf prioritas. Harus rampung 1992. Di kawasan yang kelak bernama Pantai Kapuk Indah itu juga dibangun dua pelabuhan yacht (kapal pesiar). Memang, Ciputra butuh modal besar. Setidaknya ia perlu Rp 4 trilyun. Tanah di kawasan itu masih murah, Rp 3.000 per m2. Dan sejak kawasan itu mulai dibangun, harga tanah mendadak naik. Sekarang kata penduduk, Rp 80.000 per m2. Tak boleh kurang. Ada yang mempertanyakan nasib hutan bakau di sekitar wilayah pantai itu. Sebab, hutan bakau, menurut staf Asisten II Menteri Negara KLH Sudariyono, berfungsi mencegah abrasi (pengikisan pantai oleh air laut) dan berfungsi sebagai tempat pemijakan (nursery ground) bagi udang dan ikan. Maka, bisa dibayangkan jika hutan bakau sebagai habitat satwa liar itu lenyap. Namun, Ciputra memang tak hendak membabat seluruh hutan bakau. Setidaknya 25 ha hutan bakau akan dipertahankan. Dan kawasan hutan itu ditambah dengan 110 ha hutan wisata, yang dilengkapi laboratorium botani dan taman reptil. Monyet-monyet yang sejak dulu mukim di situ pun dilindungi. Menurut Kakanwil Kehutanan DKI Jakarta Agus Thobrani, hutan bakau di kawasan Muara Angke harus dipertahankan, karena itulah kawasan hutan bakau asli yang tersisa di pantai Pulau Jawa. Lokasi Kapuk-Angke itu semula milik Departemen Kehutanan. Tapi departemen ini menilai kawasan tersebut terbengkalai, antara lain sistem tumpang sari tak berjalan. Bahkan banyak hutan bakau yang rusak. Maka, datangnya proyek Ciputra dianggap angin baik. Apalagi Ciputra bersedia mengganti kawasan itu dengan sistem tukar guling. Departemen Kehutanan mendapat tanah di Munjul dan Rumpin, Bogor, yang kelak akan dikembangkan sebagai hutan wisata, serta Pulau Pancalirang, di ujung utara Kepulauan Seribu, yang akan diubah menjadi taman nasional. Ciputra sangat optimistis proyeknya akan semulus proyek-proyek sebelumnya. "Business property itu seperti orang lari maraton. Baru bisa dinikmati setelah jangka panjang," ujarnya tertawa. . Pacaran Hampir Final SEJAK awal pembangunannya, sekitar tahun 1970, sirkuit balap mobil di Ancol, Jakarta Utara, menarik perhatian. Bukan saja karena lokasinya terletak di dalam arena rekreasi Taman Impian Jaya Ancol, tapi juga karena olahraga balap ketika itu masih baru. Banyak orang penasaran. Keran sponsor mengucur dari mana-mana. Astra dan PT Indocement misalnya, menyumbang Rp 30 juta kepada PT Jaya Ancol Sirkuit- pengelola pembangunan sirkuit. Sedangkan sisanya Rp 120 juta ditanggung PT Pembangunan Jaya. Demikian sejarah sirkuit itu, menurut Ir. Ciputra, Presdir PT Jaya. Tinton Soeprapto, pembalap dengan segudang prestasi, ternyata punya cerita lain. Oleh Gubernur DKI- waktu itu- Ali Sadikin, Tinton pernah dijadikan maskot pembalap. Ini taktik untuk menyedot pembalap asing ke Jakarta. Setelah Tinton dan konco-konco sesama pembalap setuju menggunakan kawasan Ancol sebagai arena balap, diperlukan dana untuk membangun sirkuit seluas- ketika itu- 40 ha. Tak diduga, sponsor berhamburan. Pertamina, Yamaha, Honda, dan Suzuki tercatat sebagai sponsor utama. Sirkuit itu sendiri semula dikelola BPP Ancol. Pernah dipegang Herman Sarens Sudiro. Tinton kebagian tahun 1983. Sampai kemudian Gubernur Soeprapto mengirim desposisi kepada Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI)- saat itu- Hutomo Mandala Putra, yang akrab dipanggil Tommy. Isinya, boleh menggunakan sirkuit Ancol, sampai ada penggantinya. Pengelola bukan pemilik. Maka, Ciputra tetap mengklaim kawasan itu sebagai haknya. Ia memang tak pernah berniat melepas lahan itu. "Sirkuit itu cuma dipinjamkan. Jadi, sementara sifatnya," ujar bos real estate itu. Menurut perhitungannya, setelah sepuluh tahun, kawasan itu tak lagi ideal sebagai arena balap. Setelah satu dasawarsa, sirkuit dikepung perumahan mewah milik Jaya Real Estate. Luas arena yang semula 40 ha, menciut jadi tinggal 12 ha. Polusi asap kenalpot dan deru mesin balap mengoyak telinga warga permukiman. Sarana di dalam arena sendiri, banyak yang rusak. Barangkali satu-satunya yang masih mulus cuma lintasan aspal. Tiga tahun lalu, Ciputra berniat mengambil alih sirkuit. Tapi Tinton, sebagai pembalap yang punya jasa mengembangkan sirkuit itu, menuntut ganti rugi. "Lho, petani penggarap saja dapat ganti rugi kalau tanahnya diambil, kenapa saya tidak," katanya dengan nada tinggi. Apalagi, selama mengelola sirkuit, ia diwajibkan membuat lima pertandingan tiap tahun. "Bayangkan, kalau setiap pertandingan saya mengeluarkan Rp 5 milyar, berapa uang saya keluar?" IMI sendiri memang sudah merencanakan membangun sirkuit baru di daerah Sentul, Cibinong, sekitar 40 km dari Jakarta. "Tapi kami tak bisa membangun kalau tidak ada kesepakatan ganti rugi," kata Tinton, yang juga ketua IMI. Itulah yang memantik konflik. Ciputra kemudian mahfum aturan main. Meski tanah itu miliknya, ia bersedia urun dana. Apalagi dana untuk membangun sirkuit Sentul, yang luasnya 60 ha (panjang lintasan 4,8 km dan lebarnya 15 m), menelan biaya sekitar Rp 40 milyar. Meski, kabarnya, seluruh industri kendaraan bermotor bersedia membantu. Berapa besar ganti rugi yang akan diberikan Ciputra? " Ibaratnya kami sedang pacaran. Hampir final," kata Tinton, lega. Ciputra pun plong. Setidaknya mulai tahun depan, ia sudah bisa memperluas taman impiannya. Sekitar Rp 200 milyar lagi ia perlukan untuk memanjakan warga Jakarta yang haus hiburan. . Air Hitam di Senayan LOKASINYA di belakang Gelora Senayan, dekat lapangan golf. Kompleks pabrik seluas 14 ha yang dibangun pada 1959 itu kini sudah dilirik empat investor. Daerah itu sangat strategis: dekat pusat bisnis dan perkantoran. Lagi pula, untuk mendapatkan tanah seluas itu di Jakarta, bukan perkara mudah. Daerah itu sudah padat penduduk. "Sesuai rencana tata kota, di areal itu akan didirikan bangunan yang coverage-nya rendah, yakni di bawah 20 persen," tutur seorang pejabat tata kota. Artinya, bila luas tanah 1.000 meter, yang 200 meter adalah bangunan, sedang sisanya tumbuh-tumbuhan. Lingkungan di sekitar kawasan itu, menurut Ketua Tim Relokasi Industri Sandang I Patal Senayan, Ilchaidi Elias, sekarang tercemar. Airnya hitam dan beracun, karena rembesan limbah bahan tekstil yang tak bisa larut dalam air. "Kalau suatu saat you main golf di Senayan, akan terasa bau menyengat," katanya kepada Iwan Qodar dari TEMPO. Dari empat calon investor, belum satu pun yang disetujui tim relokasi. "Tuntutan kami jangan sampai kepindahan pabrik memacetkan produksi. Kami juga minta dibangunkan pabrik lengkap dengan prasarananya, dan ada jaminan tak akan kena gusur lagi dalam tempo 100 tahun," kata Elias. . Kolam Renang Cendol MATAHARI menjelang temaram. Beberapa anak belasan tahun, dengan rambut basah, sambil menjinjing tas plastik, tergopoh keluar pintu kolam renang di kompleks gelanggang olah raga mahasiswa Soemantri Brodjonegoro, Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan. Sebagian anak itu langsung menyerbu warung bakso dan rujak yang mangkal di pelataran. Sedangkan lainnya berlarian bercanda ria, di rerumputan yang meliar. Suasana itu sebentar lagi agaknya tinggal nostalgia. Karena kompleks seluas 13,2 ha di kawasan perkantoran elite metropolitan milik Pemda DKI Jakarta itu hampir pasti akan terkena "peremajaan", disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Sudah ada dua perusahaan swasta raksasa yang meminang: PT Bakrie Nusantara Corporation dan PT Dharma Alumas Sakti. Mereka akan menyulap dua kompleks (gelanggang olahraga dan pusat perfilman) yang mulai kumuh itu menjadi lebih gemebyar. Di situ akan dibangun perkantoran Pemda DKI, hotel, perkantoran, serta sarana olahraga dan kesenian. "Selama ini kondisi kompleks itu kurang terawat. Kita ingin menata agar lebih optimal, seperti lingkungan di sekitarnya," tutur seorang pejabat di Pemda DKI. Pihak Pemda kini sudah menyusun draf kerja sama, tapi hingga pekan ini kesepakatan belum tercapai. Bentuk kerja sama yang diinginkan Pemda memakai sistem BOT (build, operate, and transfer). Tapi, kabarnya, PT Dharma Alumas Sakti lebih suka dengan cara BOO (build, operate, and own). "Masing-masing sedang mempelajari memorandum of understanding. Karena menyangkut proyek besar, jadi banyak sekali yang harus diperhatikan," kata sumber itu. Pemda juga minta agar unit-unit kegiatan yang ada di dua kompleks itu fungsinya tetap dipertahankan. Selama ini, di kompleks gelanggang olahraga yang diresmikan Presiden Soeharto 20 Agustus 1975 itu, tersedia fasilitas cukup lengkap. Antara lain lapangan sepak bola, tiga lapangan bulu tangkis, sebuah lapangan basket, tiga lapangan bola voli, tiga kolam renang, dan gedung serbaguna. Sementara itu, di kompleks perfilman, yang diresmikan Ali Sadikin 20 Oktober 1975, terdapat kantor pusat perfilman dan sinematek yang menyimpan film-film dokumentasi sejarah. Aburizal Bakrie, Direktur PT Bakrie Nusantara Corporation, berjanji tetap akan mempertahankan fungsi yang ada di dua kompleks itu, jika perusahaannya ditunjuk sebagai pengelola. "Sumber pendanaan akan diambil dari usaha komersial yang ada di kompleks itu," kata Aburizal kepada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Karena itulah ia lebih suka menyebutnya sebagai "revitalisasi". Maksudnya, memvitalkan kembali kegiatan yang ada di situ. Investasi yang diperlukan, berdasarkan kalkulasi sementara Aburizal, sekitar Rp 250 milyar. "Saya mengharapkan bisa mengontrak 30 tahun. Setelah itu, tergantung perjanjian nanti," katanya. Bagi Aburizal, dunia olahraga bukan hal baru. Lewat bendera Pelita Jaya, ia mengelola enam cabang olahraga: sepak bola, tenis, voli, renang, basket, dan bulu tangkis. Selain itu, ada dua stadion dikelolanya: di Lebak Bulus dan Sawangan. Cuma ada satu hal yang dikhawatirkan Yudi Soetoyo, Kepala Gelanggang Olahraga Mahasiswa Soemantri Brodjonegoro, seandainya tempat itu nanti berubah wujud: masih bisakah anak-anak tadi bersenda gurau sambil mengangkat kaki di bangku tukang bakso kaki lima? Menurut Yudi, tempat itu selama ini menjadi milik golongan kelas menengah ke bawah. Karcis kolam renang, misalnya, hanya Rp 500 per lembar. Saking murahnya, setiap hari rata-rata dikunjungi 1.000 orang, sebagian besar anak-anak. "Mirip kolam renang cendol," komentar seorang pelanggan. . Satu Tanah Dua Tuan SEJAK Februari lalu, tanah seluas 516.832 m2 di kawasan Karet Kuningan dan Kuningan Timur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, bertukar-tukar tuan. Pagar sengnya yang semula putih menjadi hijau bergaris merah. Ketika putih, tuannya Proyek Pengembangan Lingkungan Kuningan (PPLK), setelah hijau-merah, Yayasan Bhakti Nusantara Indah. Banyak pihak jadi bingung. Kepala Badan Pertanahan Nasional Soni Harsono sudah menegaskan bahwa tanah itu milik Departemen Keuangan. Statusnya jelas dengan keluarnya SK Mendagri tahun 1982 tentang penguasaan kembali tanah negara eks eigendoom verponding nomor 7267, dan tanah negara bekas hak garap yang sudah berakhir jangka waktunya. Setelah itu, muncul lagi SK Mendagri tanggal 10 Agustus 1983. Departemen Keuangan ditunjuk sebagai pelaksana konsolidasi tanah di daerah itu, dengan membentuk PPLK, yaitu proyek pembangunan fasilitas untuk korps diplomatik. "Aturannya memang di daerah itu untuk kawasan diplomatik, tidak bisa diubah lagi," ujar Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Sebagai pelaksana proyek adalah PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), sebuah BUMN di Departemen Keuangan yang bertugas membenahi BUMN-BUMN yang tidak sehat. Untuk pembangunan ini, RNI bekerja sama dengan anak perusahaan Bimantara, PT Abadi Guna Papan Group, di bawah pimpinan Bambang Trihatmodjo dan Indra Rukmana. Tapi tanah Departemen Keuangan seluas 34 ha dari 51,6 ha yang ada diklaim oleh Yayasan Bhakti Nusantara Indah. Sejak 15 Desember tahun lalu, yayasan yang diketuai oleh Siti Hardiyanti Indra Rukmana ini membuat pagar hijau-merah. Tapi aparat kantor Wali Kota Jakarta Selatan mencoba menurunkan papan nama yayasan itu, 20 Februari lalu. Baru enam hari, papan nama sudah berdiri lagi, dijaga ketat oleh aparat keamanan. Di atas tanah itu, yayasan akan membuat sebuah lokasi industri kecil sehingga para industriawan itu bisa berkarya, menjual, dan berpameran. Tanah sudah dibeli akhir tahun 1989. Menurut sebuah sumber, yayasan terkena kasus penipuan. Mereka membeli lahan itu dari mafia tanah Indarto alias Ahin dengan harga Rp 70 ribu per meter persegi. Padahal, pasaran di daerah elite itu sudah di atas Rp 300 ribu per meter persegi. Jadi, tak masuk akal. "Tanah itu tetap milik Departemen Keuangan. Yayasan harus mengembalikan tanah yang dibeli pada penjual," tutur Soni Harsono, tandas. Sedangkan pihak yayasan masih ngotot itu miliknya. Kalau memang tak mendapatkan yang di sana, mereka berharap bisa menerima di kawasan Kuningan lain. Wiyogo sendiri tidak ingin terjadi bentrokan di lapangan, dan penyelesaiannya akan dikoordinasikan di tingkat atas. Rapat koordinasi sudah dilakukan 7 Maret lalu, dipimpin oleh Dirjen Moneter Departemen Keuangan Oskar Surjaatmadja. Masalah ini nampaknya akan diselesaikan secara baik-baik, tapi belum jelas bentuknya. Diah Purnomowati, Linda Djalil, Jalil Hakim, Sri Pudyastuti R, Ivan Haris, Aries Margono, Iwan Qodar Himawan, dan Bambang Soedjatmoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus