Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jaksa Kesulitan Eksekusi Vonis Kebiri Kimia

Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi eksekutor.

26 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
M. Aris diamankan di Polres Mojokerto, Oktober, 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, kesulitan mencari rumah sakit yang bersedia menjadi eksekutor vonis kebiri kimia terhadap terpidana kasus pemerkosaan terhadap anak. Salah satu penyebabnya, rumah sakit di Mojokerto belum ada yang bersedia menjadi eksekutor vonis tersebut. "Saat ini kami belum menemukan rumah sakit yang bersedia melakukan tindakan kebiri kimia," kata Kepala Seksi Intelijen dan juru bicara Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu, Sabtu lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majelis hakim Pengadilan Tinggi Surabaya menjatuhkan vonis 12 tahun penjara, denda Rp 100 juta, serta kebiri kimia terhadap M. Aris, 20 tahun. Warga Desa Sooko, Mojokerto, tersebut dinyatakan terbukti memperkosa sembilan anak sejak 2015 hingga 2018. Keputusan Pengadilan Tinggi Surabaya itu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mojokerto. Putusan banding tersebut sudah final atau inkrah karena Aris tidak mengajukan kasasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vonis pidana penjara yang diputus majelis hakim lebih ringan lima tahun dari tuntutan jaksa yang menuntut terdakwa 17 tahun penjara. Namun hakim memberi pidana tambahan yang tidak ada dalam tuntutan jaksa, yakni kebiri kimia.

Nugroho mengatakan hukuman kebiri kimia ini adalah yang pertama di Mojokerto dan Jawa Timur. Rumah sakit dan tenaga kesehatan di Mojokerto belum ada yang berpengalaman menjadi eksekutor vonis kebiri kimia. "Di Mojokerto baru kali ini," kata Nugroho.

Ikatan Dokter Indonesia atau IDI menyatakan tidak bersedia menjadi eksekutor hukuman kebiri kimia. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar IDI, Adib Khumaidi, mengatakan eksekusi kebiri kimia bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran yang berlaku internasional.

"Sikap IDI tetap sama. Bukan menolak hukumannya, tapi IDI menolak menjadi eksekutornya karena melanggar sumpah dan etika kedokteran," kata Adib kepada Tempo, kemarin.

Adib menjelaskan bahwa disiplin dan etika kedokteran ini melekat pada profesi dokter di mana saja. Dokter-dokter yang tak bergabung dengan IDI juga terikat dengan etika ini, begitu pula dokter kepolisian dan militer. "Profesi dokter itu melekat di mana saja. Sumpah dan etika kedokteran itu jiwanya profesi dokter," kata spesialis ortopedi dan trauma ini.

Adib mengaku belum tahu siapa yang akan mengeksekusi hukuman tersebut. "Tahun 2016 pernah ada pembahasan harmonisasi dalam peraturan pemerintah, tapi saya tidak tahu kelanjutannya," ucapnya.

Sikap menolak menjadi eksekutor kebiri kimia itu sudah disampaikan IDI sejak 2016 ketika pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu inilah yang mengatur ihwal pemberian kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mengapresiasi majelis hakim Pengadilan Negeri Mojokerto dan Pengadilan Tinggi Surabaya yang menjatuhkan hukuman kebiri kimia kepada Aris. Alasannya, Aris tidak hanya melakukan kejahatan yang luar biasa, tapi juga mengulangi kejahatan tersebut.

Wakil Ketua KPAI, Retno Listyarti, mengatakan lembaganya berharap hukuman kebiri kimia itu dapat memberikan efek jera sehingga kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak bisa ditekan. Putusan pengadilan itu juga bakal menjadi acuan bagi hakim-hakim lainnya yang menangani perkara pemerkosaan atau kekerasan seksual terhadap anak. "Hukuman ini juga bisa menjadi yurisprudensi hakim lain dalam kasus kejahatan seksual pada anak-anak," kata dia, kemarin.

BUDIARTI UTAMI PUTRI | ISHOMUDDIN | AGUNG SEDAYU


Agar Tercipta Efek Jera

Aturan mengenai hukuman kebiri ada dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan pemerintah yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 25 Mei 2016 itu memasukkan hukuman kebiri kimia sebagai hukuman tambahan untuk menciptakan efek jera sekaligus mencegah terjadinya kekerasan seksual pada anak.

Target Hukuman Kebiri Kimia

Pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang menimbulkan korban lebih dari satu, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal bisa dipidana mati, seumur hidup, atau pidana paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Terhadap pelaku dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. (Pasal 81 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)

Mekanisme Hukuman Kebiri Kimia

Kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik dikenakan untuk jangka waktu paling lama dua tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok. Pelaksanaan hukuman tersebut di bawah pengawasan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Selain itu, pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi. (Pasal 81A Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)

Alasan Munculnya Hukuman Kebiri Kimia Untuk mengatasi fenomena kekerasan seksual terhadap anak, memberi efek jera terhadap pelaku, dan mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, pemerintah perlu menambah pidana pokok berupa pidana mati dan pidana seumur hidup, serta pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Selain itu, perlu menambahkan ketentuan mengenai tindakan berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi. (Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak)

Alasan IDI Menolak Menjadi Eksekutor Hukuman Kebiri Kimia

Dianggap bertentangan dengan sumpah, etika, dan disiplin kedokteran.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus