Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Paket bantuan peralatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terus disalurkan ke sekolah-sekolah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menggelontorkan anggaran sebesar Rp3,7 triliun untuk pengadaan alat-alat TIK guna mengakselerasi program digitalisasi sekolah atau digitalisasi pendidikan pada 2021.
Dana senilai Rp3,7 triliun itu berasal dari dua alokasi. Pertama berasal dari anggaran Kemendikbudristek (APBN) senilai Rp1,3 triliun. Kedua, sebesar Rp2,4 triliun dari Dana Alokasi Khusus Fisik (merupakan anggaran dari pemerintah pusat yang ditransfer ke pemerintah daerah).
Anggaran triliunan itu diperuntukkan belanja laptop dan peralatan TIK lainnya untuk kebutuhan sekolah mulai dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SLB yang akan disalurkan hingga Desember 2021.
"(Bantuan laptop dan peralatan TIK) yang dananya berasal dari DAK, sudah 90 persen (tersalurkan). Alokasinya dilaksanakan oleh Pemda," ujar Kepala Biro Perencanaan Kemendikbudristek, M. Samsuri, Rabu, 13 Oktober 2021.
Pemerhati pendidikan dari Vox Point Indonesia, Indra Charismiadji mengingatkan agar program digitalisasi sekolah ini tidak sebatas pengadaan laptop dan peralatan TIK semata. Ia menagih Kemendikbudristek mematangkan rencana induk program Digitalisasi Sekolah.
"Jangan cuma bagi-bagi laptop saja. Digitalisasi pendidikan itu harus ada masterplan-nya," ujar Indra saat dihubungi Tempo, Rabu, 13 Oktober 2021.
Ia menyebut ada tiga hal yang mesti dimuat dalam rencana induk digitalisasi pendidikan, yakni infrastruktur, infostruktur dan infokultur. Ia mencontohkan program digitalisasi pendidikan di Malaysia yakni 1Bestarinet, gagal karena tidak memperhatikan infokultur.
Program yang menelan biaya hingga Rp14 triliun untuk menyediakan konektivitas internet dan menciptakan lingkungan belajar virtual pada 10.000 sekolah di Malaysia itu dihentikan pemerintah Malaysia pada 2019. Sebab, berdasarkan hasil audit, hasilnya jauh di bawah harapan. Pengadaan laptop chromebook dan Learning Management System (LMS) menjadi bagian dari proyek itu.
"Mereka saja sudah ada masterplan, tapi karena kurang di infokultur, bisa gagal karena SDM-nya tidak disiapkan masuk ke sistem digital. Bagaimana dengan kita? Kita baru belanja-belanja saja, tidak punya rencana induk sama sekali," ujar Indra.
Ia meminta pemerintah belajar dari contoh sukses Singapura. Mereka membuat ICT Masterplan in Education sejak 1997. "Bayangkan, Singapura negara yang kecil itu saja punya perencanaan matang. Sementara kita, yang memiliki 17.000 pulau dan 260.000 lebih sekolah serta 50 juta siswa, tidak memiliki perencanaan sama sekali," tuturnya.
Ketua Umum Jaringan Sekolah Digital Indonesia, Muhammad Ramli Rahim menyebut, tantangan utama menuju digitalisasi pendidikan adalah sikap konservatif sebagian guru. Ia menyatakan pandemi Covid-19 sudah memaksa guru yang sebelumnya tidak merasa memerlukan teknologi digital, kini menjadi membutuhkan.
"Sehingga akselerasi program digitalisasi terbantu. Akan tetapi masih banyak juga teman-teman yang belum bisa berubah, masih seperti dulu," ujar Ramli saat dihubungi, Ahad, 10 Oktober 2021.
Produk Teknologi Informasi dan Komunikasi dari Kemendikbud Ristek dalam program digitalisasi pendidikan.
Survei teranyar JSDI menunjukkan 61 persen guru tidak mampu menggunakan teknologi untuk pembelajaran. Kemudian, sebanyak 29,7 persen bisa menggunakan teknologi, tapi belum bisa membuat konten atau pembelajaran jadi menarik dan berkualitas. Dan hanya 9,3 persen yang mampu menyajikan pembelajaran yang menarik dan berkualitas di dunia maya.
Survei ini tidak jauh berbeda dari hasil sigi Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom) Kemendikbudristek pada 2018. Hasilnya menunjukkan bahwa baru 40 persen guru yang melek dengan TIK. Untuk itu, Ramli menyebut, pelatihan digital untuk guru-guru menjadi sangat penting untuk mendukung program digitalisasi pendidikan.
Berdiri sejak 2020 lalu, JSDI sudah melatih puluhan ribu guru peserta untuk berdaya secara digital. Dalam satu pekan, JSDI rata-rata menggelar 15 pelatihan dengan peserta 100-500 orang. Dari pengalaman itu, ujar Ramli, JSDI menemukan banyak guru-guru itu yang tidak tahu bahwa mereka tidak tahu akan pentingnya pengetahuan digital.
"Istilahnya itu, kami membuka botol kosong yang tertutup. Jadi tutup botolnya dulu dibuka, baru kemudian diisi. Jadi begitu kondisinya, harus pelan-pelan proses memberikan pemahaman soal digital ini," ujar dia.
Belum lagi, ujar dia, masalah mendasar seperti akses jaringan internet yang belum merata juga masih menjadi kendala dalam proses menuju digitalisasi pendidikan. "Guru-guru yang ikut pelatihan kami itu misalnya, harus manjat pohon supaya dapat sinyal. Jadi memang perjalanan kita masih jauh," tuturnya.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menambahkan paradigma guru-guru soal digitalisasi pendidikan juga harus diubah. Menurutnya, digitalisasi sejauh ini masih dianggap sekadar mengubah alat yang manual menjadi digital, bukan menjadikannya sebagai sarana untuk sampai pada tujuan pembelajaran.
“Contohnya soal mengajar di kelas menjadi di depan layar. Kedua, digitalisasi sekolah dulu laporan dana BOS melalui manual, bisa dikirim pos, sekarang menggunakan online. Hanya berubah itu saja,” kata Ubaid.
Mendibudristek Nadiem Makarim tak menutup mata jika ada banyak tantangan menuju digitalisasi pendidikan. Namun ia menilai digitalisasi merupakan hal yang tak bisa dihindari saat ini.
“Kita harus bisa mengubah tantangan ini menjadi kesempatan, di mana murid dan guru bisa belajar dari sumber manapun. Untuk itu, digitalisasi sekolah menjadi salah satu program terpenting kita, baik penyediaan TIK-nya, maupun pembuatan platform digital gratis untuk guru dan siswa kita,” kata Nadiem, September lalu
Kemendikbudristek, ujar dia, telah bermitra dengan pemerintah daerah, kementerian maupun lembaga lainnya, seperti perusahaan swasta, organisasi masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kerja sama itu untuk penguatan sarana telekomunikasi dan percepatan digitalisasi sekolah.
Adapun bentuk kemitraan tersebut antara lain berupa penyediaan sarana akses (tablet, PC, laptop) bagi peserta didik, penyediaan sarana telekomunikasi, dan konektivitas digital (internet dan seluler) serta penyediaan aplikasi.
Sementara untuk mendorong kualitas pendidikan dan kapasitas SDM, salah satunya dilakukan melalui program sekolah penggerak (PSP). Nadiem Makarim optimistis program ini akan berjalan jika semua pihak mau bekerja sama mewujudkan cita-cita menuju digitalisasi pendidikan.
Baca juga: Gagap Teknologi dan Infrastruktur Bayangi Digitalisasi Sekolah
DEWI NURITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini