Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Remang setelah Tentena

Tinggal enam tersangka bom Tentena masih ditahan. Tak ada barang bukti kuat.

20 Juni 2005 | 00.00 WIB

Jalan Remang setelah Tentena
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

MARLYN Mira masih tergolek di Bangsal B kelas III Rumah Sakit Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, hingga pekan lalu. Jarum infus menikam lengan perempuan 46 tahun itu. Ia sulit bicara, di sekitar mulut banyak luka. Marlyn sedang menunggu keputusan tim bedah untuk mengeluarkan beberapa keping besi dari tubuhnya.

Ibu empat anak ini diguyur serpihan bom ketika berbelanja di Pasar Sentral, Tentena, Poso, 28 Mei lalu. Awalnya ia dirawat di RS Sinar Kasih, Tentena. Luka-lukanya yang memburuk membuat rumah sakit kecil itu angkat tangan. Marlyn dan lima korban bom lainnya dikirim ke RS UKI, Jakarta. "Saya ingin pelaku bom segera ditangkap dan diadili," katanya terbata-bata.

Meski termasuk berbahan peledak rendah, bom Tentena mencabut 22 jiwa. Puluhan pedagang dan pembeli di Pasar Sentral hingga kini masih terbujur di pelbagai rumah sakit di Poso, Palu, Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Bom yang dibuat dari komposisi potasium klorat dan sulfur itu dijejali potongan besi runcing—yang membuat bom jadi mesin pembunuh yang laknat.

Akan halnya pelaku pengeboman, pekan lalu Kepala Polda Sulawesi Tengah, Brigjen Aryanto Sutadi, malah memberikan sinyal pesimistis. Aryanto mengaku polisi kesulitan mengungkap jaringan bom Tentena. Soalnya, di tempat kejadian, polisi tak menemukan sisa alat bukti yang meyakinkan.

Tak seperti bom Bali, kata Brigjen Aryanto, bom Tentena tak menyisakan barang bukti yang dapat dijadikan titik awal pengusutan. Kalaupun bisa diungkap, "Butuh waktu sangat lama," ujar Aryanto Sutadi. Polisi hanya mengembangkan pemeriksaan berdasarkan informasi para saksi. Hingga kini sudah 150 saksi diperiksa maraton di Polda Sulawesi Tengah dan Polres Poso.

Karena minimnya barang bukti, polisi pun terkesan main tangkap. Pada minggu pertama setelah ledakan, polisi menetapkan 18 tersangka—sebagian besar digaruk polisi di rumah masing-masing. Anehnya, setelah berkali-kali didemo Forum Silaturahmi dan Perjuangan Umat Islam (FSPUI), polisi melepas tersangka satu per satu.

Dua pekan lalu, misalnya, sekitar 3.000 massa FSPUI berhasil "membebaskan" tiga tersangka: Abdul Rauf, Buchari, dan Risal. Ketiganya melenggang keluar dari tahanan Polres Poso diiringi teriakan "Allahu Akbar" ribuan demonstran. "Polisi tak punya bukti," ujar Adnan Umar Arsal, Ketua FSPUI.

Polisi memang masih menyisakan enam tersangka di balik jeruji tahanan. Dua hari setelah ledakan, polisi menangkap Hasman, 48 tahun, saat penyisiran di Tokorondo, Poso. Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Poso itu ditangkap bersama Supratman dan Jufri, dua narapidana yang ditahan di LP Poso akibat kasus pembunuhan seorang kepala desa.

Polisi menemukan pistol dan sejumlah amunisi aktif di tas Hasman. Mobil yang mereka tumpangi juga menggunakan pelat nomor polisi palsu. Toh, pistol dan pelat nomor polisi palsu itu tak serta-merta menunjukkan Hasman pelaku teror bom Tentena. Apalagi Sukarno, Kepala Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Sulawesi Tengah, mengatakan pistol yang ditemukan polisi memang senjata resmi Hasman.

Sukarno memastikan setiap bulan melaporkan keberadaan senjata organik semua pejabat Kanwil Hukum ke Polda Sulawesi Tengah. Laporan mutakhir, pada April 2005, juga mencantumkan senjata yang dipegang Hasman.

Adapun mobil yang dipakai Hasman saat ditangkap memang kendaraan dinas LP Poso. Soal pelat mobil yang diduga palsu? "Itu biasa," kata Sukarno. "Mobil dinas sering punya pelat hitam juga."

Belakangan polisi menyatakan menemukan bengkel di LP Poso yang diduga disulap Hasman menjadi pabrik bom. "Potongan besi dalam bom identik dengan potongan besi di bengkel LP Poso," ujar Komisaris Besar Polisi Sukirno, Wakil Kepala Polda Sulawesi Tengah.

Polisi juga mengaku menemukan serbuk bahan peledak TNT (trinitrotoluene) di badan dan sepatu Hasman. Serbuk TNT itu identik dengan sisa bom di Pasar Sentral, Tentena. Tapi, menurut seorang perwira polisi yang ikut mengusut bom Poso, detonator yang digunakan pada bom Tentena bukanlah TNT. Dari sisa ledakan dipastikan para teroris menggunakan PETN (pentaerythritol tetranitrate) sebagai pemicu ledakan. "Itu sangat aneh, karena peredaran PETN dikontrol ketat oleh intelijen," katanya.

Asludin Hatdjani, pengacara Hasman, mengatakan teori polisi tentang pabrik bom di LP Poso lemah. Ketika menggeledah penjara di tengah Kota Poso itu, polisi tak didampingi pengacara tersangka. Asludin menganggap asal-usul potongan besi yang dikatakan "identik" dengan bahan bom juga tak jelas.

Serbuk TNT yang disebut-sebut ditemukan di tubuh Hasman juga menimbulkan pertanyaan besar. "Pak Hasman sudah berkali-kali mandi," ujar Asludin. "Bagaimana mungkin ditemukan serbuk TNT?"

Meski meringkuk di sel, nasib Hasman sebetulnya masih "beruntung". Kondisi ayah enam anak itu hingga kini masih segar-bugar. Lain halnya dengan Muhammad Syafrie, 30 tahun. Tersangka lain bom Tentena ini sungguh bernasib buruk. Entah mengapa, kini ada luka memar di sekujur kepala Syafrie.

Kamis pekan lalu, polisi terpaksa melarikan Syafrie ke unit gawat darurat RS Bhayangkara Makassar. Tapi, karena kondisinya memburuk, Syafrie dirujuk ke RS Wahidin Sudirohusodo di kota yang sama. Belum ada penjelasan resmi polisi mengenai penyebab "penyakit" Syafrie.

"Kepalanya pusing dan sering muntah," kata Peter Sahelangi, Kepala RS Bhayangkara. Padahal, ketika ditangkap pada 2 Juni lalu di rumahnya di Desa Dulunga, Tojo Unana, Muhammad Syafrie dalam keadaan sehat walafiat.

Belakangan polisi menyebut Erwin dan AT sebagai tersangka utama pelaku bom Poso. Kedua tersangka ini bukan orang baru bagi polisi. Erwin, asal Kelurahan Kayamanya, Poso, pernah ditangkap karena diduga membunuh Jaksa Ferry Silalahi di Palu, pada Mei 2004.

Namun Pengadilan Negeri Palu pada Maret 2005 membebaskan pemuda berusia 29 tahun ini karena jaksa tak mampu membuktikan dakwaannya. Kini Erwin dan AT kembali berurusan dengan polisi karena beberapa saksi mengaku melihat keduanya sesaat sebelum bom Tentena meletus.

Polda Sulawesi Tengah membentuk tim khusus untuk memburu kedua buron top itu. "Mereka selalu berpindah-pindah," ujar Kombes Polisi Sukirno, Wakil Kepala Polda Sulawesi Tengah.

Sosok Erwin memang cukup misterius. Sumber Tempo mengatakan, Erwin menyelesaikan sekolah dasar hingga SMA di Perguruan Muhammadiyah Poso. Pada 2000, ketika konflik SARA di Poso meledak, Erwin bergabung dengan Laskar Mujahidin.

Pekan lalu, wartawan Tempo mendapati rumah Erwin di Jalan Lumba-lumba, Uwentanaga, Poso, dalam keadaan sepi. Semua pintu dan jendela rumah semipermanen bercat putih itu terkunci rapat. "Erwin menghilang. Padahal dia baru menikah dengan orang Jawa," ujar sumber Tempo di Polres Poso.

Azlaini Agus, Wakil Ketua Pansus DPR soal Poso, menilai langkah polisi dalam mengusut bom Tentena tak jelas. Banyaknya saksi yang diperiksa dan jumlah tersangka yang makin menyusut membuat Azlaini makin risau. "Tak seperti bom Bali, pengusutan bom Tentena sangat tak meyakinkan," ujar anggota DPR dari Partai Amanat Nasional itu.

Setiyardi dan Darlis Muhammad (Poso)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus